LANGKAH Sudharmono mengadakan restrukturisasi pimpinan Fraksi Karya Pembangunan (FKP) ternyata menjadi persoalan di DPR. Dalam rapat Badan Musyawarah (Bamus) -- sempat tertunda dua kali -- Jumat minggu lalu, pimpinan DPR tetap berpendapat bahwa penggantian pimpinan fraksi mesti diputuskan dalam rapat paripurna DPR. Sementara itu, fraksi-fraksi di DPR -- kecuali Fraksi ABRI -- menentangnya dan menganggap penggantian itu cukup diberitahukan saja kepada pimpinan DPR. Agaknya, beda pendapat dalam rapat Bamus yang dipimpin wakil ketua DPR Kharis Suhud, anggota Fraksi ABRI, itu bukannya tanpa alasan. Pimpinan DPR rupanya berpegang pada surat Amirmachmud, 4 Juni 1983, yang ditujukan kepada pimpinan fraksi. Isi surat itu menyebutkan, untuk penggantian atau perubahan pimpinan fraksi, diperlukan adanya putusan rapat paripurna DPR kembali, yang kemudian dituangkan dalam surat keputusan Dewan. Berdasarkan SK ini, maka pimpinan fraksi lantas mendapatkan tunjangan representasi Rp 50.000 tiap bulan. Namun, pendapat pimpinan DPR itu kemudian mendapat tentangan keras dari fraksi-fraksi di DPR. "Kedua alasan pimpinan Dewan itu berbeda sifatnya," kata Achmad Subagyo. "Karena, penentuan pimpinan fraksi adalah hak otonom fraksi." Sedangkan tunjangan representasi, kata sekretaris FPDI itu, semata-mata soal administrasi keuangan. Kedudukan fraksi di DPR, menurut Achmad Subagyo, adalah otonom dan mempunyai wewenang untuk mengatur dirinya sendiri. "Fraksi berhak mengatur alat kelengkapannya, yang namanya pimpinan," katanya. Walau fraksi bukan alat kelengkapan Dewan, katanya, DPR punya kewajiban menyediakan sarana penunjangnya, termasuk dana yang memadai. Sikap ini rupanya didukung FKP. Fraksi terbesar di DPR, yang baru saja mengganti beberapa pimpinan fraksinya tanpa melalu sidang pleno seperti yang diminta surat Amirmachmud, itu berpendapat bahwa fraksi merupakan perpanjangan tangan DPP. "Adanya perubahan pimpinan fraksi itu cukup dilaporkan kepada pimpinan DPR," kata Akbar Tanjung, bekas wakil sekretaris FKP yang ditarik menjadi wakil sekjen DPP Golkar. Maksudnya, pimpinan Dewan atau Bamus tidak perlu memutuskan atau menyetujuinya dalam rapat pleno DPR. Mengenai alasan pimpinan DPR agar pergantian pimpinan fraksi mesti diplenokan di DPR, menurut salah seorang pimpinan FKP, hanya tepat untuk permulaan masa kerja Dewan. "Pada saat itu, pimpinan fraksi disahkan bersamaan dengan pengesahan pembentukan fraksi yang baru," katanya. Pimpinan DPR, agaknya, tetap pada pendiriannya bahwa penggantian pimpinan fraksi -- dalam tengah masa kerja anggota DPR -- perlu juga disetujui dalam rapat pleno DPR. Alasannya, pembentukan fraksi dan perubahan susunan pimpinannya, tidak secara eksplisit diatur dalam tata tertib DPR. Sebelum diplenokan, seperti diputuskan dalam rapat pimpinan Dewan 31 Mei 1983 perubahan itu terlebih dahulu harus disepakati dalam rapat Bamus. Sikap pimpinan DPR semacam itu terutama dimaksudkan untuk mencegah agar tidak terjadi kesewenang-wenangan fraksi mencopot pimpinan yang kebetulan tidak disukai pada suatu saat. "Jadi, tidak boleh seenaknya, mentang-mentang otonom," ujar Nuddin Lubis, wakil ketua DPR dari unsur FPP. Penafsiran semacam itu kemudian dianggap anggota Dewan sebagai gejala yang mengarah ke "departemenisasi" DPR dan mengurangi kebebasan anggota. Gejala itu dirasakan sudah muncul sejak awal tahun lalu. Ketika itu, para anggota DPR keberatan dengan berbagai instruksi pimpinan Dewan yang dianggap, oleh Achmad Subagyo misalnya, semacam sistem "Departemen Perwakilan Rakyat". Ketika itu, pimpinan DPR menginstruksikan agar kartu tanda anggota DPR ditandatangani oleh Sekjen Wang Suwandi. Ini dianggap meniru kebiasaan yang berlaku di suatu departemen yang kartu anggota diteken oleh sekjen departemen itu. Padahal, sebelumnya kartu angota DPR itu cukup ditandatangani oleh Adam Malik sebagai ketua waktu itu. Di samping itu, pimpinan Dewan juga menginstruksikan kewajiban anggota DPR untuk melakukan absen seperti di departemen atau perusahaan. "Padahal," kata Achmad Subagyo, "absensi dan penilaian anggota seharusnya menjadi porsi fraksi." Tudingan bahwa pimpinan Dewan akan membawa DPR menjadi semacam lembaga eksekutif itu, tentu saja, membuat Amirmachmud kesal. Dalam suatu rembukan dengan pimpinan fraksi menjelang rapat Bamus, Kamis minggu lalu, ketua DPR itu dengan nada tinggi membantah, "Saya memimpin Saudara itu bukan berarti Saudara-Saudara didepartemenkan," kata Amirmachmud seperti yang dikutip Hadi Tirto, sekretaris FKP kepada TEMPO. Golkar sendiri, konon, tidak mempersoalkan diplenokan atau tidak susunan pimpinan baru fraksinya. Menurut seorang anggota FKP yang duduk di Bamus, perbedaan sikap antara fraksi dan pimpinan DPR itu justru dimunculkan bukan oleh FKP. "Yang dipersoalkan FKP," katanya, "adalah prinsip otonomi DPP dan fraksi untuk menentukan pimpinannya di DPR jangan diganggu." Pimpinan DPR diharapkan tidak terlalu jauh mencampuri urusan intern "tangan" DPP Golkar itu di DPR. Soalnya, "Kalau ada campur tangan pimpinan Dewan dalam penyusunan pimpinan fraksi, yang untung adalah unsur pimpinan Dewan dari partai politik," kata Sarwono Kusumaatmadja, sekjen DPP Golkar yang baru tiga minggu meninggalkan kursinya sebagai sekretaris FKP. Fraksi lain, kabarnya, memanfaatkan kesempatan penggantian pimpinan FKP itu untuk kepentingan mereka sendiri. Beberapa pimpinan fraksi, bahkan konon termasuk pimpinan Dewan dari unsurnya, sedianya akan diganti juga. Dan tampaknya rencana restrukturisasi itu akan mentah lagi bila kemudian dihambat oleh pimpinan Dewan yang kebetulan tidak sependapat dengan fraksinya. Achmad Subagyo, misalnya, berpendapat bahwa pimpinan Dewan masih tetap anggota fraksi. "Jadi, sepak terjangnya harus bisa dipertanggungjawabkan pada DPP," katanya. Ucapan ini agaknya ada hubungan dengan sinyalemennya bahwa ada pimpinan DPR atau fraksi yang kelihatannya sudah seperti kacang yang meninggalkan lanjaran (tempat merambat). Agar kepentingan fraksi lebih tersalurkan, maka pimpinan semacam itu sepantasnya segera bisa diganti.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini