Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MENJULANG dua meter dengan angkuh, pagar besi itu terlihat tak terawat. Sebagian besar badan pagar, yang memanjang hampir satu kilometer, tertutup tumbuhan rambat. Di baliknya terhampar padang parkir, yang ukurannya lebih luas dari lapangan sepak bola. Semak-belukar dan rerumputan liar kini menutupi hampir seluruh pelataran itu.
Dulu lapangan ini biasa dipenuhi ratusan mobil yang siap dipasarkan. Namun, Jumat pekan lalu, ketika Tempo berkunjung, tak satu pun kendaraan terlihat di sana.
Di ujung pagar, dekat pintu masuk utama, tertancap papan nama bercat putih. Di sana tertera tulisan: ”Kawasan Industri Autocar Cikampek”. Jauh di seberang lapangan berdiri bangunan sepanjang hampir setengah kilometer. Atapnya terbuat dari asbes, dengan cat krem yang pudar digerus panas dan hujan. ”Pabrik ini punya PT Autocar Industri Komponen. Sudah lima tahun, Mas,” kata Nana, petugas keamanan yang mencegat Tempo ketika akan melintasi gerbang.
Dari arah pintu tol Kalihurip di jalur Jakarta-Cikampek terlihat iringan tiga mobil merek Timor mendekati gerbang pabrik. ”Mereka karyawan di sini,” kata Nana. Tiga Timor itu segera lenyap ditelan bangunan pabrik. Selama satu jam menunggu di pintu gerbang, Tempo melihat tak kurang dari sepuluh orang keluar-masuk gedung, termasuk dua petugas keamanan. ”Karyawan di sini nggak sampai seratus orang, termasuk kami,” kata Sukarma, rekan Nana.
Kedua petugas tak mengizinkan Tempo masuk ke kawasan pabrik. Nana masuk sebentar lalu keluar lagi menyampaikan pesan atasannya. Kata Si Bos, ”Pabrik ini tidak lagi memproduksi mobil.” Autocar hanya mengerjakan order dari perusahaan lain, misalnya Toyota, yang ingin membuat komponen. Aktivitas lain di dalam bangunan itu adalah perawatan mesin. Siapa yang memiliki tanah dan bangunan luas ini? ”Mandala Pratama,” kata Nana pendek.
Berdiri di areal 73 hektare, pabrik itulah yang satu dekade silam dibina Hutomo Mandala Putra. Didampingi Menteri Perindustrian dan Perdagangan Tunky Ariwibowo dan Chairman KIA Motor Kim Sunhong dari Korea Selatan, putra bungsu mantan presiden Soeharto itu meletakkan batu pertama pembangunan pabrik. Timor Putra Nasional (TPN) menjadi bagian dari kerajaan bisnis Humpuss milik Tommy. Berbekal fasilitas pembebasan bea masuk dan kemudahan kredit, Tommy mematok target produksi 200 ribu unit mobil per tahun.
Pembangunan pabrik itu merupakan mandat Soeharto yang menginginkan Indonesia memproduksi mobil nasional. Penguasa Orde Baru itu tak mau kalah dengan Malaysia, yang mampu membuat Proton. Ketika kekuasaannya masih kukuh, keinginan itu ia wujudkan dengan menerbitkan keputusan presiden pada 4 Juni 1996 tentang mobil nasional. Jauh sebelum keputusan itu diteken, pada 1993, Tommy sudah menggandeng KIA. Selanjutnya, Agustus 1997, belasan bank nasional mengucurkan kredit sekitar Rp 4 triliun. Timor melahap duit sebanyak itu tanpa menyerahkan agunan secuil pun.
Mimpi proyek mobil nasional belum terwujud, terpaan sudah datang silih berganti. Utang awal dari Bank Bumi Daya, yang digunakan untuk mengimpor 4.000 mobil utuh hingga pertengahan 1997, belum dicicil. Pada 15 Januari 1998, empat bulan sebelum runtuhnya kekuasaan Orde Baru, Soeharto mencabut keputusan presiden untuk Timor setelah didesak Dana Moneter Internasional. Akibatnya, fasilitas bebas bea pun dicabut oleh Menteri Tungky.
Setelah Soeharto jatuh, gelombang gugatan tanpa henti menerpa Timor dan dilayani perusahaan itu dengan menggugat balik lawan-lawannya.
Tiga pekan lalu, misalnya, Pengadilan Tinggi Jakarta memutuskan deposito Timor Rp 1,3 triliun di Bank Mandiri tetap dibekukan. Putusan ini merupakan jawaban atas banding pemerintah terhadap putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, 21 November 2006. Ketika itu pengadilan memutuskan deposito itu menjadi hak Vista Bella Pratama, yang membeli aset Timor dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).
Kabar terbaru datang dari kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Akhir bulan lalu Ketua KPK Taufiequrachman Ruki mengumumkan ada indikasi penyimpangan penjualan aset Timor ke Vista Bella Pratama. Temuan KPK menunjukkan ada aliran dana dari Humpuss ke Vista. Dana itulah yang dipakai untuk membeli aset Timor. Dengan demikian, berarti Humpuss membeli kembali asetnya. Hal itu jelas melanggar aturan. KPK pun meminta Menteri Keuangan membatalkan jual-beli aset itu.
Timor terdampar ke BPPN pada awal Januari 1999 akibat utang macetnya yang berserak di sejumlah bank. Namun tak jelas apa saja dan berapa nilai aset Timor yang telah dikuasai dokter perbankan itu. Mohamad Syahrial, yang dulu menjadi Deputi Kepala BPPN Bidang Aset Manajemen Kredit, lebih banyak mengunci mulut ketika ditanya soal ini.
Kendati sudah dikuasai BPPN, perusahaan ini sempat akan disita Direktorat Jenderal Bea dan Cukai karena menunggak pembayaran bea masuk. Tapi aksi beslah dibatalkan dan sebagai gantinya rekening deposito Timor yang berasal dari Bank Bumi Daya—belakangan melebur menjadi Bank Mandiri—yang disita. Dana itu masuk dari hasil penjualan 4.000 mobil Timor asal Korea Selatan.
Melalui kesepakatan Dirjen Pajak, Bea Cukai, Komite Kebijakan Sektor Keuangan, dan BPPN, akhirnya diputuskan Dirjen Pajaklah yang memiliki kewenangan mengeksekusi jaminan deposito tersebut. Anehnya, kendati Timor masuk ruang perawatan BPPN, kendali rekening tetap berada di tangan manajemen perusahaan itu.
Melalui program penjualan aset kredit pada 30 April 2003, pabrik perakitan mobil di Karawang akhirnya jatuh ke tangan Vista Bella Pratama. Perusahaan itu membeli Timor hanya Rp 512 miliar. Syahrial, yang kini menjadi Direktur Utama Perusahaan Pengelola Aset (PPA), mengatakan harga itu merupakan nilai terbaik yang bisa disepakati.
”Harga penjualan atas aset kredit TPN pada saat itu merupakan harga yang tertinggi dan di atas harga dasar yang ditetapkan,” katanya. Tapi, lagi-lagi, ia tak mau membuka harga dasar yang ditetapkan itu. ”Saya tak mau komentar.” Yang jelas, Syahrial menegaskan bahwa harga tersebut tidak termasuk deposito Timor di Bank Mandiri Rp 1,3 triliun.
Meski dijual dengan harga sembilan kali lipat lebih murah dari kewajibannya, Syahrial berkali-kali menegaskan bahwa proses penjualan sudah sesuai dengan aturan dan melalui audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Bagaimana dengan fakta yang ditemukan KPK dan ditegaskan Menteri Keuangan Sri Mulyani bahwa Vista Bella ternyata adalah fronting alias kepanjangan tangan Humpuss sendiri? Syahrial lagi-lagi cuma menggelengkan kepala.
Dua pekan lalu, KPK telah menyatakan transaksi itu melanggar perjanjian jual-beli. Dalam kontrak memang disebutkan bahwa jika ada bukti benturan kepentingan, atau investor ternyata punya hubungan dengan debitor, maka investor harus melunasi 100 persen utangnya kepada pemerintah atau penjualan dibatalkan. Opisi lain: pembayaran yang telah diterima BPPN tidak dapat ditarik.
Arah angin pun kini berbalik. Menteri Keuangan Sri Mulyani semakin percaya diri menyatakan aset berupa deposito Rp 1,3 triliun di Bank Mandiri merupakan milik negara. Bukan cuma itu, Sri Mulyani sekarang malah bisa menagih Vista Bella, Mandala Pratama, dan Humpuss agar membayar utang Timor Rp 4,6 triliun.
Adek Media, Anton Septian (Cikampek)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo