MOCHTAR, seorang bintara pembina desa (babinsa) di Manado, punya jawaban gagah tentang perannya selama ini. "Kami harus selalu memonitor geodemokonsos," katanya. Jangan salah, ini bukan urusan memata-matai sejenis dinosaurus. Geodemokonsos tak lain singkatan dari: geografi, demografi, dan kondisi sosial. Artinya, segala hal mesti ia pelototi, mulai dari hujan lebat, orok lahir, perkelahian berandal, sampai kunjungan bapak pejabat. Pada era Soeharto, ada tambahan tugas mahapenting: memobilisasi suara Golkar.
Mochtar dan kawan-kawan bakal tak bisa bergagah-gagah lagi. Selasa pekan lalu, saat membuka Rapat Pimpinan Angkatan Darat di Jakarta, Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Tyasno Sudarto menyatakan akan menarik babinsa dari kota-kota besar. Usul itu kini tengah diajukan ke meja Panglima TNI Laksamana Widodo A.S.
Digodok sebuah tim yang dikomandani Asisten Teritorial KSAD Mayjen Saurip Kadi, gebrakan ini akan memulangkan 33 ribu babinsa (7-10 personel tiap desa) ke barak. Mereka akan ditarik ke 266 kodim untuk dilatih menjadi unit pertahanan daerah. Buntutnya, 3.309 koramil juga akan ikut dilikuidasi. Dan kata seorang jenderal, bukan tak mungkin satu saat korem atau kodam pun akan dilikuidasi tinggal menjadi divisi tempur.
September depan uji coba likuidasi babinsa akan diterapkan di Jakarta dan Surabaya. Jika hal itu sukses, kota besar lain menyusul. Program ini diperkirakan baru akan rampung 7-10 tahun ke depan. "Ini terhitung cepat, di Malaysia butuh 10-20 tahun," kata Kepala Staf Teritorial TNI, Letjen Agus Widjojo. Biayanya pun tak sedikit: diperkirakan lebih dari Rp 500 miliar.
Jika benar serius dilaksanakan, ini jelas langkah penting menuju penghapusan fungsi sosial politik militer. Soalnya, babinsa serta lapisan komando teritorial lainnya (koramil, kodim, korem, hingga kodam) selama ini menjadi instrumen utama tentara dalam menguasai jagat politik dan menjelmakan dirinya—meminjam istilah David Jenkins—menjadi "pemerintah bayangan".
Cuma, fungsi pembinaan teritorial itu—biasa disingkat binter—ternyata tak akan hapus benar. Dokumen Rapat Pimpinan AD yang didapat TEMPO menyimpulkan fungsi itu di tingkat pusat akan dilimpahkan dari Markas Besar TNI ke Departemen Pertahanan. Adapun di tingkat daerah ada tiga alternatif. Pertama, kodam, korem, dan kodim dipertahankan dan dijadikan kepanjangan tangan Departemen Pertahanan. Opsi kedua, di tiap provinsi dan kabupaten dibentuk kantor wilayah pertahanan. Pilihan ketiga, di tingkat provinsi dibentuk kantor wilayah pertahanan tingkat I, sedangkan di kabupaten dilimpahkan ke pemerintah daerah dengan bentuk biro pertahanan atau ditumpangkan ke markas wilayah pertahanan sipil yang sudah ada saat ini.
Agaknya, formula itu adalah hasil kompromi dari berbagai tarik ulur di tubuh baju hijau sendiri. "Prosesnya amat alot," kata seorang jenderal, menggambarkan suasana Rapim. Sejumlah petinggi baju hijau dikabarkan mati-matian menolaknya. Maklum, jika prosesnya terus merembet ke atas, beberapa jabatan strategis niscaya akan ikut sirna.
Sejak awal, soal ini memang telah memicu perdebatan sengit di kalangan militer sendiri. Desember lalu, kontroversi soal ini diledakkan Letjen Agus Wirahadikusumah (sekarang Panglima Kostrad). Ketika itu Agus lantang menyatakan bahwa komando teritorial mesti diciutkan. Di seberang sana, tanggapan datang dari Kepala Pusat Penerangan TNI saat itu, Mayjen Sudrajat, yang malah menyatakan kodam akan dimekarkan menjadi 17 buah.
Menurut pengamat militer J. Kristiadi, dalam soal ini ada tiga kelompok yang bisa dipetakan. Pertama, para jenderal yang ingin memacu perubahan secara revolusioner. Kelompok ini dimotori Tyasno, Agus Wirahadikusumah, dan Saurip Kadi. Kelompok kedua, yang dimotori Agus Widjojo, lebih menghendaki perubahan secara berangsur-angsur. Yang terakhir adalah kelompok jenderal di Lembaga Ketahanan Nasional, yang cenderung menolak penghapusan komando teritorial.
Buat yang tak ingin bersegera, ada sejumlah kekhawatiran. Jenderal Agus Widjojo, misalnya, menyodorkan kondisi di beberapa daerah yang tak memungkinkan penghapusan babinsa dilakukan drastis. Salah satunya, pergolakan melepaskan diri dari Republik. Karena itulah, ditambah faktor medan yang sulit dan masih minimnya sumber daya manusia, Papua akan menjadi provinsi paling bontot dalam soal penarikan babinsa. Bahkan, menurut Widjojo lagi, dari Sulawesi Selatan sudah ada permintaan untuk mempertahankan komando teritorial.
Tanggapan senada datang dari Panglima Daerah Militer III/Siliwangi, Mayjen Slamet Supriadi. Ia malah menyatakan penghapusan babinsa bakal menimbulkan kerawanan baru.
Bukan sebaliknya, Jenderal?
Karaniya Dharmasaputra, Hani Pudjiarti, Verrianto Madjowa (Manado)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini