Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Gugatan di punggung arjuno

Sepuluh petani asal desa tulungrejo, kec. batu, malang mengadu ke DPR. mereka merasa tanah garapannya dirampas PT Asparagus Nusantara, dipimpin soemitro. rupanya tanah itu milik AURI.

29 Juli 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBUAH drama sengketa tanah kembali mentas di Gedung DPR, J Rabu lalu. Pelakunya, kali ini, sepuluh petani asal Desa Tulungrejo, Kecamatan Batu, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Mereka mengadu ke Jakarta lantaran merasa ladangnya terampas. Yang mengagetkan. dalam lakon itu. nama Jenderal (Purn.) Soemitro disebut-sebut sebagai tokoh yang ada di balik penggusuran. Sengketa itu menyangkut penguasaan persil seluas 102 ha, di punggung Gunung Arjuno, pada ketinggian sekitar 1.000 meter. Di situ, PT Asparagus Nusantara (AN), yang kebetulan dipimpin Soemitro itu, terpaksa berhadapan dengan tuntutan para petani penggarap yang merasa dirugikan. Lantaran tak menemukan jalan keluar yang dianggap adil, ujung-ujungnya para petani mengadu ke DPR. Koran-koran pun ramai memberitakannya. "Tapi saya tak marah, apalagi sakit hati. Itu hak mereka inikan negeri demokrasi" ujar Soemitro. Penulisan di koran puntak dipersoalkan bekas Pangkopkamtib tersebut. "Itu hak dan kehormatan pers." Pada mulanya, kedatangan PT Asparagus ke daerah pegunungan itu, pada tahun 1987, disambut baik oleh petani. PT Asparagus menawarkan kerja sama yang memikat dalam pola PIR (Perkebunan Inti Rakyat). Komoditi yang ditawarkan pun cukup "ngetrend": asparagus, yang biasa dikonsumsi sebagai sup di restoran Cina. Dalam proyek itu, petani tinggal modal tenaga. Obat hama, pupuk, bibit, dan biaya pemeliharaan seluruhnya ditanggung oleh PT AN. Hasil panen juga akan dibeli oleh PT AN, sesuai dengan harga yang berlaku di pasar. Laba bersih akan dibagi rata antara penggarap dan pemodal. Format perjanjian pun berkembang. PT Asparagus, menurut perjanjian baru yang dikeluarkan November 1987 itu, siap membantu penduduk mendapatkan sertifikat tanahnya. Namun, biaya untuk mengegolkan permohonan sertifikat itu harus ditanggung sendiri oleh penduduk. Imbalannya, para petani akan menyerahkan pengelolaan tanah tersebut kepada PT AN selama 10 tahun. Kesanggupan PT AN untuk menguruskan sertifikat itu dilandasi anggapan bahwa tanah di situ berstatus milik negara. "Ternyata, kami mendapatkan informasi ang salah," ujar Hoentarso Soewondo, Direk, tur Pelaksana PT Asparagus, di Malang. Tanah itu, rupanya dikuasai AURI. Apa boleh buat, skenario terpaksa berubah. PT AN mendekati pihak AURI. "Kalau mau sewa rumah, bukankah kita harus berurusan dengan pemilik yang sebenarnya," ujar Hoentarso. Gayung pun bersambut. Entah berapa besar transaksi yang dilakukan, yang terang kemudian PT AN bisa mendapatkan tanah itu dari AURI dengan cara sewa pakai. Usai berurusan dengan AURI, Asparagus masih perlu bikin beres dengan petani penggarap. Sebuah format baru pun ditawarkan: uang ganti rugi pembebasan tanah, dan para penggarap akan mendapatkan pekerjaan sebagai buruh di PT itu. Nah, akibat PT AN berhubungan dengan pihak AURI, dan bukan dengan petani penggarap seperti perjanjian semula, maka rasa tak puas mulai berkobar. Kendati dihadang persoalan, toh perkebunan asparagus itu sudah sanggup berproduksi. Dengan mempekerjakan sekitar 800 buruh, yang dibayar Rp 1.250 untuk 6 jam kerja, perkebunan itu konon sanggup memproduksi 3-4 ton sayur asparagus sehari. "Untuk sementara, produknya hanya kami lempar ke pasar lokal," tutur seorang petugas. Namun, Asparagus rupanya telah membidik pasar ekspor. Itu sebabnya, mereka telah memasang unit mesin pengalengan untuk mengemas produk sayuran. Bahwa sebagian dari penggarap tidak puas, itu bisa dimengerti. Selain mereka ditinggalkan oleh bekas mitranya, hasil yang didapat dari PT AN juga dirasa tak memadai. "Kehidupan kami sekarang serba sulit," ujar seorang penduduk. "Tanah tak ada, hasil memburuh pun tak mencukupi." Alkisah, para penggarap akhirnya mengetuk pintu LBH Malang. Tanah yang disengketakan itu, dalam penelusuran LBH, beriwayat. Mula-mula, di zaman kolonial, persil itu dikuasai oleh NV Cultuur Maatschappij Gabes. Tanah yang dikuasai perusahaan kina Belanda itu meliputi persil 1 (yang hingga kini disebut Gabes I) seluas 302 ha, dan persil 2 (Gabes II) seluas 129 ha. Pada awal 1950-an perkebunan kina itu sempat terbengkalai. Tak mengherankan, tanah kosong itu menarik minat penduduk sekitar untuk menggarapnya. Pada 1956, tanah berstatus erfpacht itu (hak guna usaha) berpindah ke tangan Mas Mukayat, seorang saudagar dari Malang. Lantas, pada 1960 persil yang sama dibeli oleh AURI, konon dicadangkan untuk keperluan strategis militer. Sementara tanah tetap menganggur, penggarap tetap diizinkan bercocok tanam di situ. denan sistem bai hasil. Yang menangani soal bagi hasil itu adalah Puskadara (Pusat Koperasi Angkatan Udara). Sementara itu, pada 1973 Gabes I, oleh AURI, dihibahkan untuk 230-an purnawirawan AURI. Namun, pada 1980 kerja sama bagi hasil itu praktis macet, petani tak lagi menyetor hasil panen ke koperasi itu. Penguasaan segala jenis hak erfpacht di Indonesia berakhir tahun 1980. Rupanya, aturan main itu sempat didengar oleh para petani. Maka, setahun sebelumnya mereka mengajukan permohonan, lewat LBH Malang, untuk memiliki tanah persil tersebut. Tapi surat permohonan itu ternyata lenyap dari laci kantor agraria. Sementara itu, Kepala Badan Pertanahan mengesahkan penguasaan tanah oleh AURI dan penyewaan oleh Asparagus. "Tanah itu memang sejak dulu dimiliki AURI dan kini digarap PT Asparagus," ujar Kepala Badan Pertanahan Soni Harsono. Namun, Zaidun, Ketua LBH Surabaya, menilai pemilikan tanah oleh AURI itu mengandung cacat hukum. Pengalihan hak dari Mas Mukayat kepada AURI, kata Zaidun, hanya lewat pengukuhan akta notaris. "Itu terang tidak cukup," ujarnya. Mestinya, pelepasan hak atas tanah ketika itu masih harus disaksikan oleh pejabat pembuat akta tanah (PPAT). Jadi, pemilikan oleh AURI, "hanya klaim sepihak," tambah Zaidun. Pada sisi lain, permohonan pemilikan oleh penggarap seperti digantung, tak ada jawaban. Soal status tanah jadi seperti dipingpong, dari satu meja ke lain meja. Suasana buntu seperti itulah yang akhirnya menggerakkan para petani penggarap mampir ke DPR.Putut Tri Husudo, Diah Purnomowati, Wisnu M., dan Jalil Hakim

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum