SELEBARAN gelap bisa menjadi sangat berbahaya, bila itulah satu-satunya "informasi" bagi masyarakat. Seandainya pemerintah, khususnya Pangab L.B. Moerdani, tak secepatnya memberikan keterangan atas Peristiwa Tanjung Priok, misalnya, masyarakat bisa merasa tak menentu. Apalagi bila selebaran gelap muncul. Demikian pula dalam peristiwa tiga ledakan bom, 4 Oktober, di Jakarta. Hanya sekitar lima jam setelah peristiwa terjadi, didampingi Pangdam V Jaya Mayor jenderal Try Sutrisno, Pangab Jenderal Moerdani memberikan keterangan pers. Ini bisa mencegah bermacam-macam penafsiran. Memang, penjelasan pemerintah pun belum tentu bisa mengungkapkan kejadian seluruhnya. Tapi setidaknya penjelasan resmi yang cepat itu bisa membunuh desas-desus yang biasanya menjalar lebih cepat lagi. Bagi para pedagang di pusat-pusat perbelanjaan, yang mudah terkena sas-sus, misalnya, penjelasan pemerintah itu sering jadi pegangan. Dalam kasus Tanjung Priok, 12 September, kata Aling, pedagang peralatan fotografi di Ratu Plaa, "Sampai siang kami masih bertanya-tanya apa yang terjadi. Tapi, sorenya, setelah Pak Benny mengumumkannya di televisi, kita jadi tenang dan merasa aman." Besoknya jadwal rutin berjalan seperti biasa, toko-toko di situ tutup pukul 21.00. "Kalau peristiwa ledakan bom itu, kami lebih cepat tahu. Sebab, Sinar Harapan sore harinya sudah memuat keterangan pemerintah," kata Aling lagi. Bahkan, menurut para pemilik toko di pertokoan yang menempati jembatan Metro Glodok, kawasan tempat salah satu bom meledak, perdagangan cepat pulih kembali. Sabtu pagi, dua hari setelah peristiwa itu, toko-toko di jembatan Metro sudah buka seperti biasa, meski pengunjung sepi. Pusat Perdagangan Senen pun praktis tak mengalami guncangan apa pun ketika peristlwa 4 Oktober itu. Seorang pedagang radio dan tape recorder mengatakan, itu karena cepat ada penjelasan dari pemerintah, sehingga mereka tak takut atau was-was lagi. Di simi tak ada toko tutup karena peristiwa itu. Juga ketika Peristiwa Tanjung Priok, pusat perbelanjaan ini hanya tutup sehari. Selanjutnya, perdagangan kembali lancar. Sejak Peritiwa Tanjung Priok pemerintah tampaknya cenderung membolehkan mass media memberitakan secepatnya setiap kejadian 'gawat'. Dulu, jarak antara munculnya, katakanlah, huru-hara dan penjelasan pemerintah misalnya, peristiwa rasialisme di Jawa Tengah, pertengahan November 1980, sampai tiga minggu. Ini menyebabkan peristiwa Solo itu berkembang menjadi lebih hebat dari kenyataannya, akibat sempat menjadi desas-desus. Padahal, peristiwa rasialisme di Solo itu tak sehebat desas-desusnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini