Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kol petthok lebat sapolo, pas leddhuk, engak lendhu (pukul tujuh lewat sepuluh ada ledakan, seperti gempa bumi)," kata Ruba'i kepada Tempo dengan bahasa Madura, Selasa pekan lalu. Bagi warga Gang Malabar, Kelurahan Kuta Kulon, Bondowoso, ledakan itu seperti bom waktu.
Agus Suryadi dan Made Sumardi pemicu "bom waktu" itu. Kakak-adik ini dikenal sebagai pembuat petasan sejak belasan tahun lalu. Berkali-kali tetangga mengingatkan mereka agar menutup usaha ilegal itu, tapi tak diindahkan. "Kami jadi sungkan sendiri. Mau lapor (ke polisi) gimana, Pak Agus juga aparat. Enggak lapor juga khawatir. Orang kecil seperti kami kan serba salah," kata Muzakki, ketua RT di Gang Malabar itu.
Getaran dari ledakan yang mengguncang pagi di Bondowoso itu terasa hingga 100 meter dan dentumannya terdengar sampai 3 kilometer. Tujuh rumah rata dengan tanah dan sedikitnya 100 bangunan lain rusak. Agus, 45 tahun, dan anak tetangganya, Mutiara R. Josefina alias Tara, 13 tahun, meninggal akibat tertimbun reruntuhan rumah.
Sebenarnya aktivitas mereka sebagai pembuat mercon sudah diketahui bahkan oleh polisi. Menurut Runarjo, ayah Tara, pada 2002 Made Sumardi pernah ditahan polisi empat bulan karena kasus pembuatan dan penjualan mercon. "Belakangan, dua-tiga tahun terakhir, Pak Agus ikut-ikutan bikin," katanya.
Runarjo, yang rumahnya hanya terpisah tembok dengan kediaman Agus, mengaku pernah menegur tetangganya agar berhenti membuat petasan. "Omongan saya hanya dijawab: 'Tenang saja, tidak apa-apa'," katanya.
Gurihnya bisnis mercon membuat Agus, yang bertugas di Koramil Curahdami, merambah ke pembuatan bondet alias bom ikan untuk nelayan. Sumber Tempo menuturkan pelanggannya adalah nelayan di kawasan pesisir Situbondo, Muncar (Banyuwangi), dan Puger (Jember).
"Saya tahu pertama dari Sumardi. Dia yang pertama (menawarkan) ke sini," kata sumber Tempo. Setelah bertemu dengan Agus, ia pun jadi pelanggan. "Saya dan teman-teman berani langganan sama dia karena tentara," ujarnya. Menurut para pelanggan, harga satu kilogram bondet sekitar Rp 300 ribu. Biasanya seorang nelayan membutuhkan satu kuintal per bulan.
Made Sumardi berkali-kali mengaku tidak tahu kakaknya berbisnis bondet ataupun mercon. "Saya sudah lama berhenti," katanya ketika diperiksa penyidik Polres. Tatkala ledakan itu terjadi, dia berdalih sedang ke pasar mengantarkan ibunya.
Beberapa anggota kepolisian Bondowoso pun mengakui keberadaan pabrik mercon di Gang Malabar itu sudah menjadi rahasia umum. Namun polisi memilih mendiamkan saja. "Ya, ngerti sendirilah. Kadang polisi tak mau repot berurusan sama ambon demak (sebutan polisi kepada tentara)," kata seorang polisi yang tak mau disebutkan namanya.
Kepala Kepolisian Resor Bondowoso Ajun Komisaris Besar Sabilul Alief membantah tudingan bahwa polisi sengaja tutup mata terhadap pabrik mercon itu. "Kami masih menyelidiki. Ini kasus lama," ujar Sabilul, yang baru sebulan ini bertugas di Bondowoso. Polisi baru menetapkan Agus, yang sudah meninggal, sebagai tersangka. "Kami tak mau tergesa-gesa menyimpulkan, apalagi menetapkan tersangka baru," katanya.
Letnan Kolonel Infanteri Zulkarnaen Dwi Peristianto, Komandan Distrik Militer 0822 Bondowoso, menolak berkomentar tentang pekerjaan sampingan anak buahnya itu. "Ya, masak saya mau mengurusi persoalan privasi seseorang," ujarnya.
Agus Supriyanto, Mahbub Djunaidy
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo