SEPERTI ada yang selalu hangat di Bandung -- di antara para
remaja Kalangan Majelis Ulama Kotamadya, di Gedung Rumentang
Siang, 28 Agustus kemarin membacakan kertas berisi analisa
"gerakan Imran bin Muhammad Zain". Imran, adalah tokoh muda yang
dibai'at sebagai "imam" oleh sekelompok remaja yang menjadi
pangkal kericuhan di Masjid Istiqamah, Bandung (TEMPO, 16
Agustus).
Dibacakan di depan para ketua Dewan Kemakmuran Masjid (DKM),
analisa tersebut antara lain menganggap "gerakan Imran" sebagai
pemecah-belah umat. Bahasanya keras. Dan mungkin karena itu juga
kertas tersebut, yang ditanda-tangani H.A. Naswari Mansur dan
Yunus Nataatmaja, tidak diberi cap stempel MU Kodya tidak semua
orang setuju, rupanya. "Ini lebih bersifat vonis dan tidak
mendidik," ujar seorang pengurus MU.
Betapapun kata sepakat rupanya tidak dicapai sebelumnya,
kalangan ulama jelas sedang terlibat pikirannya dalam beberapa
kasus yang berbau kekerasan di kalangan remaja Islam. Analisa
itu sendiri dibuat beberapa waktu setelah terjadinya perkelahian
di dekat sebuah kuburan di Cimahi, kota satelit Bandung, Sabtu
16 Agustus.
Dilarang Merokok
Agak mencengangkan: perkelahian itu tampaknya disebabkan oleh
satu soal keagamaan yang sudah sangat usang. Ceritanya Sekitar
70 penduduk Cimahi, hampir semuanya pemuda, mengantarkan jenasah
Sarjiman ke pekuburan Kampung Ubug, Jalan Barus. Tidak terlihat
karangan bunga, tak ada payung yang meneduhi keranda, tak ada
pula orang yang membawa air bunga dalam botol untuk disiramkan
ke makam.
Penguburan berlangsung tertib. Tapi segera sesudah itu timbul
keributan massal di antara pengiring jenasah sendiri. Seorang
pemuda luka-luka dan langsung dilarikan ke rumah sakit. Beberapa
senjata tajam disita polisi, juga 12 butir peluru.
Pokok soalnya, yang kelihatan: perbedaan pendapat dalam tatacara
pemakaman. Di kampung tersebut, cara seperti itu konon tak
lazim. Sedang Sarjiman, si mayit, adalah anggota grup pengajian
yang antara lain dipimpin Azhar (26 tahun), yang hari itu juga
berada di tengah mereka. Sarjiman sendiri dikabarkan sudah
berpesan agar penguburan dilaksanakan dengan cara mereka, dan
itu pulalah yang dilakukan. Grup pengajian ini antara lain
meyakini, bahwa pemakaman tak boleh dicampur dengan penaburan
bunga dan semacamnya. Wanita, juga, tak boleh ikut ke kubur. Tak
ada yang dibenarkan merokok waktu upacara. Tak boleh pula
meninggikan gundukan tanah makam.
Kalau hanya itu soalnya, maka masalahnya sebenarnya tidak baru:
Persis (Persatuan Islam), Muhammadiyah atau Al Irsyad, sudah
lebih setengah abad berusaha menyederhanakan upacara penguburan.
Misalnya, tak ada talqin -- pidato kepada si mayat, menuntunnya
dalam "menjawab pertanyaan malaikat". Juga tak ada tahlil, zikir
yang "dikirimkan pahalanya" kepada si mati. Dan itu jugalah yang
dilaksanakan hari itu.
Hanya, bedanya: Persis dan kawankawannya -- plus mereka yang
tidak sependapat sudah memberi harga masalah khilafiyah
(kontroversial) seperti itu sebagai berkedudukan furu' (ranting
kecil). Terlalu sepele untuk dijadikan pokok pertentangan umat.
Kelompok Azhar dengan begitu tampak seakan-akan "ranting Persis
yang terlepas" dan menjadi ekstrim.
Dan ekstrimitas itulah yang menyebabkan orang-orang di Bandung
menghubungkannya dengan grup "Imam" Imran. Tak heran. Imran
sendiri, sementara paham keagamaannya kelihatan dekat sekali
dengan kalangan Persis (minus soal "imam" itu).
Sebagai Koleksi
Tapi bukan baru sekali ini saja grup Azhar terlibat dalam
kericuhan. Seperti juga kelompok Imran telah menyebabkan
kepengurusan pemuda Masjid Istiqamah dibekukan oleh pihak
yayasan, grup Azhar juga menyebabkan dibekukannya kepengurusan
pemuda Masjid Agung Cimahi -- oleh Walikota, sekitar lima bulan
lalu. Juga seperti grup Imran, grup Azhar --yang di Cimahi,
menurut harian Pikiran Rakyat, biasa berpengajian di sebuah
masjid di Jalan Gatot Subroto -- dikabarkan mempersenjatai diri.
Bahkan di depan Kores 841 Cibabat mereka mengakui ke-12 butir
peluru yang disita dalam bentrokan itu memang milik anak
almarhum Sarjiman, yang juga anggota pengajian. Kata mereka itu
disimpan "sebagai koleksi saja".
Sudah tentu Azhar, kepada TEMPO, membantah hubungannya dengan
Imran seperti yang misalnya ditulis harian Merdeka. Sementara
Imran sendiri, yang kepada TEMPO menolak dihubungkan dengan
perkumpulan Islam Jama'ah, juga belum jelas benar latar belakang
"gerakan "nya.
Yang kelihatan kemudian hanyalah semacam rivalitas antar
kelompok pemuda -- baik "dipakai" atau tidak oleh kalangan luar.
Tampak bahwa antara grup Azhar dan para pemuda Kampung Ubug,
tempat perkelahian itu, sudah ada permusuhan. Dus bukan soal
agama benar. Di malam setelah perkelahian itu misalnya, pemuda
Kampung Ubug bersiap-siap oleh adanya "info" akan diserang grup
Azhar -- yang tentu saja tak benar.
Betapa pun, mereka tampak sebagai sisa-sisa semangat militan
yang, merasa kehilangan tempat bergantung. Tanpa agama, mereka
barangkali hanya pemuda nakal biasa yang dahulu hampir-hampir
mewarnai Kota Bandung dan sekitarnya, sebelum ramainya remaja
masjid. Dan mereka siapa tahu hanya tak ingin kehilangan
"identitas" -- dan agama lantas menjadi saluran.
Adapun bagaimana menanggulangi nya, itulah tentunya yang menjadi
pikiran kalangan Majelis Ulama.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini