Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Pesona

26 Maret 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI tiap zaman orang memuja sesuatu yang tak kelihatan, tapi dengan cemas. Sebab itu ia pun meraih apa yang kelihatan. Dulu orang menyembah arwah leluhur, dan sebab itu merawat sebuah pohon. Di awal abad ke-21, penampilan antara apa yang kelihatan dan tak kelihatan itu sangat mungkin ada di internet: sebuah ''portal" yang bisa diklik dengan alamat tertentu. Kita tahu ia bukan hantu. Meskipun kita sebenarnya ingin bertanya: benarkah?

Ada persamaan antara patung Çiwa dan T-shirt: dengan yang pertama manusia merunduk kepada sang dewa yang sebenarnya tak ada di sana; dengan yang kedua manusia memuliakan sesuatu yang sebenarnya tak melekat pada kain katun itu, umpamanya prestise. Sesuatu yang aneh terjadi, tatkala orang datang memberi patung itu makan, misalnya, karena di dalam kesadarannya, patung itu bukan lagi sekadar penanda. Si Patung telah menjadi sang Çiwa sendiri. Sama halnya ketika prestise identik dengan selembar kaus dengan huruf PRADA….

Komoditi menjadi jimat (''fetish," kata Marx) karena kapitalisme berhasil membuat benda jadi barang, dan manusia bersusah payah menghendakinya. Barang: sesuatu yang kadang konkret dan kadang abstrak. Sesuatu yang, sebagai komoditi, tak lagi punya nilai seperti ketika ia dulu dibikin, misalnya nilai sang T-shirt sebagai penutup tubuh saya ketika hari panas.

Ketika benda menjadi barang, ia pun menjadi seakan-akan kosong. Sesampai di pasar, ia dipasangi harga. Dengan kata lain, ia mendapatkan sesuatu yang lain, yang sebenarnya bukan melekat pada dirinya, bukan dirinya, sebab bisa diganti tiap kali, yakni ''nilai tukar".

Ketika manusia juga menjadi komoditi, ia juga mendapatkan sesuatu yang bukan dirinya. Ia bukan lagi sesuatu yang unik, seperti sebatang pohon yang menyendiri di pantai yang liar. Ia sama, misalnya, dengan sepasang sepatu Reebok. Sepatu itu bisa saja punya sejarah yang khusus (misalnya pernah saya pakai lari maraton di Bali, ketika saya mendapat sebuah piala), tapi pada dirinya kita menemukan harga dan lambang yang dipasang, misalnya lambang gaya hidup dan status.

Lambang itulah yang tak kelihatan, dan lebih tak kelihatan lagi adalah kekuatan yang membuat lambang itu. Tapi betapa kuasanya ia, sehingga manusia, di dalam kehendaknya, bisa sederajat dengan sepasang sepatu apak.

Maka amat menakjubkan sebenarnya bahwa abad ke-21 meneruskan hidup dengan hal-hal yang tak kelihatan tapi kita puja atau puji, sebuah takhayul di atas takhayul. Semakin lama semakin melangit. Suatu hari seseorang membuat sebuah usaha di internet dengan nama ''asyik.com" dan menjual ''portal" itu di bursa. Laku keras, dan angka-angka NASDAQ menjulang di layar Wall Street. Saya tidak tahu persis apa yang sebenarnya terjadi, tapi menakjubkan rasanya bila ribuan orang membeli saham dari ''asyik.com" tanpa bersua, tanpa memegang apa pun yang kelihatan, kecuali mungkin sederet gambar dan sederet huruf di layar monitor komputer. Bahkan tak tahu persis apa guna ''portal" itu baginya sendiri, dan benarkah di sana ada sebuah bisnis yang menguntungkan….

Pernah orang sepakat bahwa modernitas datang ketika dunia tak memancarkan pesona dan sihirnya lagi. Orang tak lagi gentar menghadapi alam. Kini kita harus berpikir kembali. Walter Benjamin menyusun sejumlah besar ''data" tentang Paris di abad ke-19, dan ia namakan proyek penelitian itu sebagai Passagen-Werk; lanskap kota, papan reklame dan etalase, interior gedung dan sosok bangunan yang menandai sebuah zaman industri, rencana perkotaan yang mengubah peta hidup…. Salah satu kesimpulan yang bisa ditarik ialah bahwa akhirnya kita bisa bicara tentang ''kembalinya pesona dunia". Juga kembalinya dongeng.

''Pesona" itu juga bisa berarti sihir, dan sihir bisa berarti melumpuhkan. Dongeng, atau mitos, menampilkan waktu sebagai sesuatu yang tak akan berubah. Sejarah, yang digerakkan oleh manusia, seakan-akan hilang. Mungkin itu sebabnya manusia, sebagai subyek, kini dianggap hanya hasil konstruksi dan humanisme guyah.

Tapi benarkah zaman akan menyaksikan status quo yang kekal, dan kita sudah sampai di ''akhir sejarah" karena tidak ada lagi yang perlu diganti? Benjamin, seorang Marxis, waktu itu bilang ''tidak". Passagen-Werk-nya ingin ''melarutkan mitologi ke dalam ruang sejarah".

Di awal abad ke-20 ruang sejarah itu seakan-akan menunggu sosialisme. Di awal abad ke-21 ini mungkin ruang sejarah itu tak bisa lagi menunggu apa pun. Tak sempat menunggu siapa pun. Pesona dan sihir memang bisa memukau, tapi tiap kali berganti wujudnya, dalam pergantian yang kian cepat. Dewa dan hantu baru dengan segera raib, untuk digantikan yang lain. Tetapi itu rasanya menyebabkan kita tak henti bertanya: siapa yang menggerakkan proses ini? Siapa yang akan menghentikan proses ini?

Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus