Saya sedih membaca komentar Saudara Ihsanuddin M. Rusli tentang Ayatullah Rohullah Khomeini (TEMPO, 8 Juli 1989). Ia berpendapat bahwa Khomeini hanya pemimpin revolusi suatu sekte. Isi komentar itu menunjukkan kurangnya pengetahuan dan informasi yang dimiliki Saudara Ihsanuddin. Seperti kita ketahui, pihak Barat dan para orientalis sangat membenci dan merasa "takut" kepada Khomeini dan gaung revolusi Islamnya. Sehingga, pihak Barat memusuhi dan mendiskreditkan Khomeini di kalangan muslim internasional. Dan kita sering terseret oleh opini-opini yang dibentuk mereka. Saya kira, Saudara Ihsanuddin harus banyak membaca buku (literatur Islam) dan mendapatkan info yang benar agar tidak keliru dalam mengomentari suatu permasalahan. Contohnya, komentar Saudara Ihsanuddin tentang imamah. Jelas, Saudara Ihsanuddin tak mengerti apa itu imamah, bagaimana kedudukan Khomeini dalam konsep imamah itu, serta apa saja yang dimasukkan sebagai imamah. Rakyat Iran atau kalangan bermazhab Syiah beranggapan bahwa Khomeini bukan imam yang ma'sum. Sebab, para imam yang ma'sum itu hanya 12 orang, dengan imam terakhir Imam Mahdi (yang ditunggu kedatangannya). Jadi, Khomeini sendiri bukan imam yang ma'sum. Ia wali faqih dari Republik Islam Iran. Atau sering juga disebut sebagai Naib Imam (wakil Imam Mahdi). Dengan demikian, posisi Khomeini sendiri hanya sebagai ulama puncak. Selanjutnya, Saudara Ihsanuddin menyatakan "Ma'sum-nya imam ini dapat dibaca dalam buku karya Al-Kulaini berjudul Al-Kafi. Buku ini lebih diagungkan dari Quran." Saya tak mengetahui, Saudara Ihsanuddin sudah membaca ataukah belum buku yang dia sebutkan itu. Yang jelas, Khomeini tak disebutkan sebagai imam ma'sum di buku Al-Kulaini itu. Imam yang disebutkan sebagai imam ma'sum adalah Imam Ali sampai Imam Mahdi (imam ke-12). Namun, yang sangat keliru adalah anggapan Saudara Ihsanuddin bahwa karya Al-Kulaini itu lebih diagungkan dari Quran. Setahu saya, pengikut Syiah tak pernah menganggap karya Al-Kulaini (kitab hadis) atau kitab-kitab hadis lainnya, yang diakui mazhab Syiah, lebih tinggi dari Quran. Kedudukan hadis dalam Syiah sama seperti keududukan hadis pada mazhab Suni. Yakni, sebagai sumber hukum kedua sesudah Quran, dan tidak boleh bertentangan dengan Quran. Kitab itu memuat lebih dari 16.000 hadis yang meriwayatkan perkataan dan perbuatan Rasulullah saw. dan para imam. Dalam kitab ini terdapat hadis hasan (baik) dan hadis lemah. Jadi, tak semua hadis yang diriwayatkan di kitab itu shahih. Juga, sangat keliru Saudara Ihsanuddin mengatakan, Nabi Muhammad saw. sebagai nabi terakhir tak terlepas dari kesalahan dan sering ditegur Allah swt. Saya khawatir pernyataan ini bisa diartikan orang lain menghujat (merendahkan) Nabi Muhammad saw. seperti Salman Rushdy dengan rhe Satanic Versesnya. Sebab, Nabi Muhammad saw. sejak bayi hingga wafatnya tak pernah melakukan kesalahan dan kekeliruan. Apalagi sampai ditegur Allah swt. Bahkan masyarakat Mekah menggelari beliau Al-Amin (yang dipercaya). Beliau tak pernah berbuat maksiat atau menyembah berhala. Di masa dewasa beliau diangkat menjadi nabi dengan kedudukan rasulullah untuk alam semesta. Sungguh, saya tak pernah berani mengkritik Nabi yang menjadi kekasih Allah ini. Sebab, Allah memerintahkan kepada orang-orang beriman untuk mematuhi dan menaati beliau. Sungguh, beliau ma'sum sejak dari kandungan bundanya sampai wafatnya. Sudara Ihsanuddin dalam hal ini mungkin merujuk pada Surah 'Abasa. Tahukah Saudara, siapakah yang 'abasa (bermuka masam)? Jika Saudara mengetahui asbabun nuzul dari ayat awal Surah 'Abasa itu bukan ditujukan kepada Nabi Muhammad saw., tetapi dltujukan kepada seorang sahabat. Sebab, Nabi Muhammad saw. tak pernah bermuka masam dalam melaksanakan dakwahnya. Gagasan kaum Syiah ingin memindahkan Kota Suci Mekah ke Qom, sebagaimana dikemukakan putra Khomeini, Ahmad, sungguh tak logis. Bagaimana mungkin Saudara Ihsanuddin mempercayai berita semacam itu. Apalagi tiap tahun rakyat Iran yang sangat berhasrat berziarah ke Tanah Suci Mekah tida kurang dari 150.000. Bagaimana mungkin kaum Syiah (mayoritas rakyat Iran) ingin mengabaikan keinginan berziarah dan berdoa di sampin makam Rasulullah Muhammad saw. dan makam-makam para keluarga Rasulullah lainnya (di Baqi)? Terakhir, Saudara Ihsanuddin menyinggung soal pernyataan ulama salaf, seperti Said Hawwa, yang menyatakan bahwa Khomeini zindiq. Saya tak mau menanggapi pernyataan ini. Sebab, kalau benar said Hawwa seorang ulama, jelas, dia tak akan menyatakan demikian. Yang perlu saya tegaskan, Said Hawwa bukan ulama salaf. Sebab, ulama salaf adalah ulama yang hidup di masa sesudah Nabi Muhammad saw. wafat hingga masa ulama-ulama (imam-imam) mazhab. Sedangkan yang hidup sesudah Nabi Muhammad saw. wafat disebutkan ulama khalaf.DIAR ANWAR Jalan Batu Ceper VIII Nomor 32 A Jakarta Pusat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini