SUASANA yang bersangsur damai di Ambon kembali terkoyak. Kekerasan yang lama tak terpadamkan telah menciptakan siklus kekerasan tiada ujung. Kerusuhan yang berlangsung pekan lalu terhitung paling berdarah, bahkan untuk ukuran Ambon—28 orang tewas, 80 terluka, belasan rumah penduduk, gereja, dan puskesmas rusak berat. Tiga dari yang tewas dan delapan dari yang terluka adalah tentara dan polisi yang terlibat dalam baku rusuh Islam versus Kristen itu.
Kerusuhan kali ini berawal dari insiden penghadangan terhadap truk yang membawa sembako di Desa Passo Lareir, pusat Kota Ambon, Selasa pagi lalu. Kendati dikawal oleh dua anggota Brimob, sembako milik Amir Bugis itu, seorang muslim, dijarah massa Kristen. Siangnya, warga muslim yang marah berkumpul dan merangsek menuju Mardika, kawasan Kristen. Aparat keamanan dari Kostrad yang dilengkapi dua panser tak kuasa mencegah bentrokan dua massa yang saling dendam itu. Korban berjatuhan.
Di tengah bentrokan, tiba-tiba meluncur kencang mobil Toyota Kijang yang berisi polisi, menabraki massa Islam. Mobil itu segera menjadi sasaran amuk. Pistol menyalak, polisi menembak, dan pasukan Kostrad pun terpancing. Tembak-menembak terjadi antara polisi dan Kostrad, dengan melibatkan penembak jitu (sniper) di kedua pihak, yang memuntahkan peluru dari gedung-gedung tinggi sekitarnya.
"Bahkan hal yang kecil pun potensial menjadi pemantik kerusuhan," kata Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI, Marsekal Muda Graito Usodo. Temperamen warga setempat yang gampang panas itulah, kata Graito, yang membuat kerusuhan tak juga dapat segera ditangani. "Ditambah adanya rasa dendam yang susah dipadamkan."
Panglima Daerah Militer Pattimura, Brigadir Jenderal Max Tamaela, seorang Kristen, menuduh kehadiran sekitar 3.800 anggota Laskar Jihad sebagai picu kerusuhan. "Ketegangan masyarakat kembali memuncak setelah hadirnya Laskar Jihad Ahlus-Sunnah Wal Jamaah," katanya. Namun, pernyataan itu dibantah Wakil Kepala Dinas Penerangan Mabes Polri, Kolonel Pol. Deddy S.K. "Janganlah terburu-buru mengambinghitamkan Laskar Jihad. Kehadiran mereka di sini untuk berdakwah," kata Deddy, yang tengah berada di Ambon. "Bukan untuk berperang. Mereka tidak membawa senjata tajam seperti pada acara tablig akbar di Jakarta, tempo hari."
Kerusuhan kali ini menjadi besar, menurut Sekretaris Posko Majelis Ulama Indonesia Ambon, Malik Selang, karena terlibatnya dua institusi aparat. "Seharusnya aparat menjaga keamanan, bukan malah memperkeruh suasana," katanya. Marsda Graito membenarkan keterlibatan aparat berdasarkan garis agama. "Aparat yang berbeda agama membela anggota keluarga yang seagama. Itu wajar. Tapi sikap mereka itu jelas bukan merupakan sikap institusi," katanya.
Pernyataan senada didukung Kolonel Deddy. "Secara resmi, semua aparat yang diturunkan di sana harus netral," katanya. Untuk menjaga netralitas, kepolisian antara lain melakukan rotasi rutin terhadap delapan kompi (840 orang) aparatnya.
Bagaimanapun, peristiwa terbaru itu membuat bingung para petinggi keamanan di Jakarta. "Kita harus omong apa? Sekarang ini kita susah mencari pihak mana yang memulai, susah untuk mencari kebenaran," kata Kadispen Mabes Polri, Brigjen Dadang Garnida.
Ahmad Taufik, Dwi Wiyana, Yusnita Tiakoly, dan Friets Kerlely (Ambon)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini