Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Membendung arus pendatang haram

Persetujuan indonesia-malaysia mengenai lintas batas dan penyediaan tki di malaysia. banyak tenaga kerja dari indonesia masuk malaysia sebagai pendatang haram. (nas)

19 Mei 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ISTILAH "pendatang haram" -- sebutan buat pekerja Indonesia yang masuk secara gelap ke Malaysia -- boleh jadi akan segera hilang. Titik awalnya adalah ditandatanganinya dua perjanjian antara RI dan Malaysia di Medan Sabtu pekan lalu, dalam suatu upacara pendek yang berlangsung di kantor gubernur Sumatera Utara. Mula-mula Menteri Tenaga Kerja Sudomo dan Wakil Perdana Menteri Malaysia Datok Musa Hitam menandatangani perjanjian penyediaan tenaga kerja Indonesia (TKI) untuk Malaysia. Disusul kemudian penandatanganan persetujuan lintas batas RI-Malaysia oleh Musa Hitam dan Pangab Jenderal L.B. Moerdani. Keduanya adalah ketua General Border Committee RI dan Malaysia. Kedua persetujuan itu, menurut Jenderal Moerdani, merupakan "langkah maju", sejak dirintisnya persetujuan lintas batas yang ditandatangani di Jakarta 1967. Makin mantapnya keamanan di perbatasan, katanya, memungkinkan pemberian kemudahan pada masyarakat -- terutama yang secara tradisional mencari hidup di perbatasan -- untuk saling mengunjungi. Kemudahan itu diwujudkan dalam penyederhanaan sistem dan prosedur lintas batas. Dubes RI di Malaysia, Rais Abin, mengatakan, kelak kunjungan persaudaraan, perlawatan turis, dan perbelanjaan di daerah perbatasan cukup dilengkapi dengan border pass, yang bisa diperoleh gratis di kantor kecamatan. Ketentuan ini sebenarnya sudah berlaku, misalnya di perbatasan Kalimatan Barat dan Serawak, tapi belum merupakan persetujuan resmi. Menurut persetujuan itu, Indonesia akan membuka 22 check point di Sumatera timur, sedangkan Malaysia akan membuka 24 pos serupa di Semenanjung Malaysia. "Adanya perjanjian ini akan meningkatkan hubungan antara kedua bangsa, hingga persahabatan antara kedua negara lebih kukuh," ujar duta besar Malaysia di Jakarta, Datuk Muhammad Rahmad. Yang lebih penting tampaknya perjanjian penyediaan TKI untuk Malaysia. Sejak 1982 pemerintah Malaysia memutuskan untuk mendatangkan buruh dari India, Bangladesh, Sri Lanka, dan negara-negara ASEAN untuk mengatasi kekurangan buruhnya, terutama untuk bidang konstruksi dan perkebunan. "Tetapi lebih kami utamakan yang dari Indonesia karena adat istiadat dan kulturnya lebih dekat dengan Malaysia," kata Musa Hitam. Selama bertahun-tahun, ribuan pekerja Indonesia secara gelap telah mengalir ke Malaysia, tertarik oleh cerita dan janji gaji yang tinggi. Mereka pada umumnya menyelundup masuk lewat Johor untuk bekerja sebagai buruh konstruksi, atau lewat Tawao buat bekerja di perkebunan di Sabah atau Serawak. Menurut taksiran Menteri Sudomo, di Sabah saat ini terdapat sekitar 130 ribu TKI gelap, sedangkan di Semenanjung Malaysia -- menurut perkiraan Far Eastern Economic Review -- ada 200-300 ribu TKI gelap. Dari hampir 20 ribu imigran gelap yang tahun lalu ditangkap polisi Malaysia, dua pertiganya orang Indonesia. Menurut Rais Abin, ada sindikat orang-orang Indonesia dan Malaysia, yang memasukkan tenaga kerja itu secara gelap. Sindikat itu pula yang mengatur pendapatan mereka. "Upah mereka sebenarnya Rp 6.000 sehari, tetapi yang dibayarkan cuma Rp 2.000. Sisanya masuk kantung sindikat," ujarnya. Misalnya saja Muhammad bin Ali, 29, yang berasal dari Sampang, Madura, dan kini bekerja sebagai tukang kayu di Kampung Bandan, Kuala Lumpur. Beberapa tahun lalu nelayan ini menjual perahunya untuk bekal merantau ke Malaysia, karena terbujuk janji gaji yang tinggi. "Di sini saya seharusnya memperoleh Rp 5.000 sehari, tapi yang saya terima cuma Rp 1.000 karena dipotong sewa tempat dan makan," katanya tatkala ditemui di Kuala Lumpur pekan lalu. Dari berbagai sumber, terpetik juga banyak cerita tentang para calo tenaga kerja yang merampas paspor para buruh, atau tentang centeng perkebunan yang menekan dan menyiksa. Status mereka sebagai "pendatang haram", yang bisa sewaktu-waktu ditangkap polisi dan diusir kembali ke Indonesia, lebih memojokkan mereka. Namun, tak kurang juga banyaknya laporan yang menyebutkan terlibatnya "pendatang haram" Indonesia dalam berbagai tindak kriminalitas. Berbagai hal ini, Datuk Musa Hitam menyebutnya, "Perkara yang membuat kedua pemerintah tak enak hati", rupanya akan diselesaikan dengan penandatanganan persetujuan itu. Dengan adanya perjanjian penyediaan tenaga kerja itu, selain diharapkan tak ada lagi TKI yang datang ke Malaysia secara "haram", hak mereka juga akan lebih terjamin. "Mereka tak akan diperas. Departemen yang saya pimpin akan mengatur kontrak TKI hingga pendapatan mereka jelas diketahui," kata Sudomo. Menurut dia, pengiriman TKI yang mahir dan terampil akan diharuskan melewati prosedur resmi. Sesuai dengan isi perjanjian, kedua negara akan membentuk semacam panitia yang bertanggung jawab pada penyediaan TKI dan akan mengkoordinasikan serta melaksanakan ketentuan dalam perjanjian. Panitia itu juga akan mengatur pengiriman, penyediaan dokumen perjalanan, dan menentukan biaya perjalanan ke Malaysia. Menurut sebuah sumber, "Malaysia akan mempunyai semacam komite majikan, sedangkan di Indonesia akan ada komite tenaga kerja." Perjanjian itu juga menyebutkan, jumlah TKI yang diizinkan masuk Malaysia akan ditentukan berdasarkan kebutuhan, dan akan dibatasi dengan kontrak yang berlaku dua tahun. Panitia bersama yang akan dibentuk akan memilih enam kategori TKI yang sesuai dengan permintaan perusahaan swasta yang memerlukannya. Musa Hitam menegaskan, panitia itu yang akan menentukan apakah TKI yang dikirim memenuhi persyaratan. Mereka juga diharuskan melalui pemeriksaan kesehatan dahulu serta diwawancarai oleh perusahaan yang akan mempekerjakannya. Ada dugaan, pemerintah Malaysia lebih menyukai mengalirnya tenaga kerja Indonesia dibanding negara lain dengan alasan: untuk memperbesar imbangan masyarakat Melayu. Saat ini jumlah penduduk Malaysia sekitar 14 juta dengan perimbangan Melayu 50%, Cina 40%, dan sisanya berasal dari keturunan lain, seperti Tamil. Kesempatan TKI menjadi warga negara Malaysia tampaknya terbuka. "Asal saja mereka memenuhi prosedur. Antara lain menetap secara kontinu selama sepuluh tahun di Malaysia," kata Muhammad Rahmad. Dalam prakteknya, ketentuan itu agaknya tak seketat itu. Menurut Miftah Helmy, Direktur PT Tenaga Kastoba -- salah satu penyalur resmi TKI ke Malaysia dan Timur Tengah -- dalam waktu dua bulan TKI di Malaysia sudah bisa mendapat Kad Pengenalan (semacam kartu penduduk sementara), dan dalam tiga tahun bisa memperoleh kewarganegaraan Malaysia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus