Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

'Mea Culpa' Gereja Katolik

Paus meminta maaf atas kesalahan dua ribu tahun Gereja Katolik, antara lain kepada kaum Yahudi.

26 Maret 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lilin-lilin menyala di altar. Paus Yohanes Paulus II, 79 tahun, pemimpin tertinggi Gereja Katolik, berjalan tertatih-tatih menuju altar di Basilika Santo Petrus, Vatikan, Ahad dua pekan lalu. Mengenakan jubah kebesaran warna ungu, selempang dan tutup kepala berwarna putih, Paus menyampaikan pidato permohonan maaf secara resmi (bahasa Latin: mea culpa) atas kesalahan masa lalu Gereja Katolik. Tangannya yang gemetar seolah menghentikan laju sejarah. Misa itu bagian dari perayaan Jubileum Agung—diperingati setiap 25 tahun sekali—2000. "Kami minta maaf dan mohon pengampunan," kata Paus.

Jutaan massa mendengarkan dengan khusyuk. Misa itu dilengkapi dengan prosesi pertobatan kepada Tuhan di depan altar dengan tujuh lilin menyala—simbol dari dosa-dosa, antara lain dosa dalam perlakuan masa lalu gereja terhadap kaum Yahudi. "Berapa kali umat Kristiani tidak menyapamu ketika kamu berada dalam keadaan kelaparan, kehausan, dan juga kepapaan, perburuan, pemenjaraan, dan atas segala ketidakmampuan memperjuangkan hak-hak hidup, terutama tahap pertama dari kehidupan?" ucap Paus.

Tidak menuding episode sejarah secara tertentu, pidato yang rendah hati itu tak serta-merta diterima dengan lapang dada oleh sebagian kaum Yahudi. Meir Lau, Ketua Rabi Ashkenazi, kaum Yahudi dari negara-negara Eropa Timur, antara lain Polandia, Lithuania, dan Rumania, mengaku kecewa atas kata maaf itu. Soalnya, Paus tidak mengutip ihwal tragedi holocaust (bencana) semasa rezim Adolf Hitler berkuasa di Jerman, yang mestinya dikutuk oleh Gereja Katolik.

Membunuh masa lalu yang getir bagi orang seperti Meir Lau tentu tidak mudah. Apalagi konflik Katolik-Yahudi yang berlangsung dua milenium telah mengkristal menjadi kerak sejarah. Benih penyebabnya adalah peristiwa penyaliban Yesus. "Ada anggapan bahwa pembunuh Yesus adalah orang Yahudi. Akibatnya, semua orang Yahudi dianggap salah," kata I. Ismartono, S.J., Ketua Konferensi Wali Gereja Indonesia. Sikap permusuhan terhadap Yahudi juga didasarkan pada tafsiran keliru atas ayat dalam Injil Mateus, yang menyatakan bahwa Yahudi yang menolak Yesus sebagai Kristus harus dihukum. Di luar itu, secara teologis Yahudi dan Katolik berbeda. Yahudi meyakini Yesus sebagai nabi, sedangkan Katolik mempercayai Yesus sebagai mesias, sang penyelamat.

Stigma (noda) sejarah dan perbedaan teologis itu telah mengakibatkan konflik sepanjang sejarah. Dalam buku The Vanished World of Jewry karya Raphael Patai (1980), catatan kekerasan atas kaum Yahudi terbentang dari abad pertama hingga abad kedua puluh. Kaum Yahudi Salonika di Yunani pada 1950 pernah ditindas oleh penguasa Kekaisaran Byzantine, akibat pengaruh Katolik. Ketika Perang Salib I berkecamuk pada 1012-1096, pembunuhan besar-besaran dilakukan pasukan Perang Salib terhadap kaum Yahudi di Prusia (kini Jerman). Gereja Katolik juga dituding berdosa dalam tragedi holocaust karena Paus Pius XII, pemimpin tertinggi Gereja Katolik Roma, berpangku tangan ketika 6 juta orang Yahudi dibunuh oleh rezim "iblis" Hitler di Jerman (1939-1958).

Dalam tubuh Gereja Katolik, soal hubungan Katolik-Yahudi telah dibahas sejak Konsili Vatikan II, sidang para pemimpin keuskupan sedunia. Deklarasi pada 1964 itu menyadari kepentingan hubungan yang harmonis antara gereja dan umat non-Kristiani, termasuk Yahudi. Konsili itu tonggak sejarah karena sebelumnya gereja masih menganggap agama yang benar hanyalah Katolik. "Gereja bersikap arogan. Bila perlu, penganut ajaran sesat dibakar," kata Mudji Sutrisno, pengajar di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara.

Waktu bergerak. Belakangan monoteisme ajaran Yahudi, kata cendekiawan Kristen Th. Sumarthana, dihidupkan kembali oleh kalangan gereja. Dan di bawah Yohanes Paulus II, tokoh yang terbuka dan moderat menurut cendekiawan Jerman Prof. Annemarie Schimmel itu, Gereja Katolik banyak memberikan pernyataan yang reformatif. Contohnya, Yohanes Paulus II, yang didaulat majalah Time sebagai Man of the Year 1994 itu, pernah meminta maaf atas kesalahan gereja terhadap ilmuwan Galileo yang dieksekusi karena teorinya tentang astronomi berseberangan dengan paham gereja. Namun, gebrakan besar sang Paus, ya, soal mea culpa itu.

Kelik M. Nugroho, Dewi Rina Cahyani, biro Jakarta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus