MENYAMBUT Dies Natalis yang ke-24, IKIP Negeri Semarang me wisuda 564 sarjana, Selasa pekan lalu. Mereka adalah calon-calon guru yang sudah mengikuti clearence test -- suatu tes khusus yang lebih menyangkut ke soal "bersih diri". Rektor IKIP Semarang, Dr. Retmono, menganggap penting tes ini. "Kalau mereka sudah mengikuti tes seperti itu di kampus, nanti sebagai calon pegawai negeri tidak perlu ikut tes itu lagi," kata Retmono. Kebijaksanaan ini pun berdasarkan pengalaman sebelumnya. Beberapa lulusan IKIP yang bertugas ke luar Jawa terpaksa pulang ke kampus hanya mengurus surat "bersih diri". Surat ini penting bagi mereka yang memegang jabatan fungsional seperti guru di sekolah negeri. Dari sini muncul pemikiran, kenapa tidak sebelum menjadi sarjana itu dilakukan clearence test. Maka, hal itu dicoba untuk lulusan program D-3 pada tahun 1981. "Daripada mereka menemui kesulitan nanti, kami putuskan saja mengadakan clearence test saat masih berstatus mahasiswa," kata Retmono. Dan itu akhirnya diberlakukan pada semua mahasiswa IKIP, tak cuma mahasiswa program D-3. Tapi, kata Retmono, tes ini tidak termasuk wajib. Dan tidak ada kaitannya dengan persyaratan pengambilan ijazah. Menurut Hartono Kasmadi, Pembantu Rektor I yang menjadi Ketua Tim clearence test, tadinya tes ini memang mau dikaitkan dengan pengambilan ijazah. Tapi akhirnya pengaitan itu dibatalkan karena ditegur Kopkamtib. Kenapa Kopkamtib? Karena dari instansi inilah soal-soal tes itu berasal. Secara resmi, kalau ada mahasiswa yang tidak bersedia mengikuti tes, tidak apa-apa. Tak ada sanksi. Mereka tetap akan diwisuda. Kenyataannya, hingga acara wisuda pekan lalu, tak ada seorang pun lulusan IKIP Semarang yang tidak ikut clearence test. Jadwal tes itu sengaja dipilih beberapa bulan sebelum wisuda. Wisudawan pekan lalu itu dites Februari lalu. Tim clearence test IKIP Semarang beranggotakan 15 orang. Tim ini tidak berwewenang menentukan "bersih" tidaknya seorang mahasiswa. Tim membagikan blangko isian yang diambilnya dari Kopkamtib -- dan kini Bakorstanas. Setelah mahasiswa mengisinya, tim melakukan wawancara. Kalau misalnya ada bukti yang menyatakan seorang mahasiswa tidak "bersih", bukti itu hanya dilampirkan pada berkas isian tes. "Terserah instansi yang menerima lulusan itu menentukan bersih atau tidak," kata Hartono. Berkas isian itu aslinya dipegang oleh mahasiswa dan arsipnya disimpan Kanwil P dan K Ja-Teng. Bila sewaktu-waktu ada lowongan guru, pihak Kanwil cukup mencocokkan hasil tes itu dan calon guru itu tak perlu di-clearence test lagi." Tapi, bagi mahasiswa, persoalannya lain. Tes ini selain dianggap mubazir, menurut mahasiswa, tes wajib. Tony Irianto, misalnya, mengatakan, "Secara psikologis saya menganggap clearence test itu wajib walaupun pihak IKIP tidak mengumumkan apakah itu wajib atau tidak." Mengapa? "Soalnya, setiap orang yang mau mengurus ijazah disodori lembaran tes itu," kata sarjana Matematika FPMIPA yang diwisuda pekan lalu itu. Blangko clearence test, kata Tony dibagikan bersama-sama dengan berkas lain sebagai syarat pengambilan ijazah. Segi mubazirnya, menurut Tony, tak semua lulusan IKIP kepingin menjadi pegawai negeri. Untuk bekerja di swasta tak dibutuhkan surat keterangan "bersih diri" atau "bersih lingkungan". Apalagi, beberapa pertanyaan yang diajukan dalam tes, menurut Tony, tidak relevan. Pisalnya, jadi simpatisan apa dalam pemilu yang lalu, organisasi massa apa yang diikuti, apa persepsinya tentang NKK, Orde Baru, dan Golput. Juga ditanyakan ormas apa yang diikuti orangtua mahasiswa. "Itu kan tidak relevan. Mana saya tahu apa yang dicoblos orangtua dalam pemilu, wong rahasia kok," katanya.Agus Basri dan I Made Suarjana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini