SELEBARAN gelap merajalela. Itulah hal yang menyusul peristiwa Tanjung Priok, 12 September lalu, sampai peristiwa tiga ledakan bom di Jakarta, Kamis pekan lalu. Sepanjang yang bisa diketahui TEMPO, selebaran tak hanya beredar di Jakarta, tapi juga di Yogyakarta dan Jawa Timur. Pihak Kodim Yogyakarta, misalnya, konon dalam jangka waktu dua peristiwa tersebut sudah menyita 15.000 selebaran gelap. Sementara itu, Pangdam VIII Brawijaya Mayor Jenderal Soelarso, dalam pertemuannya dengan alim ulama se-Jawa Timur, Senin pekan ini, menyatakan dengan serius bahwa selebaran gelap sudah menyusup ke berbagai penjuru di Jawa Timur. "Beberapa pelaku pengedar selebaran gelap sudah ditangkap," kata Mayor Jenderal Soelarso. Pemerintah menyatakan akan menindak tegas pembuat dan pencetak selebaran gelap. "Masyarakat diserukan untuk tidak terpancing oleh selebaran gelap yang mendiskreditkan pemerintah, mencemarkan ideologi Pancasila, dan meracuni masyarakat," kata Menteri Penerangan H. Harmoko, seusai rapat. Sejauh ini, efek selebaran gelap memang belum terlihat. Di Jakarta, misalnya, setelah peristiwa Tanjung Priok muncul dua selebaran. Sebuah selebaran berjudul "Lembaran Putih Peristia Scptember 1984 di Tanjung Priok", yang diteken oleh 22 orang yang dikenal sebagai penandatangan Petisi 50 - belum diketahui apakah itu tanda tangan asli atau palsu. Selebaran yang lain berjudul "Catatan Kronologis/Latar Belakang Peristiwa Tanjung Priok" yang diketik dengan huruf kapital semua, mirip tulisan teleks. Isinya, sudah tentu, membantah keterangan pemerintah tentang peristiwa Tanjung Priok. Yang lucu, beberapa selebaran mencantumkan nama-nama yang sekilas adalah nama tokoh-tokoh yang populer. Misalnya, sebuah selebaran di Jawa Timur mencantumkan nama K.H. As'ad Zainul Arifin. Nama ini gampang salah dibaca sebagai nama K.H. As'ad Syamsul Arifin, tokoh ulama dari Pesantren Asembagus. Kontan K.H. As'ad yang asli memberikan komentar, "Selebaran itu sangat dusta. Itu fitnah." Lalu di Jakarta muncul pula selebaran gelap dengan kepala surat berbunyi: "Badan Kontak Umat Kristen Indonesia" (BKUKI). Lengkap dengan alamatnya: Salemba 8 - alamat yang menyarankan berada di antara DGI, Jalan Salemba Raya 1012, dan kampus UI Salemba Jalan Salemba Raya 6. Dan nama yang tercantum di situ: Drs. Bernard Leo Soekoto Mcs - nama yang bisa menimbulkan kesan nama uskup agung Jakarta dan sekjen MAWI, Mgr. Leo Soekoto S.J. Sang Uskup Agung sendiri agak kaget dan cukup bingung membaca selebaran itu. "Saya tidak tahu mengapa mereka memilih nama itu.' Sementara itu, sekjen DGI, S.A.E. Nababan, mengatakan, "Dalam DGI tak ada lembaga yang bernama BKUKI." Sementara itu, terjadi kasus-kasus kecil di Lumajang, Jawa Timur. Seorang janda berusia 49 tahun dilaporkan oleh tetanganya karena mencoba menyebarkan selebaran gelap. Setelah diusut Intelpam Polres Lumajang, ternyata janda itu tak paham isi selebaran, dan mengira itu baik, sehingga ia mencoba menyebarkannya kepada tentangganya. "Agar saya dapat pahala," katanya. Ia mendapatkan selebaran dari tamu tak dikenal, dan hanya empat lembar selebaran yang diberikan kepada janda tadi. Selebaran gelap memang meningkat akhir-akhir ini. Dan Pangab Jenderal Benny Moerdani di depan DPR baru-baru ini mengakui, tahun-tahun terakhir ini kegiatan berbau politik yang berbentuk ilegal telah terjadi dengan kadar intensitas tinggi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini