PINTU gerbang kampus Universitas Krisnadwipayana itu ditutup satpam dan resimen mahasiswa. Sebagian undangan yang akan menghadiri upacara pelantikan rektor dihadang. Acara pelantikan 5 Maret lalu itu pun gagal. Penggantian rektor ini menjadi pangkal kemelut yang melanda kampus Unkris. Pihak Yayasan menginginkan Moehono, yang sekarang menjabat rektor, turun. Penggantinya, yang batal dilantik itu, adalah Drs. Adiwoso Abubakar. Sebaliknya, Moehono, dengan dukungan Senat Guru Besar, didesak tetap bertahan sampai masa jabatannya habis, 1991. Sebenarnya, Moehono pernah mengajukan surat pengunduran diri kepada Yayasan. Bahkan, pada 6 Februari 1990, Ketua Yayasan, Soehartono, diam-diam membuat kesepakatan dengan Moehono. Isinya, Moehono setuju mundur asal menjadi Ketua Pengurus Yayasan menggantikan Soehartono. Namun, ketika pengurus Yayasan mengadakan rapat 20 Februari Moehono melayangkan surat. Ia membatalkan surat pengunduran dirinya. Moehono menganggap, kesepakatannya dengan Soehartono telah dibocorkan sehingga mengundang keresahan di kalangan Senat Guru Besar. Bahkan, Senat Guru Besar Fakultas Ekonomi sempat menuntut agar Moehono tetap menjabat rektor sampai habis masa jabatannya. Pembatalan pengunduran diri Moehono itu membuat Yayasan berang. Soehartono, sebagai Ketua Yayasan, 21 Februari 1990, memberhentikan Moehono. Ia juga akan mengangkat penjabat rektor baru. Para guru besar, 26 Februari lalu, memprotes dan mengadakan rapat di Hotel Kartika Chandra. Mereka menyampaikan mosi tidak percaya berupa "Pernyataan Senat Unkris". Yayasan dikritik karena telah mengabaikan senat sebagai lembaga akademi tertinggi yang seharusnya berperanan dalam memberhentikan dan mengangkat rektor. "Buat saya, itu sewenang-wenang," ujar Prof. Oemar Seno Adji, salah seorang anggota senat dan pernah menjabat rektor periode 1982-1983. Menurut Oemar, kesewenang-wenangan Yayasan bukan cuma kali ini. Selama menjabat sebagai Ketua Yayasan sejak 1982, sudah lima kali Soehartono berlaku kurang pantas terhadap rektor. "Pak Moehono adalah korban kelima. Saya juga pernah jadi korban, dan akhirnya mengundurkan diri," kata Oemar. Kritik lain kepada Yayasan adalah soal pengelolaan uang. Semasa masih rektor, Oemar pernah mengusulkan agar uang yang masuk dari mahasiswa dipegang rektor. Yayasan juga dinilai terlalu gampang campur tangan soal pengangkatan personel universitas. "Masa mengangkat pembantu rektor oleh Yayasan. Yang tahu orang kan rektor," kata Oemar. Padahal, menurut Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Unkris, pengangkatan dosen dan pejabat-pejabat universitas adalah hak Senat Guru Besar. Senat Guru Besar dan Moehono nampaknya memandang Soehartono telah bertindak terlalu jauh. Mereka menginginkan agar pengurus Yayasan segera diganti. Kebetulan, masa jabatan Soehartono disebut-sebut sudah habis Februari lalu. "Kesannya mau terus-menerus," ujar Oemar. Calon yang disiapkan Yayasan untuk menjadi rektor adalah Drs. Adiwoso Abubakar. Pernah menjadi dubes untuk Brasil, merangkap Peru dan Bolivia, Adiwoso terakhir adalah dubes untuk Kanada. Para penentangnya menganggap alumnus Universitas Gadjah Mada itu belum pernah terlibat dan tahu seluk-beluk Unkris. Sampai pekan ini ketegangan belum kendur. Rapat maraton terus berlangsung. Selama beberapa malam, kantor Yayasan memperlihatkan kesibukan serius. Namun, Soehartono sendiri sampai awal pekan ini belum bersedia memberi komentar. "Sibuk," katanya. Moehono pun bersikap sama. "Semua masih dalam proses penyelesaian," ujar Drs. Markus, Pembantu Rektor III Unkris. Keadaan kampus, sampai pekan ini, belum normal. Kegiatan pengisian kredit per semester (KRS), yang seharusnya sudah dimulai awal pekan lalu, terpaksa ditangguhkan. Mahasiswa masih suka datang walau tak ada kegiatan perkuliahan. Mereka cuma bergerombol dan mengobrol. Priyono B. Sumbogo dan Muchsin Lubis (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini