Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Agar Dapat Tidur Tenang

Program AMD yang dicetuskan Menhankam Jenderal M. Jusuf secara serentak dilaksanakan pada tgl 20 Agt'80, desa-desa yang menjadi sasaran program amd adalah desa-desa yang terpencil, masih terbelakang & rawan.

6 September 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENDADAK, Rabu pagi 20 Agustus itu, suasana Desa Allaere dan Toddopolia yang selama ini selalu sepi, menjadi hldup. Kedua desa di Kecamatan Mandai, Maros (Sul-Sel) ini memang terpencil. Dan miskin. Bila musim hujan tiba, Sungai Maros meluap dan jalan-jalan jadi kubangan, sementara jembatan tak ada. Di sanalah -- selain di dua desa di Bulukumba dan dua lagi di Kolaka (Sultra) -- program ABRI masuk desa (AMD) untuk wilayah Kodam XIV/Hasanuddin berlangsung. Kawasan ini dulu pernah tak aman ketika gerombolan DI/TII Kahar Muzakar masih mengganas. Bisa dimaklum kalau penduduk pernah curiga terhadap tentara. Tapi kini penduduk menyambut anggota-anggota ABRI itu dengan gembira. "Kedatangan mereka tidak menakutkan lagi seperti ketika zaman kacau dulu. Dulu kalau melihat tentara, hati selalu bergidik," ujar Nompo, 65 tahun, kakek dari 11 cucu di Desa Toddopolia. "Mereka tidak memaksa-maksa seperti dulu." Muin, ayah dari 4 anak di kampung Biring Kaloro Desa Allaere juga senang. "Saya juga tidak takut lagi, sebab mereka tidak memaksa minta apa-apa seperti dulu. Malah sekarang kalau saya beri buah-buahan mereka menolak," katanya. Nompo dan Muin, tanpa diminta membantu ABRI memperbaiki jalan desa, sementara rekan-rekan sedesa mereka yang lain membantu membuat sumur dan kakus. Pemandangan yang umum terlihat di beberapa desa yang "diserbu" ABRI itu menarik. Sebelum mereka datang desa telah dihias dengan berbagai spanduk dan bendera. Selanjutnya setiap pagi sejumlah lelaki berkaus oblong bercelana hijau bekerja dibantu penduduk. Ada beberapa di antaranya yang gembira menyanyikan lagu-lagu perjuangan. Di bagian lain beberapa orang ibu menyediakan makanan kecil dan minuman. Mereka biasanya istirahat siang hari, kemudian melanjutkan kerja lagi sore harinya. Ada yang tinggal di rumah-rumah penduduk, tapi kebanyakan mendirikan kemah-kemah di lapangan atau halaman sekolah. Di situlah mereka memasak sendiri. Malah kadang membagi beras atau susu kepada penduduk. Malam hari ada yang memberikan ceramah P4, GBHN, KB, keamanan dan ketertiban. Ada pula yang melatih baris-berbaris. Di lain hari juga ada acara olah-raga bersama atau kesenian. Beberapa prajurit bermain gitar. Sampai larut malam kadang ada yang ngobrol dengan tokoh-tokoh masyarakat. Perlengkapan kerja yang mereka bawapun tidak serem pacul, sekop, peng aduk semen, linggis. "Peralatan yang mungkin menakutkan memang tidak diperlihatkan," kata Komandan Kompi Lettu Didi F. Soegito. Senjata yang mereka bawa memang disimpan di kemah -- dalam keadaan siap pakai. "Meskipun begitu kewaspadaan harus tetap dijaga," tambah Didi, tamatan AKABRI 1975. Posisi kemah yang juga merupakan pos komando misalnya tetap diperhitungkan secara strategis. Bahan bakar, kendaraan, senjata, obat-obatan juga diatur sedemikian rupa hingga siap digunakan setiap saat. Penduduk pun bergotong-royong mendampingi mereka. Rumah ronda dibikin, jalan diperbaiki, tempat MCK (mandi-cuci-kakus) dibangun, begitu pula bak air wudhu di masjid serta jembatan. Pagi sampai sore mereka bekerja, sambil menyanyikan lagu-lagu perjuangan. Seorang dokter tentara juga tampak menerangkan seluk-beluk kesehatan dari rumah-ke rumah. Penduduk Desa Toddopolia yang paling bahagia agaknya Ta'ring, janda dengan 4 anak, yang hidup dengan mengerjakan kebun kacang milik orang lain. Rumahnya yang reot, tanpa disangka diperbaiki oleh rombongan tentara itu. "Kalaupun masih ada suami belum tentu saya dapat membikin rumah sebagus ini," ucap Ta'ring menunjuk rumahnya yang jadi contoh rumah sehat. KETIKA anggota ABRI sedang memperbaiki jembatan selebar 1,2 meter, beberapa orang pedagang mencium tangan tentara yang mandi peluh itu. Pedagang itu, di sana disebut paggandeng kelihatannya merasa amat senang. Sebab kini dengan sepeda mereka bisa membawa dagangan melewati jembatan tersebut. Tanpa jembatan seperti selama ini, mereka harus merayap di atas jembatan bambu yang bergoyang-goyang. Tentara-tentara itu umumnya masih muda, sekitar 21 sampai 30 tahun, dan kebanyakan masih bujangan. Mereka pun rata-rata anak desa. Malah anggota-anggota kompi yang sedang bertugas di Maros itu berasal dari Desa Sapta Marga di Panyangkalan, Gowa. Desa Sapta Marga memang sejak dulu dihuni para anggota ABRI -- untuk mengamankan desa-desa dari pengaruh gerombolan Kahar Muzakar. Desa-desa yang menjadi sasaran program AMD rupanya memang desa-desa yang terpencil, masih terbelakang atau keadaannya rawan. Misalnya desa yang bernama Gunung Bau yang terletak di pedalaman Bali, di Kecamatan Kintamani, Bangli. Untuk mencapai desa itu orang harus menyelusuri jalan tanah berbukit-bukit dan berdebu tebal, sepanjang 17 km. Di musim hujan, lumpur di jalan setinggi tumit. Ke desa seperti itulah sebuah tim dari Yon 741/Singaraja melaksanakan program AMD. Terdiri 139 orang, tim itu dipimpin oleh Mayor Suparman. Rata-rata mereka juga masih muda belia. Mereka membangun jalan setapak menjadi jalan selebar 6 meter sepanjang 20 km. Jalan ini menghubungkan Desa Gunung Bau dan Manik Liyu. Program AMD dicetuskan Menhankam Jenderal M. Yusuf pada Februari lalu dan dilaksanakan oleh satuan-satuan TNI-AD secara serentak di seluruh Kodam sejak 20 Agustus. Landasan AMD menurut Jusuf di depan Komisi I DPR akhir Juni, adalah semangat perjuangan 1945. Maksudnya adalah semangat membela tanah air, di samping membantu kesejahteraan rakyat. "ABRI masuk desa terlepas dari tujuan politik apa pun," tambah Menhankam pada kesempatan lain untuk membantah dugaan sebagian orang seakan-akan AMD ada kaitannya dengan Pemilu 1982. Seusai melapor kepada Presiden tentang pelaksanaan AMD itu, akhir pekan lalu Jusuf berkata: "Kalau tentara sudah mendapat tempat di hati rakyat, maka semuanya bisa tidur dengan tenang." Sementara itu Wapangab Laksamana Sudomo menyaksikan langsung pelaksanaan program AMD sambil mengecek sampai ke soal sekecil-kecilnya. Pekan lalu Soedomo muncul di Desa Tanjungsari dan Tanjungharapan, Kecamatan Buay Medang, Ogan-Komering-Ulu, Sum-Sel. Di depan sekelompok prajurit yang sedang beristirahat setelah seharian bekerja, Soedomo menasihatkan, kalau ada warga masyarakat melakukan kesalahan atau pelanggaran jangan dipukul atau dibentak. "Tegurlah ia dengan baik. Dan kalau terbukti bersatah, lakukanlah penuntutan dengan cara yang baik," tambahnya. Malam hari, Soedomo juga menyaksikan pemutaran film oleh warga ABRI dan tarian serta kasidah yang dilakukan penduduk setempat. Di Desa Trimodadi, Lampung Utara, Wapangab menyelesaikan peninjauannya sampai dinihari. Di sana ia ingin melihat para prajurit yang tidur di tenda-tenda. Menurut Soedomo, program ini punya 3 tujuan pokok. Pertama, menguji sistem pertahanan keamanan rakyat semesta (hankamrata) di lapangan kedua, membantu rakyat dalam semua aspek kehidupan ketiga, mengumpulkan permasalahan untuk dicarikan pemecahannya. Sasaran lainnya ialah munjajaki cara yang baik untuk melaksanakan hankamrata itu. PENJELASAN KSAD Jenderal Poniman tentang AMD lebih gamblang. Menurutnya, sasaran dari program ini ialah agar ABRI secara langsung mengenal rakyat, adat-istiadat, budaya dan daerahnya. Selain itu juga untuk mendorong peningkatan hidup rakyat. "Dan sebaliknya, rakyat pun akan lebih mengenal dan manunggal dengan ABRI," kata Poniman. Sementara itu menurut Asisten Operasi Hankam Letjen Seno Hartono, untuk tahap pertama Kodam-Kodam di Jawa menurunkan masing-masing satu batalyon, sedang Kodam-Kodam di luar Jawa masing-masing satu kompi. Tentu saja dilengkapi unit-unit kesatuan zeni untuk tugas-tugas yang bersifat teknis bangunan, di samping prajurit yang bertugas memberikan penyuluhan-penyuluhan. Setiap prajurit yang turut AMD dibekali "buku pintar" sebagai pegangan. Selain itu mereka juga harus mengisi laporan keadaan desa misalnya subur atau gersang, letaknya dari sumber air, ada tidaknya potensi yang dapat diolah untuk kesejahteraan penduduk. AMD dikaitkan dengan pembinaan wilayah. "Kebetulan yang punya wilayah luas hanya TNI-AD. Jadi merekalah yang paling terlibat," ujar sumber TEMPO di Dept Hankam. Untuk angkatan lain yang juga punya wilayah yang harus dibina, dilakukan pula program yang sama. "TNI-AL misalnya, kini juga melaksanakan program ABRI masuk desa di wilayah Riau," tambah sumber tersebut. Program ini akan berlanjut terus. Menurut Menhankam, M. Yusuf, "bukan hanya untuk tahun ini atau tahun depan. Tapi selama rakyat ada, selama tentara ada dan selama republik ini ada." Janji Menhankam itu agaknya klop dengan harapan Hadi Suwarno, 60 tahun, kepala Dukuh Monggang, Kelurahan Sitimulyo, Bantul (DIY). "Tolong sampaikan kepada Bapak Presiden agar tentara yang di sini kalau perlu sampai 1 atau 2 bulan," kata Hadi Suwarno. Dengan program AMD, Suwarno merasa mendapat untung besar: di dukuhnya ada tentara yang mengajar membaca Qur'an. Di Kelurahan Sitimulyo, anak-buah Kapten Hariandja dari Kodam VII/Diponegoro, antara lain memperbaiki jembatan bambu yang sudah reyot. Kalau jadi kelak, bisa dilewati truk berbobot 5 ton. "Dan kalau dikalkulasi pemborong, nilainya bisa mencapai Rp 27 juta," kata Hariandja. Panjang jembatan itu 21 meter, lebar 4 meter. Bagi setiap prajurit yang ikut AMD di lingkungan Kodam VII/Diponegoro, setiap hari disediakan uang Rp 750 untuk lauk pauk dan 600 gram beras. Uang dan beras ini diserahkan kepada kepala desa untuk dimakan bersama penduduk setempat. "Apa yang mereka makan juga kami makan Kami terima saja apa yang mereka hldangkan," kata seorang prajurit. Malah tentara-tentara itu menyediakan minuman di sebuah lapangan untuk penduduk yang membantu bekerja. Malam hari, umumnya penduduk desa tidur setelah larut malam. Setelah mendengarkan berbagai penyuluhan dari warga ABRI itu, ada beberapa di antaranya yang masih ngobrol "Kami seting guyon. Habis tentaranya banyak yang suka melucu," kata seorang petani dari Kunden, Kelurahan Sitimulyo, sambil tertawa. Keakraban seperti itu juga tumbuh di Desa Genteng Wetan, Kecamatan Genteng, Banyuwangi (Ja-Tim). Sehabis bekerja seharian, para warga ABRI serempak sembahyang berjamaah di masjid bersama penduduk. Kegairahan rakyat menyambut ABRI di desa mereka itu juga terlihal di Desa Dangdeur, Kecamatan Banyuresmi, Garut (Ja-Bar). Di tepi jalan-jalan yang sebenarnya tidak masuk dalam proyek, rakyat beramai-ramai mengumpulkan batu. "Saya tahu jalan ini tidak termasuk yang akan digarap. Tapi mudah-mudahan saja kalau sumwol (stoomwals) lewat, ya biar sekalian menggilas batu-batu ini," ujar Dahya, salah seorang penduduk yang menumpuk batu-batu itu. YA, kapan lagi ada kesempatan seperti ini kalau bukan sekarang kita manfaatkan," sahut Sahidin, rekannya. Untuk rnemperbaiki jalan 4 km di desa itu, tak kurang dari 1.000 orang ikut membantu. Mereka cukup bersemangat. Maklum ketika DI/TII Kartosuwirjo masih mengganas di Ja-Bar, hampir semua rumah yang kini dihuni 5.000 jiwa lebih di desa itu dibakar habis. Baru pada 1965 penduduk sempat membangun rumah lagi. Si ABRI sendiri juga bersemangat. Terutama yang bertugas di RW 10 dan 11 Lingkungan Cicaheum, Kecamatan Kiaracondong, Bandung. Ketua RWnya, Undang Subarna, tampaknya juga mengerti bagaimana menyemarakkan semangat tentara. Ia sendiri pensiunan peltu, pernah bergerilya di Tasikmalaya. Setiap pagi ia mengerahkan anak-anak gadis menyambut warga ABRI yang berangkat bekerja. "Pak RW ini pintar juga. Dengan senyuman mojang Priangan yang dikerahkannya setiap pagi, kami jadi semangat bekerja di sini," ujar Capa T. Mangunsong, komandan tim Zeni Kie A Yonif 310. Di Desa Kunyet, Kecamatan Padang Tiji, Pidie (Aceh), penduduk juga merasa tak asing dengan anggota-anggota ABRI. "Kalau kita lewat di perkemahan mereka lantas diajak makan. Duduk bersama, dijamu," tutur seorang penduduk. Ketika para prajurit Kompi B Yonif 112/BS Kodam l/Iskandar Muda itu datang, penduduk melakukan upacara adat tepung-tawar. Istilah Acehnya peuseleuk. "Kita dipeuseleuk dan diterima sebagai warga masyarakat desa," tutur seorang prajurit sambil beristirahat setelah bermain volley ball bersama para pemuda desa, suatu sore. Padahal desa itu dulu termasuk basis kuat DI/TII. Desa Kunyet yang berpenduduk 2.000 jiwa itu, tak punya irigasi yang baik. "Sejak nenek-kakek dulu orang sela1u mengharapkan air hujan," kata Muthalib yang ikut membantu warga ABRI menggali saluran air. Di sana, jalan desa berlumpur bila hujan atau jembatan reot merupakan pemandangan biasa. Sebagian besar rumah beratap rumbia, berlantai tanah berdinding bambu. Nursima, wanita 62 tahun, penduduk Desa Bungo, Koto Tuo, Kabupaten Agam, Sum-Bar rupanya punya pengalaman pahit ketika terjadi pergolakan PRRI pada 1959. "Dulu saya takut sekali sama tentara, sebab kalau anak-cucu mendekati mobil tentara saja dimarahi," tuturnya. Ia sendiri pernah dihardik tentara, bahkan diancam dengan senjata, "karena salah menjawab atau tidak mengerti bagaimana menjawab." Minggu pertama berada di Desa Bungo, warga ABRI yang turut AMD memperbaiki jalan sepanjang 3 km. Selokan dan pagar rumah juga diperbaiki. Mereka juga membuat 3 ruang SD dengan semen bantuan Gubernur Azwar Anas. Malam harinya, seperti di desa-desa lain, tentara-tentara itu masih sempat memberikan ceramah PKK, penyuluhan bimas/inmas, kegiatan seni dan olahraga. Prajurit-prajurit itu semakin memikat hati penduduk Bungo ketika Letda Tituler Noerfoead memberikan pelajaran agama di SD Inpres desa. Selama ini sekolah tersebut tidak punya guru agama. Tidak heran pula bila ibu-ibu pun tanpa diminta membuka dapur umum. "Kami menyediakan ini semua dengan suka rela," kata mereka hampir serempak. Dan kalau sudah begini, prajurit-prajurit itu "seperti pulang kampung saja." Di desa, sebelum mengerjakan sesuatu, para warga AMD bermusyawarah dulu dengan warga desa. Begitu pula acara untuk hari berikutnya. Ini tidaklah berarti mereka melaksanakan tugas dengan disiplin mati. Misalnya yang terjadi di Desa Tigo Koto Batu Basurek, Kecamatan XIII Koto Kampar, Riau. Di sana para prajurit mengedarkan angket kepada penduduk mengenai beberapa masalah. "Ternyata ada l3 masalah yang harus ditangani. Tapi yang paling menonjol masalah jalan, pertanian dan pendidikan," kata Kol. Kavaleri Pardjoko, Dan Rem 031 Wira Bhima. Masalah yang sudah terkumpul itu akan diserahkan kepada pemda sebagai bahan pertimbangan untuk melanjutkan pembangunan. "Ini adalah inisiatif kita sendiri, tidak ada dalam perintah," ujar Pardjoko lagi. Inisiatif seperti itu juga ada di kalangan prajurit AMD di Kelurahan Duren Sawit, Jakarta Timur. Malam hari misalnya, mereka beranjangsana menemui tokoh-tokoh masyarakat. "Dalam anjangsana itu kami mendengarkan keuhan-keluhan masyarakat," ujar Peltu Kavaleri Mamad Sunarya, komandan sebuah tim dari Kodam V/Jaya yang terdiri 12 orang. Ada yang mengeluh listrik belum menyala, padahal sudah setahun diusulkan. Atau mengenai proyek MHT (Mohamad Husni Thamrin) yang tak kunjung dikerjakan meskipun SK Gubernur sudah turun. Ada pula yang heran mengapa sampah yang menggunung tidak juga diangkut oleh Dinas Kebersihan DKI. "Mereka berharap agar kami menyalurkan keluhan itu kepada pemda. Tapi kami hanya bisa menyalurkannya lewat panglima. Dan panglimalah nanti yang akan membicarakannya dengan gubernur," tutur Sunarya. Merasa diperhatikan seperti itu, beberapa orang -- terutama generasi tua -- serta-merta jadi terungkit kenangannya. Ada yang teringat masa revolusi bersenjata dulu, di kala Angkatan Perang bersama rakyat bergerilya melawan Belanda. Seperti halnya Cornelis Silalahi, 50 tahun, guru agama Kristen SD di Desa Saribuasih, Kecamatan Tanah Jawa, Simalungun (Sum-Ut). "Di tahun 1945 dulu kita menyumbang beras untuk tentara. Sekarang ABRI datang kembali ke desa sudah dengan biaya sendiri," katanya. YANG seperasaan dengan Cornelis adalah Thontawi, 69 tahun, di Desa Manukan Wetan, Kecamatan Tandes, Surabaya (Ja-Tim). Melihat ABRI dan rakyat gotong-royong mencangkul di sawah dan malamnya sama-sama meronda desa, sang kakek berkata "Saya kok lantas ingat di masa revolusi dulu. Tentara mundur ke desa menyusun kekuatan, penduduk menyiapkan bekal buat mereka." Memang bisa dimaklum kalau desa disebut sebagai pangkalan mundur bagi ,ABRI jika menghadapi lawan yang lebih kuat. Ini adalah pendapat Brigjen Prof. Dr. Nugroho Notosusanto, Kepala Pusat Sejarah ABRI. "Berlainan dengan tentara Vietnam yang harus kembali ke kota, ABRI selama perang kemerdekaan selalu bergerak ke desa. Dengan begitu program ABRI masuk desa kali ini merupakan "penyegar" bagi ABRI maupun rakyat untuk menghayati kembali kebenaran sistem hankamrata tersebut," kata Nugroho. Program ABRI masuk desa ini menurut Nugroho juga ada kaitannya dengan proses peremajaan ABRI dari generasi 1945 kepada generasi muda yang tidak lagi mengalami perang kemerdekaan 1945-1949. Soalnya sekarang akan sampai sejauh mana si ABRI "menangani" desa-desa itu?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus