Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Carilah Pemimpin Sampai ke Amerika

21 Desember 1998 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KONON, Lembah Tidar adalah kawah candradimuka calon pemimpin bangsa. Jebolannya dijamin kelas wahid: punya disiplin baja dan otak cemerlang. Benarkah? Pendapat itu bisa jadi betul pada dasawarsa 1960 sampai akhir 1970-an. Saat itu, lulusan SMA begitu kepincut menjadi kadet Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Akabri). Soalnya, sektor swasta belum berkembang. Sedangkan fasilitas Akabri amat memadai bagi lulusannya untuk meniti karir bukan hanya di lingkungan militer, tapi juga di jalur birokrasi dan perusahaan negara. Persaingan masuk pun begitu ketat. Biasanya, yang berhasil lolos masuk kawah itu adalah mereka yang punya peringkat teratas di sekolah masing-masing.

Tapi pamor itu agaknya tak bertahan lama. Hasil penelitian Wakil Direktur Eksekutif Center for Strategic and International Studies (CSIS), J. Kristiadi, menunjukkan bahwa gejala pemudaran itu mulai terlihat sejak akhir 1970-an, saat ekonomi sedang mengalami booming?ketika ada banyak pilihan lembaga pendidikan lain yang tak kalah bagus sarana dan kualitasnya. Akhirnya, banyak yang lebih memilih masuk universitas. ''Toh, dengan masuk universitas, orang bisa memperoleh masa depan yang lebih bagus," katanya.

Akibatnya, calon taruna tak lagi didominasi ''bintang kelas"?merosot menjadi kelompok siswa dengan kategori kepintaran menengah ke bawah. Itu terlihat dari nilai ebtanas murni (NEM) mereka di tahun akademik 1993/94 dan 1994/95 (lihat info grafik). Tabel itu menunjukkan bahwa yang tergolong kualitas unggul dengan NEM di atas 50 hanya 200-300 orang dari jumlah keseluruhan sekitar 2.500 orang. Artinya, cuma 12 persen.

Keadaan ini mengkhawatirkan para pemimpin ABRI. Dari bibit bukan unggulan ini tak bisa diharapkan bakal lahir pemimpin bangsa yang punya kemampuan global. Apalagi, ujar Kristiadi, kondisi ini diperburuk dengan banyaknya praktek kenaikan pangkat bukan berdasarkan ukuran kemampuan, melainkan karena kedekatan dengan sumber kekuasaan, khususnya Soeharto. Karena itu, menurut dia, dalam satu dasawarsa terakhir, kualitas anggota ABRI, terutama di level pemimpin, sedang merosot drastis. ''Wiranto hanya menerima ABRI yang telah rusak," kata Kristiadi, yang punya hubungan dekat dengan kalangan militer.

Maka, mereka pun mencari jalan keluar. Setelah melalui perjalanan panjang, gagasan mantan Panglima ABRI Benny Moerdani terwujud pada 1990 dengan diresmikannya SMA Taruna Nusantara, yang juga berlokasi di Lembah Tidar. SMA yang tak memungut biaya ini merekrut semua lulusan terbaik SMP dari seluruh Indonesia. Dari bibit-bibit unggul yang mendapat bimbingan dari guru dengan fasilitas kelas satu ini diharapkan bisa disemai calon-calon pemimpin bangsa yang teruji. Memang, walau sekolah itu menerapkan disiplin ala Akabri, tak semua siswanya berminat masuk ke sana. Berdasarkan angket, hanya sekitar 40 persen yang ingin berkarir di militer. Dari 247 lulusan tahun 1997, misalnya, 156 orang mendaftar ke Akabri.

Hasilnya segera tampak hanya dalam hitungan tahun. Siswa-siswa Taruna Nusantara banyak berbicara dalam lomba karya ilmiah. NEM mereka pun di atas rata-rata.

Yang tidak berminat masuk Akabri sebagian besar diterima di perguruan tinggi negeri, sedangkan yang masuk Akabri, menurut Komandan Jenderal Akabri Laksdya Abu Hanifah Hassanudin, sebagian besar kemudian menjadi lulusan terbaik.

Masih dianggap belum cukup, para pemimpin ABRI kemudian mencari jalan lain untuk mencetak calon pemimpin yang mumpuni. Saat ini ada belasan alumni Taruna Nusantara yang disekolahkan ABRI ke universitas-universitas swasta di Amerika yang bermutu baik dan tetap memberikan latihan serta disiplin militer. Menurut rencana, bila pulang nanti, mereka akan mendapatkan tambahan latihan militer sebelum menjadi perwira ABRI. Pada merekalah para pemimpin militer menggantungkan harapan agar pada dasawarsa mendatang didapat pemimpin bangsa yang mengikuti zaman. Juga sosok seperti Letda Inf. Dwi Sasongko, lulusan terbaik Akademi Militer 1998, yang Kamis lalu dikalungi Adhi Makayasa oleh Presiden Habibie. Gemblengan sebagai putra seorang sopir dan pedagang di Pasar Tulungagung tapi berhasil lulus SMA Taruna Nusantara dengan NEM 62 diharapkan membuat Dwi menjadi pemimpin yang punya wawasan luas tapi tetap berpijak ke bumi.

Laporan Andari Karina, Hendriko L. Wiremmer, L.N. Idayanie


Kualifikasi Akademis Calon Taruna Akabri
Tahun akademik 1993/1994 - 1994/1995

>
Tahun akademik 1993/1994Tahun akademik 1994/1995
NEMJumlah% NEMJumlah%
25 - 29,99
30 - 34,99
35 - 39,99
40 - 44,99
45 - 49,99
50 - 54,99
55 - 67,99
11
32
1049
717
391
200
58
0,45
1,30
42,68
29,17
15,91
8,14
2,36
35 - 37,99
38 - 41,99
42 - 45,99
46 - 49,99
50 - 53,99
54 - 57,99
58 - 59,99
60 - 63,99
48
1024
808
412
199
73
9
1
1,86
39,78
31,39
16,01
7,93
2,84
0,35
0,04

sumber: Markas Komando AKABRI

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum