Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Pendidikan

237 Tahun Lalu Kelahiran Pangeran Diponegoro, dari Yogyakarta Berpulang di Makassar

Pangeran Diponegoro 237 tahun. Perjuangan pahlawan nasional ini akan terus dikenang, lahir di Yogyakarta, wafat di Makassar

12 November 2022 | 11.17 WIB

Pangeran Diponegoro. ikpni.or.id
Perbesar
Pangeran Diponegoro. ikpni.or.id

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Indonesia memiliki deretan nama pahlawan Indonesia yang berjuang merebut kemerdekaan dan mengusir penjajah dari tanah air. Salah satu pahlawan yang berjasa dalam kemerdekaan Indonesia ialah Pangeran Diponegoro.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Pangeran Diponegoro memiliki nama asli Raden Mas Ontowiryo lahir di Yogyakarta, 11 November 1785. Ia adalah putra dari Sri Sultan Hamengku Buwono III. Ibunya merupakan seorang garwa ampeyan (selir) bernama R.A. Mangkarawati yang berasal dari Pacitan. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Saat ia dewasa, sang ayah meminta pangeran Diponegoro untuk menjadi raja, namun ia menolak lantaran ibunya bukanlah seorang istri permaisuri sehingga ia merasa tidak layak untuk menduduki jabatan tersebut.

Baca: Makam Anak Cucu Pangeran Diponegoro di Tanjakan Batu Merah Ambon

Sang Diponegoro Terpenjara di Benteng Rotterdam Makassar

Sejak kecil, Pangeran Diponegoro dikenal sebagai pribadi yang cerdas, rajin membaca, dan ahli di bidang hukum Islam-Jawa. Daripada masalah pemerintahan keraton, ia lebih tertarik kepada masalah-masalah keagamaan. Itulah yang membuatnya dapat membaur dengan rakyat.

Selain itu ia tak ingin tinggal di Keraton dan malah memilih tinggal di Tegalrejo, berdekatan dengan tempat tinggal eyang buyut putrinya, yakni Gusti Kangjeng Ratu Tegalrejo, permaisuri dari Sultan Hamengkubuwana I.

Disarikan dari ditsmp.kemdikbud.go.id, Pangeran Diponegoro ialah aktor dari Perang Jawa yang meletus sejak tahun 1825–1830. Perang Jawa atau Perang Diponegoro menjadi salah satu bagian perubahan yang besar di Indonesia pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19. Perang ini merupakan salah satu pertempuran terbesar yang pernah dialami oleh Belanda selama masa pendudukannya di Indonesia.

Perang Diponegoro terjadi lantaran Pangeran tidak menyetujui campur tangan Belanda dalam urusan kerajaan. Selain itu, sejak 1821 para petani pribumi menderita karena penyalahgunaan penyewaan tanah oleh warga Belanda, Inggris, Prancis, dan Jerman. 

Saat 6 Mei 1823 Van der Capellen mengeluarkan dekrit yang menyatakan bahwa semua tanah yang disewa orang Eropa dan Tionghoa wajib dikembalikan kepada pemiliknya per 31 Januari 1824. Namun, pemilik tanah diwajibkan memberikan kompensasi kepada penyewa lahan Eropa.

Berdasarkan hal tersebut, Pangeran Diponegoro membulatkan tekad melawan dengan membatalkan pajak Puwasa agar para petani di Tegalrejo dapat membeli senjata dan makanan. 

Kekecewaan Pangeran Diponegoro kian memuncak ketika Patih Danureja atas perintah Belanda memasang tonggak-tonggak untuk membuat rel kereta api melewati makam leluhurnya. Atas dasar itulah Pangeran Diponegoro bertekad melawan Belanda dan menyatakan sikap perang.

Sebelum perang meletus pada 20 Juli 1825, pihak istana mengutus dua bupati keraton senior yang memimpin pasukan Jawa-Belanda untuk menangkap Pangeran Diponegoro dan Mangkubumi di Tegalrejo. Meskipun kediaman Diponegoro jatuh dan dibakar, pangeran dan hampir semua pengikutnya berhasil lolos karena lebih mengenal medan di Tegalrejo.

Pada 1827, Belanda menyerang Pangeran Diponegoro hingga Pasukan Diponegoro terjepit. Pada 1829, pihaknya ditangkap Belanda dan menyerahkan diri. Akhirnya pada tanggal 28 Maret 1830 di Magelang, Pangeran Diponegoro menyatakan bersedia menyerahkan diri dengan syarat sisa anggota laskarnya dilepaskan. 

Kemudian Pangeran Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Manado dan dipindahkan ke Makassar hingga wafat di Benteng Rotterdam tanggal 8 Januari 1855. Selama lima tahun Perang Diponegoro terjadi, korban jiwa telah gugur sebanyak 200 ribu jiwa dari Rakyat Jawa. Sedangkan dari pihak Belanda menelan korban jiwa hingga 8 ribu Belanda dan 7 ribu serdadu pribumi.

Perang Diponegoro bukan hanya melawan Belanda, namun juga merupakan perang saudara antara orang-orang keraton yang berpihak pada Diponegoro dan yang anti-Diponegoro atau antek-antek Belanda. Akhir perang ini menegaskan dan membuktikan betapa berkuasanya Belanda atas Pulau Jawa pada masa itu.

ANNISA FIRDAUSI 

Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.

 

 

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus