Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Aksi Bertahan sampai Kapan?

Asal-muasal peran militer di lembaga wakil rakyat timbul dari keadaan darurat. Sekarang, meski digugat, ABRI tetap berkehendak hadir di DPR. Sejalankah ini dengan reposisi dan redefinisi?

21 Desember 1998 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JIKA konsep dwifungsi adalah "babonnya", keberadaan anggota ABRI di DPR/MPR bisa diibaratkan salah satu anak kandungnya. Ya, salah satunya, karena bukan hanya lewat lembaga legislatif, ABRI melakukan fungsi sosial politiknya. Dan bukan hanya "anak kandungnya" yang kemudian mengintervensi kehidupan masyarakat Indonesia dalam bernegara dan bermasyarkat.

Soal peran ABRI?antara lain?di lembaga legislatif yang pada akhirnya menghambat partisipasi politik masyarakat inilah yang sampai Jumat pekan lalu masih digugat oleh mahasiswa yang memprotes dwifungsi ABRI. Kejadian Jumat itu bukan yang pertama dan bukan pula yang terakhir. Sejak aksi-aksi mahasiswa dan anggota masyarakat lainnya tahun 1970-an, peran ABRI di fungsi-fungsi sosial dan politik sudah digugat habis. Namun sampai hari ini hasilnya belum maksimal.

Salah satu simbol yang menjadi sasaran aksi menentang dwifungsi adalah Gedung DPR/MPR di Senayan, Jakarta. Tempat para anggota majelis hari-hari belakangan ini menggodok rancangan undang-undang politik, antara lain UU Susunan dan Kedudukan DPR/MPR?termasuk di dalamnya mengatur posisi ABRI di lembaga legislatif tersebut.

Sampai pekan lalu, kabar yang terdengar dari gedung tersebut, ABRI paling tidak akan mendapatkan "jatah" 40 kursi. Angka ini didapat berdasarkan asumsi bahwa jika di setiap subkomisi (ada 40 subkomisi) harus ada anggota Fraksi ABRI-nya, didapatlah 40 tersebut.

Soal perdebatan boleh tidaknya anggota ABRI diangkat dan duduk di DPR/MPR sudah bergema sejak Sidang Istimewa November lalu. Dengan segala keberanian dan pengorbanannya, mahasiswa mencoba menutup kemungkinan itu dengan melakukan aksi di jalan. Namun aksi mahasiswa tak mampu membendung keinginan anggota Fraksi ABRI, Fraksi Karya Pembangunan, dan Fraksi PDI, serta Fraksi Utusan Daerah untuk tetap mempertahankan kehadiran militer di lembaga tersebut.

Kuatnya dorongan penghuni Senayan inilah barangkali yang disebut oleh Ryas Rasyid, Ketua Tim revisi RUU politik dari Departemen Dalam Negeri itu, sebagai realitas politik. Artinya, kehadiran ABRI di DPR itu bukan hanya soal dibutuhkan atau tidak. Tapi, sebagai kekuatan politik yang riil, ABRI ternyata tetap berkehendak duduk di legislatif.

Kalau ditelusuri sejarah awal masuknya ABRI di DPR/MPR, semua bermula dari dinyatakannya negara dalam keadaan SOB atau darurat oleh Presiden Soekarno, tanggal 14 Maret 1957. Pernyataan Soekarno itu membuat ABRI memiliki landasan legal untuk ikut campur dalam setiap sisi kehidupan masyarakat dan negara. Dari sini kemudian diikuti dengan dibentuknya Dewan Perancang Nasional (UU No. 80/1958) dan Dekrit Presiden 1959, yang melahirkan Front Nasional sekaligus memunculkan organisasi ektensi bentukan ABRI, termasuk Golongan Karya.

Tahun 1960, Soekarno membentuk Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR). Semua anggota DPRGR saat itu diangkat oleh Soekarno. Tahun itu, porsi ABRI di DPR 12 persen dari keseluruhan anggota.

Kekuasaan berpindah tangan setelah peristiwa Gerakan 30 September terjadi. Dari Soekarno ke Soeharto. Namun semangat untuk yang satu ini?posisi ABRI di legislatif?tak berubah. Ketika pada awal Orde Baru, 1967, dibetuk sebuah panitia khusus guna membuat tiga buah undang-undang (UU Pemilu, UU Susunan dan Kedudukan MPR/DPR, serta UU tentang Partai Politik, Organisasi Massa, dan Golkar), keinginan ABRI untuk duduk di legislatif tetap terlihat. Dengan asumsi dasar: guna menjamin agar Pancasila dan UUD 1945 tidak diselewengkan, ABRI dibutuhkan untuk mengamankannya, antara lain lewat lembaga legislatif.

Dan dimulailah sejarah keberadaan anggota ABRI yang diangkat di lembaga legislatif memiliki landasan yuridis, bersama dengan anggota yang dipilih lewat Pemilu 1971. Dari semua anggota MPR hasil pemilu pertama era Orde Baru itu, sepertiga dari mereka diangkat. Begitu pula dengan wakil rakyat di DPR, yang saat itu jumlahnya 460 anggota, 100 di antaranya diangkat, termasuk 75 kursi jatah ABRI (16 persen).

Begitu seterusnya dengan anggota DPR/MPR di pemilu-pemilu berikutnya. Keberadaan anggota legislatif berbaju hijau terus berlangsung. Meskipun terjadi fluktuasi keanggotaan militer yang duduk di parlemen, itu hanya berkisar pada jumlahnya. Ketika Pemilu 1987 menetapkan jumlah anggota DPR menjadi 500, jumlah anggota F-ABRI juga berubah menjadi 100 orang atau 20 persen.

Namun, meski pada awal sejarahnya keberadaan ABRI di legislatif dilihat sebagai sebuah upaya untuk menyelamatkan bangsa atau perimbangan politik, realitas pula yang menunjukkan bahwa keberadaan ABRI di DPR, DPRD I dan II, bukan hanya karena soal-soal ideologis, tapi juga alasan sederhana: sebagai jenjang karir. Munculnya keperluan mengadakan Fraksi ABRI di DPRD tingkat I dan II dalam RUU Susunan dan Kedudukan MPR/DPR (yang semula tidak ada dalam draf Tim RUU Politik Depdagri) tak lain karena adanya desakan dari para perwira yang merasa akan kehilangan tempat "penyaluran" jika tak lagi dibutuhkan di pos militer.

Karena itu tak berlebihan jika seorang pengamat militer dari Australian National University, Harold Crouch, mengatakan bahwa kedudukan di legislatif bisa juga berarti, "Semacam pensiun buat mereka," kata Crouch kepada Purwani D. Prabandari dari TEMPO.

Gejala semacam itu, dalam pandangan Hari Sabarno, Wakil Ketua DPR/MPR, merupakan pergeseran dari mission oriented menjadi job oriented. ''Misinya bukan lagi menjadi stabilisator dan dinamisator. Ini salah satu yang menyebabkan keberadaan ABRI digugat,'' katanya.

Namun "penerimaan" terhadap kelaziman keberadaan ABRI di segala bidang kehidupan masyarakat lebih dari 30 tahun itu ternyata juga menerpa alam bawah sadar tokoh-tokoh sipil. Buktinya, pertemuan Ciganjur, yang dihadiri oleh Gus Dur, Amien Rais, Megawati, dan Sri Sultan Hamengku Buwono X, melahirkan pernyataan yang memberikan masa transisi keberadaan ABRI di lembaga tersebut sampai enam tahun mendatang.

Namun, menurut Amien Rais, apa yang termuat dalam Deklarasi Ciganjur itu bukanlah harga mati. "Kalau memang memungkinkan kursi ABRI di DPR ditekan sampai nol, lima, atau sepuluh kursi saja, itu lebih bagus,'' kata Ketua Umum Partai Amanat Nasional itu. Yang penting buat Amien, adanya kesadaran untuk terus mengubahnya.

Mungkin kesadaran untuk mengubah kedudukan ABRI di legislatif bisa dimulai dengan apa yang diungkapkan oleh Rudini, mantan Kepala Staf Angkatan Darat dan Menteri Dalam Negeri itu. Keberadaan ABRI di legislatif, menurut Rudini?kini Direktur Lembaga Pengkajian Strategis Indonesia?lahir dari sebuah konsensus nasional untuk mengendalikan situasi politik dalam negeri sesudah pecahnya Gerakan 30 September PKI. "Tapi konsensus itu bisa diubah," tutur Rudini. Bahkan ia dengan tegas menyatakan keberadaan ABRI di DPR tidak sesuai dengan konstitusi, UUD 45.

Adapun peluang yang masih diberikan kepada ABRI untuk duduk di legislatif tampaknya hanya di MPR. Baik Rudini, Amien Rais, maupun Zarkasih Nur, Ketua Fraksi Persatuan Pembangunan di DPR, masih memberi excuse buat ABRI di sana. ''Karena Undang-Undang Dasar menyebutkan adanya wakil golongan,'' kata Zarkasih kepada Edy Budiyarso dari TEMPO.

Dengan demikian, kalaupun alasan kehadiran ABRI di legislatif, khususnya DPR, memiliki alasan kesejarahan dan legalnya, dengan kedua alasan itu pulalah sebetulnya keberadaan ABRI bisa ditinjau kembali. Sebagaimana yang diibaratkan oleh Hari Sabarno, "Keberadaan ABRI tak lebih sebagai pagar untuk menghalangi 'musuh' masuk. Kalau musuhnya sudah tak ada, pagarnya boleh saja dibongkar,'' kata letnan jenderal Angkatan Darat itu.

Pernyataan ini mengingatkan tekad ABRI menyambut era reformasi, antara lain dengan reposisi dan redefinisi. Hanya, kedua "janji" itu rupanya tak cocok dengan ambisi bertahan di DPR.

Sedangkan dari sisi kesejarahan, munculnya Dewan Perancang Nasional tahun 1957, yang kemudian memberi peluang untuk ABRI terlibat dalam aspek sosial dan politik kenegaraan, lahir dalam situasi negara dinyatakan dalam keadaan darurat. Tentu akan sangat lain soalnya jika situasi darurat itu masih berlangsung sampai 41 tahun kemudian.

Rustam F. Mandayun, Raju Febrian, Arif A.K., dan Agus S. Riyanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus