Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Yang berlindung di kubur

12 kk terdiri 19 jiwa, tidur di kuburan kelurahan kliteran, yogyakarta. mereka terpaksa digusur dari tempat tinggalnya, karena tanahnya dikuasai ahli waris raden bagus soetedjo soeparman sastropuspito.

29 Juli 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INI bukan makam keramat. Tapi kuburan itu, yang terletak di Kelurahan Klitren, Yogyakarta, sejak Senin pekan lalu diramaikan oleh 12 kepala keluarga yang beranggotakan 91 jiwa. Bila malam tiba, mereka, sebagian anak-anak, tidur di sana. Ada yang berbaring di cungkup makam, ada yang memancang tenda, dan ada pula yang mendirikan gubuk darurat di dekat makam tersebut. Pada siang hari mereka menjalani kehidupan seperti biasa: ada yang sebagai tukang becak, ada tukang las, ada buruh bangunan, dan ada penjual jamu gendong - pendek kata, hampir semuanya pekerja kasar. Sedangkan anak-anak bersekolah seperti biasa. Mengapa mereka ramai-ramai "mukim" di sana? "Kami minta perlindungan di makam Pak Soetedjo, karena kami sekarang tak punya tempat tinggal. kata Suratman Bagi Suratman. juga ' pemukim" lain, mendiang Raden Bagus Soetedjo Soeparman Sastropuspito, orang kaya terkernuka di Yogyakarta pada ]940-an. adalah orang tempat menggantungkan hidup Izin menempati tanah milik mendiang itu berakhir bersama eksekusi lapangan yang dilakukan petugas Pengadilan Negeri Yogyakarta. Senin lalu Mereka dipenntahkan untuk meninggalkan 12 rumah. terletak di kawasan Gondomanan, yang selama ini mereka huni Tak tahu ke mana harus pindah, mereka memilih "mukim" di makam Soetedjo, yang terletak berhampiran dengan bekas tempat tinggal mereka. Sehari setelah eksekusi, mereka mengadukan nasib ke DPRD Yogyakarta. "Kami bukan tak bersedia pindah," kata Suratman, yang menjadi juru bicara "orangorang gusuran" itu. "Kami cuma minta ongkos mengangkut barang-barang." Ketua DPRD Yogyakarta, Parwoto, setelah menerima pengaduan nasib mereka yang tergusur itu, berjanji menyampaikan kasus ini kepada pemerintah daerah. Soalnya. "Mereka tak punya kekuatan hukum," ujar Parwoto Karena itu, "orang-orang gusuran" tersebut tak menuntut banyak dari ahli waris Soetedjo. yang menguasai tanah dan rumah hunian mereka. Rebutan warisan antara dua pasang anak Soetedio. yang diperolehnva dari dua istri, sudah pecah tak lama sepeninggal almarhum. Soalnya, harta almarhum, berupa tanah seluas 30 ha serta sejumlah bangunan, dikuasai seluruhnya oleh Sudarsono, anak tertua Soetedjo dari istri pertama. Anak Soetedjo lain dari istri tuanya adalah Siti Sudarti. Tahun 1958, Hamin Soetedjo dan Christine Siti Suparti, anak Soetedjo dari istri muda, menggugat Sudarsono ke pengadilan. Mereka menuntut warisan yang menjadi hak mereka. Tapi jalan perkara tersendat-sendat. Baru pada 1982, Mahkamah Agung memutuskan bahwa harta peninggalan almarhum harus dibagi rata. Repotnya, sebagian besar tanah warisan Soetedjo sudah dijual Sudarsono. Nilai harta yang terjual ditaksir Mahkamah Agung sekitar Rp 3 milyar - separuhnya merupakan hak kedua penggugat. Adapun harta warisan Soetedjo yang tersisa tinggal persil Nomor 202--seluas 2.500 m2, terletak di Kampung Kepuh, Kelurahan Klitren. Tapi persil ini punsudah tak lagi utuh. Sebagian dihibahkan Sudarsono (yang juga sudah meninggal) untuk pekuburan keluarga dan umum, lokasi sekolah TK, dan sisanya, seluas 1.000 m2. menjadi tempat tinggal 12 kepala keluarga yang "tergusur" itu. Pengadilan kemudian memutuskan tanah seluas 1.0.00 m2 itu milik Hamin dan Christine. Pada 9 Desember 1988, Pengadilan Negeri Yogyakarta memutuskan untuk menyerahkan areal itu kepada mereka. Ketika perkara tanah 1000 m2 itu dibahas di pengadilan, rupanya nasib 12 kepala keluarga yang menghuni lokasi tersebut luput dari pembicaraan. Ketika eksekusi akan dilaksanakan, mereka menuntut ganti rugi (istilah mereka ongkos pindah) Rp 2 juta sampai Rp 7 juta. Tuntutan itu ditampik Hamin dan Christine. "Kalau mau ganti rugi, kenapa mereka tak menuntut Sudarsono atau ahli warisnya yang mengizinkan mereka tinggal di situ. Lagi pula, apa dasar hukumnya mereka minta ganti rugi pada kami," kata Pengacara Sutiyoso, mewakili kliennya, Hamin dan Christine.Amran Nasution, I Made Suarjana

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum