MENGAPA penyelundupan kayu, baik olahan maupun gelondongan, sukar diberantas? Sekretaris Jenderal Departemen Kehutanan dan Perkebunan (Dephutbun) Soeripto, yang sejak tiga bulan lalu membentuk tim investigasi soal itu, punya jawabannya. "Kami mensinyalir ada keterlibatan oknum polisi dan tentara," ujarnya. Beberapa fakta di lapangan yang ia temukan mengarah ke indikasi tersebut.
Salah satunya terjadi di Pontianak. Ketika menyertai kunjungan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nurmahmudi Ismail ke kota itu, Senin pekan silam, pihaknya menangkap basah upaya penyelundupan. Tanpa dibekali surat angkutan kayu olahan (SAKO) dan surat izin mengekspor kayu, 48 kontainer berisi kayu olahan itu siap diberangkatkan ke Singapura menggunakan kapal Clover.
"Dari investigasi kami, kegiatan ilegal itu melibatkan Yayasan Tri Brata milik Polri," kata Soeripto. Bukti itu diperoleh dari stiker yang melekat di kontainer dan sejumlah dokumen yang disita pihak Dephutbun.
Kerugian yang ditanggung negara tidak sedikit. Jika dihitung rata-rata satu meter kubik kayu olahan berharga US$ 200—satu kontainer berisi 20 meter kubik—dari penyelundupan ini negara dirugikan sedikitnya Rp 1,5 miliar. "Padahal, upaya itu sudah mereka lakukan di waktu silam," ujarnya.
Tim Investigasi Dephutbun, April lalu, juga menemukan perambahan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) di perbatasan Aceh dan Sumatra Utara. Kali ini yang terlibat adalah Yayasan Bukit Barisan milik Komando Daerah Militer Bukit Barisan, Sumatra Utara. Bukti itu antara lain adanya papan nama di lokasi bertulisan: "Lahan Kerja Sama Yayasan Bukit Barisan dan KUD Sapo Padang."
"Pihak yayasan mengamankan usaha pencurian kayu yang dilakukan oleh koperasi Sapo Padang," kata Soeripto. Sekitar 8.000 hektare luas hutan dirambah oleh aparat militer yang bekerja sama dengan pencuri itu. Akibatnya tidak hanya merugikan negara secara materiil, tapi juga akan merusak ekosistem yang ada. TNGL adalah hutan lindung.
Pihak Markas Besar TNI, yang mendapat laporan soal ini, hingga kini belum memanggil Soeripto untuk menyelidiki temuan itu. "Saya siap dipanggil kapan saja oleh Mabes TNI," ujar Soeripto. Pihak Kodam Bukit Barisan sendiri sudah membantah keterlibatan yayasan tersebut.
Selain itu, Soeripto mensinyalir keterlibatan oknum tentara dalam pencurian kayu di hutan Kalimantan Timur yang berbatasan dengan Malaysia. "Secara teknis, tidak mungkin penebangan yang berlangsung selama bertahun-tahun itu tak diketahui tentara setempat," ujarnya. Tiap bulan ada sekitar 100 ribu meter kubik kayu yang dilarikan ke Malaysia. Akibat perbuatan melawan hukum itu, negara dirugikan sekitar Rp 5 triliun selama sepuluh tahun terakhir.
Kerugian itu belum termasuk aksi penyelundupan yang tidak diketahui atau tak tertangkap tim Soeripto. Misalnya yang terjadi dalam operasi yang dilakukan bersama anggota Batalyon Linud/330 dari Kostrad, 12 Mei silam, di kawasan hutan Tarakan, Kalimantan Timur. Empat hari sebelum penggerebekan, Soeripto bersama timnya sudah mengamati tempat tersebut. "Puluhan traktor kami lihat berkeliaran di lokasi," ujar Soeripto.
Namun, begitu digerebek, kendaraan pengangkut dan penebang kayu itu raib bak ditelan bumi. "Operasi itu sudah dibocorkan ke penjarah. Bisa saja dilakukan oleh masyarakat, pegawai Dephutbun, atau oknum TNI," kata Soeripto. Apalagi, tanpa alasan jelas, tiba-tiba Mabes TNI menunda operasi yang sedianya dilakukan sehari sebelumnya. Penundaan itu memberikan kesempatan bagi traktor tersebut untuk melarikan diri ke wilayah Malaysia, yang bisa ditempuh dua jam perjalanan.
Apa kata Mabes TNI dan Mabes Polri? Kedua institusi itu dengan tegas membantah temuan Soeripto. Marsekal Muda Graito Usodo, juru bicara TNI, menyayangkan sikap Sekjen Dephutbun itu. "Jangan asal tuduh begitu. Bicara dulu ke kami, jangan ke wartawan, bisa menimbulkan polemik di masyarakat," katanya.
Soal keterlibatan Yayasan Kodam Bukit Barisan, misalnya, pihak Mabes TNI sudah mengklarifikasikannya ke Panglima Kodam. Dan ternyata itu tidak benar. "Soal papan nama, siapa saja bisa membuatnya," kata Graito. Meski begitu, ujarnya lagi, jika ada aparat TNI yang terlibat, akan ditindak.
Bantahan serupa datang dari Brigjen Dadang Garnida, Kepala Dinas Penerangan Polri. Hingga kini, pihaknya belum menemukan bukti keterlibatan yayasan milik Polri itu. Soal stiker Yayasan Tri Brata yang melekat di kontainer, "Semua orang bisa bikin stiker. Soeripto jangan asal ngomong," ujar Dadang.
Tapi bagaimana dengan penebangan yang berlangsung puluhan tahun itu? Kenapa tidak diketahui oleh aparat setempat?
Johan Budi S.P., Setiyardi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini