MENDADAK, Rabu pagi 20 Agustus itu, suasana Desa Allaere dan
Toddopolia yang selama ini selalu sepi, menjadi hldup. Kedua
desa di Kecamatan Mandai, Maros (Sul-Sel) ini memang terpencil.
Dan miskin. Bila musim hujan tiba, Sungai Maros meluap dan
jalan-jalan jadi kubangan, sementara jembatan tak ada.
Di sanalah -- selain di dua desa di Bulukumba dan dua lagi di
Kolaka (Sultra) -- program ABRI masuk desa (AMD) untuk wilayah
Kodam XIV/Hasanuddin berlangsung. Kawasan ini dulu pernah tak
aman ketika gerombolan DI/TII Kahar Muzakar masih mengganas.
Bisa dimaklum kalau penduduk pernah curiga terhadap tentara.
Tapi kini penduduk menyambut anggota-anggota ABRI itu dengan
gembira. "Kedatangan mereka tidak menakutkan lagi seperti ketika
zaman kacau dulu. Dulu kalau melihat tentara, hati selalu
bergidik," ujar Nompo, 65 tahun, kakek dari 11 cucu di Desa
Toddopolia. "Mereka tidak memaksa-maksa seperti dulu."
Muin, ayah dari 4 anak di kampung Biring Kaloro Desa Allaere
juga senang. "Saya juga tidak takut lagi, sebab mereka tidak
memaksa minta apa-apa seperti dulu. Malah sekarang kalau saya
beri buah-buahan mereka menolak," katanya. Nompo dan Muin, tanpa
diminta membantu ABRI memperbaiki jalan desa, sementara
rekan-rekan sedesa mereka yang lain membantu membuat sumur dan
kakus.
Pemandangan yang umum terlihat di beberapa desa yang "diserbu"
ABRI itu menarik. Sebelum mereka datang desa telah dihias dengan
berbagai spanduk dan bendera. Selanjutnya setiap pagi sejumlah
lelaki berkaus oblong bercelana hijau bekerja dibantu penduduk.
Ada beberapa di antaranya yang gembira menyanyikan lagu-lagu
perjuangan. Di bagian lain beberapa orang ibu menyediakan
makanan kecil dan minuman.
Mereka biasanya istirahat siang hari, kemudian melanjutkan kerja
lagi sore harinya. Ada yang tinggal di rumah-rumah penduduk,
tapi kebanyakan mendirikan kemah-kemah di lapangan atau halaman
sekolah. Di situlah mereka memasak sendiri. Malah kadang membagi
beras atau susu kepada penduduk.
Malam hari ada yang memberikan ceramah P4, GBHN, KB, keamanan
dan ketertiban. Ada pula yang melatih baris-berbaris. Di lain
hari juga ada acara olah-raga bersama atau kesenian. Beberapa
prajurit bermain gitar. Sampai larut malam kadang ada yang
ngobrol dengan tokoh-tokoh masyarakat.
Perlengkapan kerja yang mereka bawapun tidak serem pacul, sekop,
peng aduk semen, linggis. "Peralatan yang mungkin menakutkan
memang tidak diperlihatkan," kata Komandan Kompi Lettu Didi F.
Soegito. Senjata yang mereka bawa memang disimpan di kemah --
dalam keadaan siap pakai.
"Meskipun begitu kewaspadaan harus tetap dijaga," tambah Didi,
tamatan AKABRI 1975. Posisi kemah yang juga merupakan pos
komando misalnya tetap diperhitungkan secara strategis. Bahan
bakar, kendaraan, senjata, obat-obatan juga diatur sedemikian
rupa hingga siap digunakan setiap saat.
Penduduk pun bergotong-royong mendampingi mereka. Rumah ronda
dibikin, jalan diperbaiki, tempat MCK (mandi-cuci-kakus)
dibangun, begitu pula bak air wudhu di masjid serta jembatan.
Pagi sampai sore mereka bekerja, sambil menyanyikan lagu-lagu
perjuangan. Seorang dokter tentara juga tampak
menerangkan seluk-beluk kesehatan dari rumah-ke rumah.
Penduduk Desa Toddopolia yang paling bahagia agaknya Ta'ring,
janda dengan 4 anak, yang hidup dengan mengerjakan kebun kacang
milik orang lain. Rumahnya yang reot, tanpa disangka diperbaiki
oleh rombongan tentara itu. "Kalaupun masih ada suami belum
tentu saya dapat membikin rumah sebagus ini," ucap Ta'ring
menunjuk rumahnya yang jadi contoh rumah sehat.
KETIKA anggota ABRI sedang memperbaiki jembatan selebar 1,2
meter, beberapa orang pedagang mencium tangan tentara yang mandi
peluh itu. Pedagang itu, di sana disebut paggandeng kelihatannya
merasa amat senang. Sebab kini dengan sepeda mereka bisa membawa
dagangan melewati jembatan tersebut. Tanpa jembatan seperti
selama ini, mereka harus merayap di atas jembatan bambu yang
bergoyang-goyang.
Tentara-tentara itu umumnya masih muda, sekitar 21 sampai 30
tahun, dan kebanyakan masih bujangan. Mereka pun rata-rata anak
desa. Malah anggota-anggota kompi yang sedang bertugas di Maros
itu berasal dari Desa Sapta Marga di Panyangkalan, Gowa. Desa
Sapta Marga memang sejak dulu dihuni para anggota ABRI -- untuk
mengamankan desa-desa dari pengaruh gerombolan Kahar Muzakar.
Desa-desa yang menjadi sasaran program AMD rupanya memang
desa-desa yang terpencil, masih terbelakang atau keadaannya
rawan. Misalnya desa yang bernama Gunung Bau yang terletak di
pedalaman Bali, di Kecamatan Kintamani, Bangli. Untuk mencapai
desa itu orang harus menyelusuri jalan tanah berbukit-bukit dan
berdebu tebal, sepanjang 17 km. Di musim hujan, lumpur di jalan
setinggi tumit.
Ke desa seperti itulah sebuah tim dari Yon 741/Singaraja
melaksanakan program AMD. Terdiri 139 orang, tim itu dipimpin
oleh Mayor Suparman. Rata-rata mereka juga masih muda belia.
Mereka membangun jalan setapak menjadi jalan selebar 6 meter
sepanjang 20 km. Jalan ini menghubungkan Desa Gunung Bau dan
Manik Liyu.
Program AMD dicetuskan Menhankam Jenderal M. Yusuf pada Februari
lalu dan dilaksanakan oleh satuan-satuan TNI-AD secara serentak
di seluruh Kodam sejak 20 Agustus. Landasan AMD menurut Jusuf di
depan Komisi I DPR akhir Juni, adalah semangat perjuangan 1945.
Maksudnya adalah semangat membela tanah air, di samping membantu
kesejahteraan rakyat. "ABRI masuk desa terlepas dari tujuan
politik apa pun," tambah Menhankam pada kesempatan lain untuk
membantah dugaan sebagian orang seakan-akan AMD ada kaitannya
dengan Pemilu 1982.
Seusai melapor kepada Presiden tentang pelaksanaan AMD itu,
akhir pekan lalu Jusuf berkata: "Kalau tentara sudah mendapat
tempat di hati rakyat, maka semuanya bisa tidur dengan tenang."
Sementara itu Wapangab Laksamana Sudomo menyaksikan langsung
pelaksanaan program AMD sambil mengecek sampai ke soal
sekecil-kecilnya.
Pekan lalu Soedomo muncul di Desa Tanjungsari dan
Tanjungharapan, Kecamatan Buay Medang, Ogan-Komering-Ulu,
Sum-Sel. Di depan sekelompok prajurit yang sedang beristirahat
setelah seharian bekerja, Soedomo menasihatkan, kalau ada warga
masyarakat melakukan kesalahan atau pelanggaran jangan dipukul
atau dibentak. "Tegurlah ia dengan baik. Dan kalau terbukti
bersatah, lakukanlah penuntutan dengan cara yang baik,"
tambahnya.
Malam hari, Soedomo juga menyaksikan pemutaran film oleh warga
ABRI dan tarian serta kasidah yang dilakukan penduduk setempat.
Di Desa Trimodadi, Lampung Utara, Wapangab menyelesaikan
peninjauannya sampai dinihari. Di sana ia ingin melihat para
prajurit yang tidur di tenda-tenda.
Menurut Soedomo, program ini punya 3 tujuan pokok. Pertama,
menguji sistem pertahanan keamanan rakyat semesta (hankamrata)
di lapangan kedua, membantu rakyat dalam semua aspek kehidupan
ketiga, mengumpulkan permasalahan untuk dicarikan pemecahannya.
Sasaran lainnya ialah munjajaki cara yang baik untuk
melaksanakan hankamrata itu.
PENJELASAN KSAD Jenderal Poniman tentang AMD lebih gamblang.
Menurutnya, sasaran dari program ini ialah agar ABRI secara
langsung mengenal rakyat, adat-istiadat, budaya dan daerahnya.
Selain itu juga untuk mendorong peningkatan hidup rakyat. "Dan
sebaliknya, rakyat pun akan lebih mengenal dan manunggal dengan
ABRI," kata Poniman.
Sementara itu menurut Asisten Operasi Hankam Letjen Seno
Hartono, untuk tahap pertama Kodam-Kodam di Jawa menurunkan
masing-masing satu batalyon, sedang Kodam-Kodam di luar Jawa
masing-masing satu kompi. Tentu saja dilengkapi unit-unit
kesatuan zeni untuk tugas-tugas yang bersifat teknis bangunan,
di samping prajurit yang bertugas memberikan
penyuluhan-penyuluhan.
Setiap prajurit yang turut AMD dibekali "buku pintar" sebagai
pegangan. Selain itu mereka juga harus mengisi laporan keadaan
desa misalnya subur atau gersang, letaknya dari sumber air, ada
tidaknya potensi yang dapat diolah untuk kesejahteraan penduduk.
AMD dikaitkan dengan pembinaan wilayah. "Kebetulan yang punya
wilayah luas hanya TNI-AD. Jadi merekalah yang paling terlibat,"
ujar sumber TEMPO di Dept Hankam. Untuk angkatan lain yang juga
punya wilayah yang harus dibina, dilakukan pula program yang
sama. "TNI-AL misalnya, kini juga melaksanakan program ABRI
masuk desa di wilayah Riau," tambah sumber tersebut.
Program ini akan berlanjut terus. Menurut Menhankam, M. Yusuf,
"bukan hanya untuk tahun ini atau tahun depan. Tapi selama
rakyat ada, selama tentara ada dan selama republik ini ada."
Janji Menhankam itu agaknya klop dengan harapan Hadi Suwarno, 60
tahun, kepala Dukuh Monggang, Kelurahan Sitimulyo, Bantul (DIY).
"Tolong sampaikan kepada Bapak Presiden agar tentara yang di
sini kalau perlu sampai 1 atau 2 bulan," kata Hadi Suwarno.
Dengan program AMD, Suwarno merasa mendapat untung besar: di
dukuhnya ada tentara yang mengajar membaca Qur'an.
Di Kelurahan Sitimulyo, anak-buah Kapten Hariandja dari Kodam
VII/Diponegoro, antara lain memperbaiki jembatan bambu yang
sudah reyot. Kalau jadi kelak, bisa dilewati truk berbobot 5
ton. "Dan kalau dikalkulasi pemborong, nilainya bisa mencapai Rp
27 juta," kata Hariandja. Panjang jembatan itu 21 meter, lebar 4
meter.
Bagi setiap prajurit yang ikut AMD di lingkungan Kodam
VII/Diponegoro, setiap hari disediakan uang Rp 750 untuk lauk
pauk dan 600 gram beras. Uang dan beras ini diserahkan kepada
kepala desa untuk dimakan bersama penduduk setempat. "Apa yang
mereka makan juga kami makan Kami terima saja apa yang mereka
hldangkan," kata seorang prajurit. Malah tentara-tentara itu
menyediakan minuman di sebuah lapangan untuk penduduk yang
membantu bekerja.
Malam hari, umumnya penduduk desa tidur setelah larut malam.
Setelah mendengarkan berbagai penyuluhan dari warga ABRI itu,
ada beberapa di antaranya yang masih ngobrol "Kami seting guyon.
Habis tentaranya banyak yang suka melucu," kata seorang petani
dari Kunden, Kelurahan Sitimulyo, sambil tertawa. Keakraban
seperti itu juga tumbuh di Desa Genteng Wetan, Kecamatan
Genteng, Banyuwangi (Ja-Tim). Sehabis bekerja seharian, para
warga ABRI serempak sembahyang berjamaah di masjid bersama
penduduk.
Kegairahan rakyat menyambut ABRI di desa mereka itu juga
terlihal di Desa Dangdeur, Kecamatan Banyuresmi, Garut (Ja-Bar).
Di tepi jalan-jalan yang sebenarnya tidak masuk dalam proyek,
rakyat beramai-ramai mengumpulkan batu. "Saya tahu jalan ini
tidak termasuk yang akan digarap. Tapi mudah-mudahan saja kalau
sumwol (stoomwals) lewat, ya biar sekalian menggilas batu-batu
ini," ujar Dahya, salah seorang penduduk yang menumpuk batu-batu
itu.
YA, kapan lagi ada kesempatan seperti ini kalau bukan sekarang
kita manfaatkan," sahut Sahidin, rekannya. Untuk rnemperbaiki
jalan 4 km di desa itu, tak kurang dari 1.000 orang ikut
membantu. Mereka cukup bersemangat. Maklum ketika DI/TII
Kartosuwirjo masih mengganas di Ja-Bar, hampir semua rumah yang
kini dihuni 5.000 jiwa lebih di desa itu dibakar habis. Baru
pada 1965 penduduk sempat membangun rumah lagi.
Si ABRI sendiri juga bersemangat. Terutama yang bertugas di RW
10 dan 11 Lingkungan Cicaheum, Kecamatan Kiaracondong, Bandung.
Ketua RWnya, Undang Subarna, tampaknya juga mengerti bagaimana
menyemarakkan semangat tentara.
Ia sendiri pensiunan peltu, pernah bergerilya di Tasikmalaya.
Setiap pagi ia mengerahkan anak-anak gadis menyambut warga ABRI
yang berangkat bekerja. "Pak RW ini pintar juga. Dengan senyuman
mojang Priangan yang dikerahkannya setiap pagi, kami jadi
semangat bekerja di sini," ujar Capa T. Mangunsong, komandan tim
Zeni Kie A Yonif 310.
Di Desa Kunyet, Kecamatan Padang Tiji, Pidie (Aceh), penduduk
juga merasa tak asing dengan anggota-anggota ABRI. "Kalau kita
lewat di perkemahan mereka lantas diajak makan. Duduk bersama,
dijamu," tutur seorang penduduk.
Ketika para prajurit Kompi B Yonif 112/BS Kodam l/Iskandar Muda
itu datang, penduduk melakukan upacara adat tepung-tawar.
Istilah Acehnya peuseleuk. "Kita dipeuseleuk dan diterima
sebagai warga masyarakat desa," tutur seorang prajurit sambil
beristirahat setelah bermain volley ball bersama para pemuda
desa, suatu sore. Padahal desa itu dulu termasuk basis kuat
DI/TII.
Desa Kunyet yang berpenduduk 2.000 jiwa itu, tak punya irigasi
yang baik. "Sejak nenek-kakek dulu orang sela1u mengharapkan air
hujan," kata Muthalib yang ikut membantu warga ABRI menggali
saluran air. Di sana, jalan desa berlumpur bila hujan atau
jembatan reot merupakan pemandangan biasa. Sebagian besar rumah
beratap rumbia, berlantai tanah berdinding bambu.
Nursima, wanita 62 tahun, penduduk Desa Bungo, Koto Tuo,
Kabupaten Agam, Sum-Bar rupanya punya pengalaman pahit ketika
terjadi pergolakan PRRI pada 1959. "Dulu saya takut sekali sama
tentara, sebab kalau anak-cucu mendekati mobil tentara saja
dimarahi," tuturnya. Ia sendiri pernah dihardik tentara, bahkan
diancam dengan senjata, "karena salah menjawab atau tidak
mengerti bagaimana menjawab."
Minggu pertama berada di Desa Bungo, warga ABRI yang turut AMD
memperbaiki jalan sepanjang 3 km. Selokan dan pagar rumah juga
diperbaiki. Mereka juga membuat 3 ruang SD dengan semen bantuan
Gubernur Azwar Anas. Malam harinya, seperti di desa-desa lain,
tentara-tentara itu masih sempat memberikan ceramah PKK,
penyuluhan bimas/inmas, kegiatan seni dan olahraga.
Prajurit-prajurit itu semakin memikat hati penduduk Bungo ketika
Letda Tituler Noerfoead memberikan pelajaran agama di SD Inpres
desa. Selama ini sekolah tersebut tidak punya guru agama. Tidak
heran pula bila ibu-ibu pun tanpa diminta membuka dapur umum.
"Kami menyediakan ini semua dengan suka rela," kata mereka
hampir serempak. Dan kalau sudah begini, prajurit-prajurit itu
"seperti pulang kampung saja."
Di desa, sebelum mengerjakan sesuatu, para warga AMD
bermusyawarah dulu dengan warga desa. Begitu pula acara untuk
hari berikutnya. Ini tidaklah berarti mereka melaksanakan tugas
dengan disiplin mati. Misalnya yang terjadi di Desa Tigo Koto
Batu Basurek, Kecamatan XIII Koto Kampar, Riau. Di sana para
prajurit mengedarkan angket kepada penduduk mengenai beberapa
masalah.
"Ternyata ada l3 masalah yang harus ditangani. Tapi yang paling
menonjol masalah jalan, pertanian dan pendidikan," kata Kol.
Kavaleri Pardjoko, Dan Rem 031 Wira Bhima. Masalah yang sudah
terkumpul itu akan diserahkan kepada pemda sebagai bahan
pertimbangan untuk melanjutkan pembangunan. "Ini adalah
inisiatif kita sendiri, tidak ada dalam perintah," ujar Pardjoko
lagi.
Inisiatif seperti itu juga ada di kalangan prajurit AMD di
Kelurahan Duren Sawit, Jakarta Timur. Malam hari misalnya,
mereka beranjangsana menemui tokoh-tokoh masyarakat. "Dalam
anjangsana itu kami mendengarkan keuhan-keluhan masyarakat,"
ujar Peltu Kavaleri Mamad Sunarya, komandan sebuah tim dari
Kodam V/Jaya yang terdiri 12 orang.
Ada yang mengeluh listrik belum menyala, padahal sudah setahun
diusulkan. Atau mengenai proyek MHT (Mohamad Husni Thamrin) yang
tak kunjung dikerjakan meskipun SK Gubernur sudah turun. Ada
pula yang heran mengapa sampah yang menggunung tidak juga
diangkut oleh Dinas Kebersihan DKI. "Mereka berharap agar kami
menyalurkan keluhan itu kepada pemda. Tapi kami hanya bisa
menyalurkannya lewat panglima. Dan panglimalah nanti yang akan
membicarakannya dengan gubernur," tutur Sunarya.
Merasa diperhatikan seperti itu, beberapa orang -- terutama
generasi tua -- serta-merta jadi terungkit kenangannya. Ada yang
teringat masa revolusi bersenjata dulu, di kala Angkatan Perang
bersama rakyat bergerilya melawan Belanda. Seperti halnya
Cornelis Silalahi, 50 tahun, guru agama Kristen SD di Desa
Saribuasih, Kecamatan Tanah Jawa, Simalungun (Sum-Ut). "Di tahun
1945 dulu kita menyumbang beras untuk tentara. Sekarang ABRI
datang kembali ke desa sudah dengan biaya sendiri," katanya.
YANG seperasaan dengan Cornelis adalah Thontawi, 69 tahun, di
Desa Manukan Wetan, Kecamatan Tandes, Surabaya (Ja-Tim). Melihat
ABRI dan rakyat gotong-royong mencangkul di sawah dan malamnya
sama-sama meronda desa, sang kakek berkata "Saya kok lantas
ingat di masa revolusi dulu. Tentara mundur ke desa menyusun
kekuatan, penduduk menyiapkan bekal buat mereka."
Memang bisa dimaklum kalau desa disebut sebagai pangkalan mundur
bagi ,ABRI jika menghadapi lawan yang lebih kuat. Ini adalah
pendapat Brigjen Prof. Dr. Nugroho Notosusanto, Kepala Pusat
Sejarah ABRI. "Berlainan dengan tentara Vietnam yang harus
kembali ke kota, ABRI selama perang kemerdekaan selalu bergerak
ke desa. Dengan begitu program ABRI masuk desa kali ini
merupakan "penyegar" bagi ABRI maupun rakyat untuk menghayati
kembali kebenaran sistem hankamrata tersebut," kata Nugroho.
Program ABRI masuk desa ini menurut Nugroho juga ada kaitannya
dengan proses peremajaan ABRI dari generasi 1945 kepada generasi
muda yang tidak lagi mengalami perang kemerdekaan 1945-1949.
Soalnya sekarang akan sampai sejauh mana si ABRI "menangani"
desa-desa itu?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini