KATA-KATA William Shakespeare "apalah artinya sebuah nama" rupanya tidak sepenuhnya berlaku bagi para politisi Partai Keadilan. Musyawarah nasional partai itu pekan lalu memutuskan mereka akan berjuang untuk tetap memakai nama "Partai Keadilan" (PK) dalam pemilu mendatang. Perjuangan itu mungkin tidak mudah: mereka harus bisa meyakinkan partai-partai lain di DPR untuk mengubah undang-undang pemilu.
Jika PK adalah sebuah bank, niscaya dia harus dilikuidasi karena tidak memenuhi ambang ketercukupan perolehan suara (electoral threshold). Meski berada di peringkat ketujuh dalam pemilu lalu, partai ini cuma mampu meraih 1,4 juta suara (1,36 persen dari publik pemilih) atau setara dengan tujuh kursi DPR. Padahal, Undang-Undang No. 3/1999 mensyaratkan sebuah partai harus memperoleh suara sekurangnya dua persen, atau 10 kursi, untuk bisa berlaga lagi dalam pemilu berikutnya.
Namun, alih-alih mengupayakan "merger" dengan partai lain atau menerima degradasi, para politisi partai itu kini berjuang merevisi undang-undang tadi atau menunda pelaksanaannya hingga Pemilu 2009.
Sunmandjaja Rukmandis, Ketua Dewan Perwakilan Wilayah (DPW) PK Jawa Barat, yakin bahwa usul penundaan itu akan mendapat dukungan dari partai lain. Setidaknya mereka sudah mendapat janji dari Partai Reformasi dan Partai Daulat Ummah.
Partai-partai baru seperti PK menilai penerapan batas minimal perolehan suara tadi kurang adil. Mereka menunjuk fakta bahwa yang lolos dari batas tadi cuma partai-partai yang memiliki basis pendukung mengakar selama puluhan tahun. Sebut saja PDI Perjuangan, dengan basis kaum nasionalis, Partai Kebangkitan Bangsa, yang mendapat dukungan Nahdlatul Ulama, dan Partai Amanat Nasional, yang tak bisa dimungkiri membawa gerbong Muhammadiyah. Golkar dan PPP sudah berumur 30 tahun lebih. Sedangkan PK dan puluhan partai lain dibentuk cuma beberapa bulan menjelang pemilu.
Usul PK untuk revisi atau penundaan tadi diuntungkan oleh "keharusan" bahwa beberapa pasal undang-undang itu memang harus diubah, misalnya menyangkut istilah ABRI yang harus diganti dengan TNI-Polri, atau jumlah pemimpin DPR yang semula enam akan menjadi tujuh. Jadi, ada momentum baru buat mereka.
PK juga diuntungkan oleh reputasinya. Kelahirannya cukup fenomenal. Partai berbasis kalangan pendakwah kampus ini mampu membentuk jaringan dengan cepat di sejumlah perguruan tinggi. Dalam setiap kampanye, mereka selalu tampil santun. PK dilihat sebagai "bintang baru" partai Islam modern Indonesia yang dimotori kalangan intelektual bergelar master dan doktor. Partai ini juga memilih tak terlibat dalam kisruh Komite Pemilihan Umum (KPU) tempo hari, sehingga terhindar dari citra "partai gurem yang bikin repot."
Di samping mendatangkan kerumitan administratif penyelenggaraan pemilu, terlalu banyaknya partai telah membuat KPU runyam. Dan memang untuk membatasi jumlah partailah electoral threshold tadi diterapkan. Namun, undang-undang itu dinilai tak akan efektif karena tidak cukup memberikan batasan bagi pembentukan partai baru. Artinya, satu partai boleh saja gugur oleh electoral threshold, tapi ada sepuluh partai baru yang bisa muncul dalam pemilu berikutnya.
Meski begitu, ini bukan berarti upaya PK akan mulus saja. Andi Alfian Mallarangeng, pengamat politik dan mantan Wakil Ketua KPU, menyatakan bahwa ganjalan terhadap mereka akan muncul dari partai-partai besar. "Partai yang sudah aman tidak mungkin mau mengubah undang-undang itu," katanya.
Andi Mallarangeng mengusulkan PK bergabung dengan partai Islam lain. "Merger itu akan menciptakan partai Islam baru yang lebih kuat," katanya. PK bisa melakukan itu dengan cuma menarik tiga partai kecil lain untuk menambal kekurangan suara, dan bisa membujuk mereka menggunakan nama PK. Partai ini akan punah atau tenggelam jika bergabung dengan partai yang lebih besar.
Meski sempat menjadi bahan perdebatan, usul seperti itu ditentang peserta musyawarah nasional. Mengawinkan partai dengan pandangan berbeda, kata mereka, bukanlah masalah gampang. "Lihat saja fusi PPP yang memerlukan waktu sangat lama dan hasilnya pun tak pernah benar-benar menyatu," kata Ahmad Heriawan, Ketua DPW Jakarta.
Jika usul revisi atau penundaan ditolak? "Kita tinggal mengganti nama dan lambang partai saja. Itu kan cuma masalah administrasi," kata Heriawan. Namun, apa pun nama baru nanti, mereka akan tetap menempelkan kata "Keadilan", yang telah menjadi merek mereka.
Meski nama pengganti itu baru akan diputuskan jika jalur pertama gagal, berbagai usul sudah bermunculan. Ada usul namanya diganti menjadi Partai Keadilan Jihad atau Partai Islam Keadilan. Namun, ada juga usul nama baru bernada canda seperti Partai Keadilan Pergaulan atau Partai Keadilan Saja. "Asal bukan Partai Keadilan Islam saja, yang jika disingkat akan menjadi PKI," kata salah seorang peserta berseloroh.
Agung Rulianto, Dewi Rina Cahyani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini