DALAM kerangka pikiran tradisionalis, keraton adalah pusat, adalah model. Intuk memahaminya diperlukan interpretasi yang memakai pendekatan realisme simbolik: realitas harus dibaca sebagai lambang-lambang. Contohnya bisa diambil dari beberapa kata yang ada di keraton dan sekitarnya. Di Keraton Solo, umpamanya. Rajanya bernama Paku Buwana. Ada menara yang disebut Sangga Buwana. Dari kata-kata itu dapat ditafsirkan bahwa keraton itu adalah ruang yang berbeda dengan sekitarnya. Perbedaan itu bukan hanya bentuk dan struktur, tapi juga kualitas, dalam arti kosmos-magis atau keramat. Di keraton itu ada keteraturan, ada sistem. Ada semacam kosmos. Sedang ruang di luar keraton tak berbentuk, amorf, jadi chaos. Kosmos itu lawan dari chaos. Nama-nama dalam keraton tadi menunjuk konsep tata ruang yang bertolak dari kekuasaan raja. Buwana berarti dunia. Secara lebih luwes berarti alam semesta. Jadi,keraton adalah pusat semesta ini. Ada keraton sebagai pusat, lantas ada negari, negari gung, mancanagara, dan di luarnya kita melihat pasisiran, dan sebagainya. Di keraton ada pendopo, dan di sana ada sokoguru yang paling indah dan paling penting. Juga ada menara Sangga Buwana. Dengan demikian, berdasarkan interpretasi realisme simbolik, keraton itu berfungsi juga, katakanlah, penghubung manusia dengan kekuatan transenden. Sangga Buwana sendiri menjadi tempat pertemuan Sri Sunan dengan Nyai Loro Kidul. Sebagai suatu kepercayaan, ini adalah fakta. Fakta dalam mental. Ini penting. Mitologi Nyai Loro Kidul sampai sekarang masih dipercayai rakyat di pantai selatan. Rakyat di situ hidup dalam ketakutan atau diteror terus oleh Nyai Loro Kidul. Terorisme itu bisa ditenangkan oleh raja-raja Mataram. Apakah kita mengakui kenyataannya atau tidak, itu masalah lain. Dalam salah satu surat kuno, Serat Tant Panggelaran, ada mitos tentang cara pembudidayaan Pulau Jawa ini. Sebelumnya, ia dihuni oleh bangsa roh atau makhluk gaib yang serba chaostte, yang mengancam umat manusia. Para pendatang (manusia) terpaksa berperang melawannya. Pertama kali kalah, tapi kemudian pada gelombang kedua, menang. Dan sejak itulah Jawa mengalami tingkatan peradaban. Jadi, dalam pandangan tradisionalis, keraton merupakan sesuatu, katakanlah model kosmos sendiri. Ia bukan kompleks bangunan biasa. Karena itu, adalah peristiwa menarik ketika Keraton Solo terbakar, mobil pemadam kebakaran tak bisa masuk. Dalam kaitan dengan interpretasi saya tadi, ya bagaimana bisa masuk? Pintu-pintu gerbang yang begitu religius-magis atau kosmos magis yang tinggi nilainya sudah barang tentu bukanlah pintu gerbang untuk umum. Sudah barang tentu tidak untuk keperluan kendaraan umum dari dunia modern. Memang ada berbagai tafsiran lain mengenai karisma atau otoritas keraton. Djatikusumo, misalnya, melihat bahwa yang penting itu adalah barang-barang pusaka. Makna kerajaan ditaruh pada unsur bermacam-macam pusaka. Itu merupakan kontinuitas. Maka, selalu kembali ke pusaka Majapahit yang diwariskan terus-menerus sebagai legitimasi kontinuitas pemegang kekuasaan. Ada juga yang melihat kontinuitas itu dari dalam silsilah. Dalam Babad Tanah Jarei, misalnya, silsilah itu tak hanya sampai ke Majapahit, tapi jauh ke zaman nabi-nabi. Ada pula yang menafsirkan bahwa otoritas keraton pada kehadiran pulung. Ini terutama dalam konteks mesianistik. Pernah ada yang mengatakan, sekalipun,kompleks keraton itu masih ada, kalau pulung-nya sudah pergi, ya tidak bisa lagi menjadi pusat otoritas atau kekuasaan. Tentang pamor keraton, itu adalah soal image. Dari penjelasan tadi -- keraton adalah pusat kosmos-magis -- keraton membentuk image kosmos tersendiri. Tapi keraton tidak hanya "pusat" dari segi struktur fisik, juga dari segi pelembagaan sosial politik. Untuk yang disebut terakhir, tentu mau tidak mau keraton harus menjadi pengemban kekuasaan. Apakah pulung sebagai lambang karisma dan kekuasaan masih ada pada keraton, atau seberapa jauh masih ada, sulit diukur secara pasti. Tapi kita bisa melacaknya dari segi historis politik. Pada zaman Belanda, otoritas dan ruang kekuasaan raja sudah semakin dikurangi. Di zaman revolusi kekuasaan raja banyak mengalami serangan. Dengan segala kemegahan dan kewibawaannya, dahulu keraton mampu menyelenggarakan standar nilai-nilai. Apakah itu dengan upacara-upacara, lambang-lambangnya, yang semuanya membutuhkan dukungan materiil. Bagaimana menyelenggarakan upacara-upacara yang begitu mahal tanpa dana? Jadi, ini gejala sosio-kultural yang umum: di mana kekuasaan menyusut, juga sumber-sumber kekayaan mengering, status susah dipertahankan. Sekarang timbul pertanyaan: bila keraton tak bisa lagi memberikan model -- kalaupun masih bisa, apakah masih relevan dengan situasi sekarang -- model apakah yang akan dipilih? Dahulu keraton memang sebagai model yang tak bisa lepas dari struktur politik yang feodal dan sistem hierarkis yang ketat. Dengan hilangnya model keraton, model yang bagaimanakah yang diperlukan masyarakat? Untuk menjawabnya, saya kira memerlukan pemikiran dan penelitian yang jauh lebih luas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini