RUANGAN Bali, Hotel Indonesia, Jakarta, yang berkapasitas 550 orang, malam itu terisi penuh. Padahal, harga tiket untuk duduk di barisan depan Rp 1 juta per meja. Meja paling belakang saja -- dan ini yang paling murah -- harganya Rp 100.000,00. Harap diketahui, pengunjung membayar tiket semahal itu bukan untuk menonton penyanyi hitam dari Amerika, Tina Turner, atau bintang lain yang datang dari mancanegara. Tontonan malam itu adalah sebuah pertunjukan kesenian tradisional Jawa serta peragaan busana keraton. Suasana kian bersemarak dengan hadirnya Menteri Kesehatan Suwardjono Surjaningrat, Menteri Sosial Nani Soedarsono, pengusaha terkemuka Sudwikatmono, dan. banyak tokoh atau pengusaha lainnya yang masih merupakan kerabat keraton. Malam amal ini diadakan oleh Perkumpulan Trah Pakualaman Hudyana Jakarta, 5 November 1987, dalam rangkaian memperingati ulang tahun ke-80, G.K.P.A.A. Paku Alam VIII. Hari lahir penguasa Keraton Pakualaman Yogyakarta itu tepatnya jatuh pada 22 November tahun lalu, dan disebut peringatan hari ulang tahun tumbuk ageng (sepuluh windu). "Bukan monarkinya yang kami peringati, melainkan peranan positif-aktif beliau-beliau pada waktu perjuangan fisik kemerdekaan dari penjajahan. Jiwa perjuangan inilah yang perlu diwariskan kepada generasi penerus," kata ketua panitia, Nicklany Soedardjo, bekas Dirjen Imigrasi itu. Nilai-nilai kejuangan seperti itu pulalah yang disinggung Menko Polkam Surono ketika berceramah di Keraton Kasunanan Surkarta di Solo, Sabtu dua pekan yang lalu. Ketua Umum Dewan Harian Nasional Angkatan 45 itu memang tak menyebut peranan Sri Paku Buwana XII dalam perjuangan fisik kemerdekaan. Tapi dikatakannya, warisan nilai-nilai leluhur sampai saat ini masih relevan untuk dilaksanakan. Sejarah menunjukkan bahwa bangsa kita mempunyai tradisi berjuang. Karena itu, katanya, "Adalah seiring apabila pelaksanaan nilai-nilai 45 dikaitkan dengan ajaran Paku Buwana." Ajaran Paku Buwana yang mana? Surono, yang masih terhitung kerabat keraton itu, menyebut Paku Buwana VI yang begitu gigih melawan Belanda bersama Pangeran Diponegoro, di awal abad ke-19. Semua itu adalah kisah masa lalu. Tapi sulit dibantah, setelah sekian lama, bekas-bekasnya tetap bertahan. Bahkan dalam dua dasawarsa belakangan, kehadiran keraton seakan lebih terasakan. Penuh-sesaknya pengunjung di Bali Room tadi, sekalipun harga tiket cukup mahal, bisa menjadi petunjuk. Apalagi bila diingat perhelatan berlangsung di Jakarta, bukan di Solo atau Yogyakarta, yang dikenal sebagai pusat keraton Jawa. Besarnya perhatian pada pengukuhan G.P.H. Sudjiwo Kusumo menjadi Mangkoenagoro di Solo bisa menjadi petunjuk yang lain. Setiap tahun, pada awal bulan Suro menurut penanggalan Jawa, suasana akan terasa lebih ramai. Ketika itu, benda-benda pusaka keraton di Yogya dan Solo dikeluarkan untuk dicuci dalam upacara yang disebut jamasan. Ratusan ribu penduduk datang untuk mencari berkah. Air bekas pencucian kereta, misalnya, diperebutkan untuk diminum atau disebarkan di sawah 'kan di Solo," ujar Direktur Pusat Penelitian Kebudayaan Universitas Gadjah Mada itu. Upacara pembersihan senjata tajam sekarang ternyata tidak lagi monopoli keraton. Itu sudah memasyarakat. Koran Buana Minggu, misalnya, dalam lima tahun terakhir melakukan upacara jamasan di Jakarta tiap awal Suro. Nyatanya, tiap tahun jumlah benda pusaka yang dicuci bertambah saja, dan pemiliknya cukup beragam, tak cuma terbatas orang-orang tua. Ada kalangan intelektual, ada anak-anak muda. "Mahasiswa pun ada," kata Winoto Parartho, penanggung jawab Buana Minggu. Di antara mereka banyak pula orang bukan Jawa. Bulan Suro yang lalu, 1.700 barang pusaka masuk ke Buana Minggu, padahal tahun sebelumnya jumlah itu baru seribu lebih sedikit. Kolektor barang-barang pusaka memang tak terbatas pada para kerabat keraton, tapi juga orang kebanyakan. Dan tampaknya kecenderungan seperti itu kian meluas. Itu bisa dilihat di rumah tokoh batik terkemuka, Iwan Tirta, di kawasan Menteng, Jakarta. Selain keris, di situ bisa ditemukan berbagai barang antik yang layaknya ditemukan di keraton. Misalnya payung kebesaran, meja jati kuno, dan kursi-kursi dari zaman Paku Buwono X. Iwan mengaku sebagai pengagum budaya Jawa sejak dulu. "Kalau orang pada pergi ke bioskop, saya lebih senang nonton wayang kulit," katanya. Karena itu, sebagai kolektor barang antik, dia memilih yang Jawa daripada Eropa. Maka, sekalipun darahnya tak biru, sejak dulu Iwan mengaku dekat dengan kalangan keraton. Untuk jasanya menyelamatkan benda-benda keraton, enam tahun lalu, Mangkoenagoro VIII memberinya gelar Kanjeng Raden Haryo Hamijoyo (K.R.H.H.). "Saya tak memikirkan pangkat. Tapi cukup senang dengan gelar itu, karena merasa usaha saya mencintai barang kuno dihargai," kata Iwan. Dengan alasan yang tak selalu sama, tampaknya ada kecenderungan di sementara anggota masyarakat untuk melengkapi diri dengan berbagai gelar ningrat. Bagi orang yang merasa masih memiliki keturunan darah ningrat, keraton-keraton siap untuk mengeluarkan serat kakanangan, semacam sertifikat yang menyatakan seseorang mempunyai trah atau masih keturunan bangsawan. Di Keraton Yogyakarta Hadiningrat, lembaga yang mengurusi surat silsilah itu namanya Tepas Darah Dalem. Surat itu menerangkan garis keturunan dari salah satu raja Jawa, Mataram, Majapahit, Demak, atau Pajang. Si pemohon harus membawa akta kelahiran, surat silsilah keluarga, dan dua orang saksi yang bersedia angkat sumpah. Saksi itu harus sudah mempunyai serat kakanangan dan masih bertalian darah dengan pemohon. Selain itu, pemohon dikutip semacam biaya administrasi yang jumlahnya diserahkan pada pemohon. Ada yang memberi cuma Rp 3.500,00 tapi ada juga di atas Rp 10.000,00. Setelah beres, pemohon akan menyandang gelar Raden Mas, Raden Ajeng, Raden Ayu, Raden Roro, atau Raden Nganten, dan yang paling banyak Raden. Sebetulnya, tak tertutup kemungkinan pemohon itu hanya mengaku-aku berdarah ningrat. Tapi sejauh yang diketahui, menurut K.P.H. Danuhadiningrat, kepala Tepas Darah Dalem, belum pernah terjadi pemalsuan seperti itu. Sepanjang tahun lalu, kantor itu mencatat ada 1.362 permohonan yang masuk dari bermacam lapisan masyarakat. Bandingkan saja data di atas dengan jumlah pemohon tahun sebelumnya, 1.328, dan 1.217 (1985). Belum lagi gelar-gelar yang diberikan keraton pada orang kebanyakan yang berjasa pada keraton. Hanya Keraton Yogyakarta yang tak memberikan gelarnya kepada pihak luar. Gelar hanya diberikan kepada pegawai Pemda DI Yogyakarta dengan golongan III A ke atas dan mengajukan permohonan kepada Sri Sultan. Mangkunagaran, misalnya, memberikan gelar Kanjeng Raden Haryo kepada Dirjen Pariwisata Joop Ave. Gelar yang sama diberikan keraton itu kepada Ketua Umum Kadin, Skamdani S. Gitosardjono. Juli tahun lalu, Mangkoenigoro memberikan gelar Kanjeng Raden Tumenggung (K.R.T.) untuk Bupati Wonogiri, Oemarsono, dan Bupati Karanganyar, Hartono. Kedua kabupaten itu dulu termasuk wilayah Mangkunagaran. Kasunanan Surakarta juga melakukan hal yang sama. Malah, tiga tahun yang lalu, Paku Buwana XII memberikan gelar K.R.T. untuk seorang pengusaha asal Batak, Tarnama Sinambela. Konon, pengusaha kontraktor itu banyak menyumbang dana pembangunan Keraton Solo yang terbakar. Tejadinya upaya mencari gelar itu tentu suatu gejala yang menarik. Tapi menurut Umar Kayam akan lebih menarik bila frekuensinya kian menaik terutama untuk kasus seperti Tarnama Sinambela itu. Sebab masih bisa dimengerti kalau yang mengejar gelar berasal dari suku-suku yang mengenal sistem kerajaan seperti Jawa, Sunda, Bali, Bugis, atau Aceh. Tapi bila yang mencari gelar itu berasal dari Batak atau Minangkabau yang dianggap selama ini lebih egaliter, apakah yang sedang terjadi? Inikah pertanda feodalisme kembali punya kuku? "Saya kok tidak yakin," ujar Umar Kayam. Yang terjadi justru kian terbukanya keraton untuk menerima orang-orang nonbangsawan. Dulu sulit dibayangkan seorang anak K.R.T. atau G.P.H. kawin dengan putri, pedagang. "Sekarang itu makin banyak saja terjadi," ujarnya. Terutama perkawinan putri keraton dengan pejabat atau anak pejabat. Dari Keraton Solo, G.R.Ay. Kus Supiyah menikah dengan Silvanus, dulu Gubernur Kalimantan Tengah. G.R.Ay. Kus Sabandiyah menjadi istri Sony Soedarsono, putra Mensos Nani Soedarsono, dan G.R.Ay. Kus Kristiyah dinikahi Djoko Moersito, putra Soedjono Humardhani (almarhum). Ada yang menyebut perkawinan itu sebagai aliansi. Tapi Karkono Partokusumo (Kamajaya), pimpinan-Lembaga Javanologi Panunggalan Yogyakarta, menyebutnya sesuatu yang kodrati dan alami. "Mereka mempertimbangkan bibit, bobot, bebet," katanya. Tapi untuk apa orang-orang mengejar gelar-gelar itu? Umar Kayam menduga, mereka adalah yang telah sukses mengejar gelar akademis, atau bisnisnya maju, lalu merasa gelar itu sebagai pelengkap kemewahan dan kesempurnaan. Dugaan itu kelihatannya didukung oleh data di kantor Tepas Darah Dalem Keraton Yogyakarta. Kebanyakan pemohon serat kakancingan, ternyata pejabat daerah atau pusat, kepala kantor atau kepala bagian. Bahkan menurut Danuhadiningrat, lebih 50% di antaranya sudah bergelar sarjana muda atau sarjana. "Para petani, yang sebelumnya tak minta, kemudian minta gelar setelah anaknya jadi sarjana," katanya. Sejumlah kerabat keraton menduduki kedudukan politis. G.P.H. Probokusumo, putra Paku Alam VIII, duduk di DPR, begitu pula K.G.P.H Mangkubumi, putra sulung Sri Sultan, juga anggota DPR selain Ketua DPD Golkar Yogyakarta. Besarnya perhatian itu kelihatan ketika Keraton Solo hangus dimakan api, 31 Januari 1985. Tak sampai tiga tahun, di atas puing-puing itu sudah berdiri keraton baru dengan anggunnya. Istana seluas 5.500 m2 itu menghabiskan biaya sekitar Rp 3,7 milyar. Semua itu bisa terjadi berkat perhatian yang besar dari Presiden Soeharto. Adalah Pak Harto pribadi yang menunjuk panitia untuk membangun kembali keraton itu. Mereka terdiri atas 13 pejabat penting dan pengusaha. Tapi perhatian besar itu sama sekali tak dimaksudkan sebagai upaya mengembalikan feodalisme. "Keraton merupakan peninggalan sejarah dan budaya bangsa yang perlu dilestarikan," kata Menko Polkam Surono, ketua panitia, pada upacara syukuran selesainya pembangunan keraton, Desember lalu. Memang ada kesan yang kuat bahwa sebagai pusat budaya keraton sudah runtuh. Tapi Karkono membantahnya. Kesan itu muncul karena keraton lemah dari segi keuangan untuk membiayai berbagai upacara budaya dan seni klasik yang dulu menjadi monopolinya. Undang-undang nomor 16/SD yang dikeluarkan Pemerintah setahun setelah kemerdekaan memang mengakibatkan keraton-keraton di Solo mati angin. Hak swapraja Keraton Solo dan Mangkunagaran dicabut dan bekas wilayah kekuasaannya dijadikan keresidenan, masuk dalam Provinsi Jawa Tengah. Mangkunagaran, sebetulnya, sebelumnya cukup makmur. Punya pabrik gula, perkebunan kopi, karet, dan beberapa unit usaha lainnya. Tapi sebagai ekor undang-undang tadi semua perusahaan itu akhirnya diambil alih Pemerintah. Tentu saja keraton jadi berdebu, kurang terurus. "Seni adalah aspek kebudayaan yang membutuhkan biaya mahal," kata Profesor Soedarsono, ahli kebudayaan Jawa. Sementara keraton-keraton di Solo bernapas Senin-Kamis, di luarnya berkembang berbagai pusat pengembangan budaya dan kesenian dan dengan segera menggeser peranan keraton. Meskipun sebetulnya, menurut guru besar Fakultas Sastra UGM itu, budaya keraton masih tetap bisa diandalkan sebagai sumber budaya, karena berbagai upacara yang masih dimilikinya. "Sebagai orang Timur, kita selalu ingin punya kelebihan rohaniah, antara lain dengan upacara-upacara itu," katanya. Tentu saja sikap seperti itu karena dari konsep tradisional yang menganggap keraton sebagai pusat yang sakral (lihat wawancara dengan Prof.Dr. Sartono Kartodirdjo). Di Keraton Solo, misalnya, Bedoyo Ketawang tetap dipelihara sebagai tarian dalamupacara-upacara istana. Buku dan naskah kuno yang tersimpan di perpustakaan keraton masih tetap menjadi petunjuk bukan saja untuk menciptakan seni tari dan karawitan, tapi juga untuk membuat keris atau pakaian Jawa. Tradisi keraton rupanya masih tetap laku. Paling tidak bila dihubungkan dengan apa yang dipersoalkan G.P.H. Probokusumo, "Coba saja tengok, mengapa anak-anak muda, yang seharusnya suka musik dan segala macamnya, datang ke pemakaman Imogiri dan tempat lainnya? Tentu yang mereka cari nilai-nilai spiritual. Kini nasib keraton -- terutama empat keraton di Yogya dan Solo -- jelas lebih cerah, meski fungsinya lebih sebagai pusat budaya. Untuk melestarikan pusat budaya itu, Pemerintah memberi santunan. Memang dana terbesar tetap datang dari berbagai bisnis yang dikembangkan para penguasa keraton. Keraton Yogyakarta mengandalkan Sri Sultan sebagai penombok biaya istana, selain penghasilan dari turis. Maklumlah keraton ini terkenal paling banyak dikunjungi wisatawan. Biaya Keraton Pakualaman dilakukan dengan cara yang sama. Apalagi dari 15 orang anak Paku Alam VIII, 13 menjadi pengusaha. "Biayanya juga tak besar. Upacara paling dua kali setahun," ujar G.P.H. Probokusumo, salah seorang putra. Agak lain, di Keraton Solo. Menurut sebuah sumber, ada yang disebut asok bulu bekti, sistem iuran dari simpatisan keraton. Selain itu, berbagai bisnis yang dijalankan keluarga keraton. Kus Handariyah, salah seorang putri Paku Buwana XII, memiliki pabrik obat. Bisnis di kalangan Mangkunagaran tampaknya lebih besar. Keluarga ini memiliki Hotel Mangkunagaran di Solo. Ada lagi PT Astrini, yang selain menjadi penyalur 400 ton gula per bulan dari Bulog di Surakarta juga memiliki konsesi kayu dan rotan seluas 20.000 ha di Bengalun, Kalimantan Timur. Rotan itu diekspor ke Taiwan. Sekarang Mangkoenagoro yang baru sedang membuat program baru. "Kami akan memasarkan kesenian Mangkunagaran lewat hotel ini," ujar R.T. Martonagoro, Sekretaris Mangkunagaran. Istana-istana di Yogya dan Solo, tampaknya, siap memasuki babak baru. Amran Nasution, Bunga Surawijaya, Linda Djalil (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini