Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Mengumpulkan tulang berserakan

Ada 4 macam trah kekerabatan di kalangan masyarakat jawa: trah ningrat, priayi, santri & wong cilik. makin mantap kedudukan ekonomi seseorang, makin kuat dorongan untuk bertrah-trah.

30 Januari 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEJARAH telah bergeser. Himpunan Kekerabatan Mangkunagaran (HKMN) Suryosumirat telah menunjukkan kebolehannya mempraktekkan "demokrasi" kekerabatan. Sesudah melewati sekian kali negosiasi yang alot, akhirnya aspirasi HKMN bisa menyisihkan keinginan para penghuni inti puri Mangkoenagaran. Sudjiwo Kusumo, Ahad lalu, dikukuhkan sebagai Pangageng Puri Mangkunagaran, dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Ario Mangkoenagoro. Tanpa sebutan adipati, tanpa angka IX, seperti diingini oleh putra-putri Mangkoenagoro VIII, termasuk Djiwo sendiri. Kedudukan Djiwo dalam HKMN hingga kini masih belum jelas. Dia akan memangku jabatan kehormatan sebagai Ketua HKMN nanti, setelah resmi dinobatkan sebagai Pangageng Puri Mangkunagaran. Entah kapan datang waktunya. Yang terang, keinginan Djiwo telah dipatahkan oleh aspirasi HKMN yang diperjuangkan secara gigih oleh dua Mayjen. (Purn.) Soerjosoejarso dan Soerjosoempeno. Keduanya menduduki poSisi sebagai orang pertama dan kedua dalam Badan Penasihat HKMN. Kalaupun nanti telah tiba saatnya Djiwo dinobatkan sebagai pimpinan Mangkoenagaran, pun dia tak mengendalikan langsung trah HKMN, yang kini memiliki lebih dari 5.000 anggota. Urusan harian ditangani oleh lembaga eksekutif, yang bernama Badan Pengurus. Menteri Kehutanan Soedjarwo kini yang menjabat sebagai Ketua Badan Pengurus. Sebagai pimpinan trah, Djiwo tak ingin membawa HKMN Suryosumirat kembali menghidupkan kehidupan keningratan di kalangan anggotanya. "HKMN Suryosumirat hanya menghimpun, menggalang, dan membina persatuan antar kerabat Mangkunagaran," ujarnya. Setelah bersatu, HKMN berniat melakukan kegiatan produktif: menyelenggarakan usaha, meningkatkan keterampilan, dan saling membantu anggota yang sedang kerepotan. Juga sebagai tempat memasyarakatkan P4. Pula, "Sebagai tempat menyebarkan piwulang (ajaran) leluhur," kata R.T. Husodo Pringgokusumo, Sekretaris III HKMN. Dari tahun ke tahun, keanggotaan organisasi keturunan para ningrat Mangkunagaran itu kian meningkat. "Masih banyak lagi yang belum mendaftar atau dalam proses mendaftar," tambah Husodo. Salah satu bagian keraton, kini berfungsi sebagai sekretariat pendaftaran anggota. Himpunan Kerabat Mangkunagaran ini lahir tahun 1946. Tapi Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangganya baru disahkan empat tahun kemudian. Lantaran desakan perkembangan, tahun 1980 HKMN Suryosumirat melakukan penataan kembali organisasinya. Pintu HKMN terbuka bagi keturunan Mangkoenagoro yang ingin mencatatkan diri sebagai anggota. Caranya gampang. Si calon tinggal mengisi sebuah formulir. Lalu ia harus bisa mendatangkan dua orang saksi yang bisa memberikan keterangan asal-usul calon. Saksi yang diperbolehkan memberikan keterangan harus telah terdaftar sebagai anggota HKMN. Selain nama, alamat, dan umur anggota, piagam itu memuat juga urut-urutan leluhur pemegang kartu anggota. Siapa ayah-ibunya, kakek, kakek buyut, canggah, dan seterusnya. Dengan prosedur seperti itu, menurut Husodo Pringgokusumo, "Tak mungkin orang luar yang bukan trah bisa masuk." Memang status anggota luar biasa bisa diberikan kepada orang luar yang dianggap berjasa terhadap organisasi. Jika dianggap tak ada yang meragukan, pendaftar tinggal menunggu urusan administrasi saja, sambil menyerahkan pasfoto. Kalau sudah sampai waktunya, calon anggota itu akan memperoleh tanda anggota yang disebut Piagam Sentono. Biaya administrasi pendaftaran kabarnya paling hanya Rp 1.000,00. HKMN Suryosumirat hanyalah salah satu dari banyak trah yang berserak di kalangan masyarakat Jawa. Sebagian berafiliasi langsung dengan istana, seperti HKMN Suryosumirat itu. Sebagian lain bebas dari karisma istana dan nama-nama raja, kendati masih tetap menjejakkan identitas ningrat. Namun, ada pula trah yang bergayut pada nama seorang santri, bahkan seorang kawula biasa. Sjafri Sairin, seorang peneliti dari Fakultas Sastra UGM, menggolongkan ada empat macam trah yang hidup di kalangan masyarakat Jawa: trah ningrat, trah priayi, trah santri, dan trah wong cilik. Keempat macam trah itu mempunyai sifat keanggotaan yang sama, yakni bersandar pada garis keturunan dan seorang leluhur dan juga hubungan perkawinan. Kedudukan menantu, umpamanya, bisa mengantarkan sebagai anggota trah, kendati tak disertai keterangan garis keturunan dari Mangkoenagoro. Trah sendiri, dalam terminologi Jawa, bisa diartikan sebagai garis keturunan. Organisasi bangsawan yang kini tampak berkibar sebagian berafiliasi dengan empat istana Jawa: Mangkunagaran dan Kasunanan, keduanya di Surakarta, dan Kasultanan serta Pakualaman di Yogya. Mangkunagaran melahirkan HKMN Suryosumirat. Kasunanan sempat melahirkan "Narpowandono", organisasi trah yang entah mengapa kini tak aktif lagi. Kerabat Kasultanan Yogya terutama berhimpun diri dalam trah Hamengku Buwono. Organisasi darah biru ini umurnya sebaya dengan Muhammadiyah, berdiri tahun 1912. Istana lain di Yogya, Pakualaman, juga telah melahirkan trah, yang diberi nama Hudyana, sebelum kemerdekaan. Secara resmi Hudyana baru dikukuhkan tahun 1946. Sjafri Sairin, yang memperoleh gelar master dari Universitas Nasional Australia, 1980, membedakan trah ndoro (ningrat) dengan priayi. Trah ningrat bernaung langsung ke istana, sedangkan trah prlayi tidak. Namun, trah priayi ini juga punya cangkolan pada seorang tokoh birokrat masa lalu, yang biasanya darah biru juga. Sebutlah trah Sumodilagan. Organisasi ini menghimpun anak cucu Raden Tumenggung Ario Sumodilogo, bupati Menoreh, yang berpusat di Parakan, Ja-Teng, awal abad ke-19 silam. Berdiri pada 1970, Sumodilagan kini punya cabang di banyak kota. Trah Djojodiningrat adalah perkumpulan sejenis yang lebih tua, berdiri tahun 1937. Djojodiningrat adalah bupati Karanganyar, Bagelen, Ja-Teng, pada tahun 1840-an. Atas prakarsa beberapa cucu sang bupati, yang kebetulan banyak yang jadi orang terpandang, berdirilah trah itu. Djojodiningrat masih punya hubungan dekat dengan Keraton Yogya. Dia cucu Hamengku Buwono II. Di Jawa Timur, para santri juga membentuk trah, Bani Abdul Jabbar namanya. Trah santri ini berdiri tahun 1972 di Surabaya. Namun, pada catatan Sjafri Sairin, ada lagi trah santri yang jauh lebih tua, yakni Bani Kholifah, yang berdiri di Kartasura, dekat Surakarta. Bani Kholifah berdiri pada 1935. Kawula kecil pun tak terlarang membentuk trah. Anak-cucu Cokrodirjo, seorang mandor pabrik gula di Padokan, Yogya, di zaman Belanda dulu, membentuk pula trah Cokrodirjan. Sebagian besar anggota trah ini adalah petani kecil. Trah wong cilik lain adalah trah Mbok Berek, seorang pengusaha ayam goreng kenamaan dari Kalasan, Yogya. Delapan belas anak dan cucu Mbok Berek, yang sebagian besar kini juga mengusahakan restoran ayam goreng, tahun 1979 membentuk trah dengan mengambil nama ibu atau nenek mereka. Sjafri Sairin memang tak mempunyai catatan tepat tentang jumlah trah yang ada. Namun, pada penelitiannya, sekitar 10 tahun lalu, dari 10 buah sampel trah yang berdiri tahun 1966-1979, jumlah terbesar memang trah priayi (5 buah), sedang trah santri 2 buah, dan trah uong cilik 3 buah. Dari seluruh sampel yang berjumlah 47 trah, ternyata jenis priayi paling besar jumlahnya, yaitu 19 trah. Trah ndoro ada 14, trah santri 9, dan trah uong cilik 5 buah. Tesis Sjafri Sairin, yang kemudian dibukukan dengan judul Javanese Trah, menunjukkan sebuah gejala yang menarik. Selama tahun 1955- 1965 tak ada trah ningrat dan priayi yang dilahirkan. Boleh jadi, tahun-tahun itu orang takut mengaitkan dirinya dengan segala atribut yang berwarnakan ningrat. Feodalisme masih dijadikan bulan-bulanan dan diumpankan untuk meletupkan semangat revolusi Orde Lama. Di awal tahun 1960-an, menurut Sjafri Sairin, kelompok ningrat kian terpojok. Panggung kehidupan seolah hanya boleh untuk tiga golongan: Nasakom (Nasionalis, Agama, dan Komunis). Bau-bauan ningrat dijauhi orang. Maka, mudah dlmengerti ika pada periode 1955-1965 itu hanya ada satu trah utong cilik dan dua trah santri yang berani memproklamasikan diri. Di antara mereka, tersebutlah Bani Abdul Djabar itu. Trah ini, pada catatan Sjafri Sairin, kebanyakan warga NU (Nahdlatul Ulama). Leluhur trah ini adalah Kiai Abdul Jabbar, pemimpin pesantren Maskumambang, yang hidup pada 1809-1907. Konon, Kiai Abdul Jabbar adalah keturunan ke-8 dari raja Pajang Sultan Hadiwijoyo alias Joko Tingkir. Organisasi keluarga Kiai Abdul Jabbar ini memang betul-betul stereotip keluarga santri. Sebagian besar putra dan menantu tokoh ini bergelar kiai. Bahkan putra ketiganya, Kiai Ma'sum, dikenal sebagai pendiri pesantren Seblak di Jombang. Tujuan pokok Bani Abdul Jabbar itu memang masih seperti trah-trah jenis lain: mempererat kekerabatan sesama anggota, menjaga nama baik leluhur, serta saling membantu dalam soal ekonomi. Yang membedakan trah ini dengan jenis lain adalah orientasinya pada agama. Bani Abdul Jabbar tegas-tegas mencantumkan tujuannya untuk menjadikan dirinya wadah dalam syiar agama Islam. Trah rakyat yang sebaya dengan Bani Abdul Jabbar antara lain keluarga besar Cokrodirjo. Sesuai dengan namanya, leluhur trah itu adalah Almarhum Pak Cokrodirjo, mandor pabrik gula Madukismo, Yogya, di awal tahun 1900-an. Pak Cokro tak pernah punya nama besar, setelah berhenti dari jabatan mandor, dia hanya menjabat bekel, kepala kampung, di salah satu dusun di selatan Yogya. Trah Cokrodirjan, yang berdiri tahun 1968 ini, tak mempunyai banyak anggota. Dalam 10 tahun pertama, trah ini hanya mampu merekrut 200-an anggota, yang 90% merupakan petani-petani kecil. Hanya 10% anggota trah ini yang bekerja sebagai pegawal negeri, swasta, atau pedagang. Keluarga Cokrodirjo ini, menurut Sjafri Sairin, tak mempunyai kegiatan arisan, seperti yang biasa dilakukan trah-trah ningrat dan priayi. Kegiatan rutin mereka hanya pada pertemuan halal-bilhalal di setiap bulan Syawal. Atau membantu salah satu kerabat yang sedang menyelenggarakan hajat. Tentu, kegiatan keluarga Cokrodirjo itu berbeda dengan pagelaran seni trah Pakualaman awal November silam. Peringatan hari Tumbuk Ageng (sepuluh windu, menurut hitungan kalender Jawa) Sri Pakualam VIII di Hotel Indonesia, Jakarta, yang berlangsung meriah. Pergelaran itu dihadiri oleh 550 undangan. Menteri Kesehatan Suwardjono Surjaningrat yang memperoleh gelar Kanjeng Pangeran Haryo dari Paku Alam VIII - sebagai salah satu sesepuh trah, hadir pula, di samping Menteri Sosial Nani Soedarsono. Trah Pakualaman Hudyana kini mempunyai 25.000 anggota, yang tersebar di berbagai kota, baik di Jawa maupun luar Jawa. Yogya sendiri, sebagai "pusat", mempunyai 3.000 anggota. Pada minggu kedua setiap bulan, trah ini mengadakan pertemuan di Puro Pakualaman. Acaranya, antara lain, ceramah KB sampai soal PBB (Pajak Bumi dan Bangunan), di samping arisan. Ada pula kursus merias pengantin gratis bagi para anggota yang berminat. Kegiatan menyejahterakan anggota juga menduduki porsi penting di Hudyana. "Status ekonomi anggota 'kan tidak sama ada yang lebih dan ada yang kurang," kata K.P.H. (Kanjeng Pangeran Haryo) Gondo Kusumo, Ketua Hudyana, Yogya, 19871989. Maka, dalam pertemuan-pertemuan itu dibicarakan pula bantuan dana pendidikan untuk anggota yang kurang mampu,juga tentang kebutuhan pekerjaan. "Kalau ada anggota yang tidak sekolah, bukan dia saja yang malu. Kita sebagai keluarga besar juga merasa malu," kata Gondo. Hudyana tak memiliki unit usaha. Pembiayaan kegiatan secara patungan, donatir tetap, atau sponsor. "Syukurlah, usaha membantu keluarga yang kesusahan selalu bisa dilakukan," ujar Gondokusumo. Barangkali, karena harus mengurut garis keturunan yang panjang, trah Sunan Pakubuwono XII tak "sekental" trah Mangkunagaran atau Pakualaman. Trah Narpowandowo, yang dibangun oleh PB X untuk menampung keturunan sunan-sunan Mataram, tak pernah lagi terdengar kabarnya sejak tahun 1950. Namun, kehidupan trahtrah masih berlangsung dalam bentuk unit-unit yang lebih kecil. Garis panjang Sunan Pakubuwono dipilah-pilah menjadi trah PB III, PB V, PB VIII di samping trah-trah pangeran. Peristiwa serupa terjadi pula di Keraton Yogyakarta. Trah Hamengku Buwono I kendatipun masih berdiri, aktivitas kekerabatannya berlangsung lebih intens pada unit-unit lebih kecil. Tak ada suara keberatan dari keraton mengenai gejala ini. Untuk melengkapi diri sebagai anggota trah yang berafiliasi pada keraton, sebuah "sertifikat" darah biru menjadi penting. Tepas Darah Dalem, yang berada di lingkungan Keraton Yogya, kini sering dikunjungi orang. Kantor "urusan darah biru" Keraton Yogya itu selama 1987 melayani 1.362 permohonan. Serat kakanangan itu juga dikeluarkan oleh Keraton Surakarta. Surat keterangan sebagai keturunan Pakubuwono tersebut bisa diurus di Kantor Pangageng Putra Sentono Dalem. Biaya untuk memperoleh "SK" Raden, Raden Ayu, atau sejenisnya juga murah. "Tak lebih dari Rp 1.000,00," kata K.R.M.H. (Kanjeng Raden Mas Haryo) Dariyononagoro, seorang pegawai Kasunanan. Pemegang serat kakancngan dari Kasunanan Solo ini, menurut Dariyononagoro, sampai sekarang telah mencaai 10.000 orang. Serat kakanangan, atau surat-surat sejenisnya, sebetulnya bukan persyaratan mutlak yang harus dimiliki anggota trah ningrat itu. Apalagi gelar. Ikatan trah, pada kelompok ningrat sekalipun, terkait pada hubungan perkawinan dan garis keturunan. Seorang pemuda nonbangsawan yang menikah dengan gadis darah biru berhak masuk trah dari garis istri. Namun, pemuda itu tak berhak meminta serat kakancingan. Muncul dan berkembangnya trah-trah priayi atau ningrat di zaman Orde Baru ini gejala sosial yang menarik. Membentuk trah dalam istilah Jawa, sering dikatakan mengumpulkan balung pisah (tulang yang berserakan). Penghimpunan kerabat sedarah ini, menurut Sjafri Sairin, "Merupakan kebutuhan psikologis." Bahwa setelah zaman republik trah-trah priayi dan ningrat kian berkibar, itu ada hubungannya dengan pamor istana. Setelah RI lahir, istana Jawa tak lagi berfungsi sebagai pusat pemerintahan, "Lalu mereka ingin menunjukkan bahwa mereka juga bekas penguasa di Republik ini," ujarnya. Namun, Sjafri tak melihat bahwa trah-trah itu sebagai gejala hidupnya kembali feodalisme. "Hanya berbau feodalistis," ujarnya. Kendati begitu, trah-trah yang ningrat atau bukan -- bisa jadi merugikan kepentingan umum jika dibawa-bawa sampai ke kantor, misalnya. Untuk menerima pegawai baru, umpamanya, diambil daritrahnya sendri. "Kalau di swasta mungkin tak jadi soal," tambah Sjafri. Pihak Keraton Yogya sendiri mengaku tak hendak menghidupkan kelembagaan feodal di kalangan sentono dalem-nya. Keraton Yogya, menurut Gusti Pangeran Purboyo, adik Sri Sultan Hamengku Buwono IX, tak lelh dari semacam induk dari sebuah -- keluarga besar, dengan pelbagai kegiatan sosial untuk melestarikan nilai,nilai budaya yang masih relevan. "Mau dikatakan sebagai pusat kebudayaan atau pariwisata, itu terserah masyarakat. Kami tak punya keinginan macam-macam," ujarnya. Putut Tri Husodo (Jakarta), I Made Suarjana, Rustam F. Mandayun dan Kastoyo Ramelan (Yogyakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus