Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Dolly Menghitung Hari

Pemerintah Jawa Timur menargetkan lokalisasi Dolly ditutup paling lambat pada awal 2014. Masih menunggu dana tambahan pemulangan pekerja seks dan muncikari Rp 10 miliar dari pemerintah pusat.

7 Oktober 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Suara musik dangdut koplo berdentam-dentam di sepanjang Jalan Dukuh Kupang Timur VI, Kelurahan Putat Jaya, Kecamatan Sawahan, Surabaya. Musik yang mengajak hadirin berjoget. Suara nyanyian dan celetukan bersahutan dari satu rumah ke rumah lain dan terdengar riuh di gang selebar tiga meter itu. Demikianlah suasana Gang Dolly, lokalisasi yang dipenuhi jajaran rumah bordil—disebut wisma—sepanjang sekitar 500 meter.

Mata pengguna jalan disuguhi pemandangan aduhai. Bak etalase pertokoan, saban malam wisma-wisma itu memajang perempuan-perempuan berbusana seksi. Mereka adalah pekerja seks. "Ayo, Mas, murah saja. Cuma Rp 100 ribu per jam," kata seorang makelar menawari Tempo, Selasa dua pekan lalu.

Semakin larut, Dolly semakin meriah. Sebanyak 52 wisma dan 1.025 pekerja seks—angka yang disodorkan Lurah Putat Jaya, Bambang Hartono, yang membawahkan Dolly—bersaing menggaet pelanggan. Saban malam, ratusan calon pembeli layanan syahwat berseliweran sembari melihat-lihat perempuan di etalase. Jika ada yang cocok, tentu saja, bisa langsung ngamar.

Kemeriahan Dolly yang mengalahkan pasar malam itu bakal segera berakhir. Mereka tinggal menghitung hari. Pemerintah Kota Surabaya, juga pemerintah Jawa Timur, akan menutup Dolly paling lambat pada awal 2014.

"Sebenarnya kami siap menutup tahun ini," kata Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini di Gedung Grahadi Surabaya, Rabu pekan lalu. Namun penutupan belum bisa dilakukan karena masih menunggu tambahan dana dari pemerintah pusat untuk memulangkan pelacur dan muncikari Dolly. Tambahan yang diajukan ke Kementerian Sosial sebesar Rp 10 miliar. Selama ini pro dan kontra penutupan Dolly masih bergulir. "Memang ada yang menentang, tapi saya jalan terus. Saya enggak takut," kata Risma.

Sebelum ini, Risma telah menutup lokalisasi Dupak Bangunsari, Tambakasri, dan Klakah Rejo, Surabaya. Selain ­membekali keterampilan kepada pelacur dan muncikari sebelum ditutup, Pemerintah Kota Surabaya memberikan bantuan Rp 5 juta untuk muncikari dan Rp 4 juta untuk pelacur sebagai modal menjalani hidup dengan profesi baru.

Ketegasan Risma bukan tanpa alasan. Gubernur Jawa Timur Soekarwo memberi dukungan penuh. Pakde Karwo—begitu biasanya Soekarwo dipanggil—berkomitmen menutup semua lokalisasi di Jawa Timur sejak dilantik sebagai gubernur periode pertama, Februari 2009. "Ada proses panjang tanpa kekerasan," ujar Soekarwo, yang terpilih kembali pada 29 Agustus lalu, kepada Tempo, akhir September lalu.

1 1 1

Lokalisasi Dolly beroperasi sejak zaman kolonial Belanda. Pendirinya adalah Dolly van der Mart, wanita keturunan Belanda. Awalnya, Dolly menyediakan perempuan hanya untuk memenuhi hajat seks tentara kolonial. Namun, dalam perkembangannya, lokalisasi ini tak hanya menerima tentara Belanda, tapi terbuka untuk umum. Ada yang menyebut lokalisasi Dolly terbesar di Asia Tenggara, mengalahkan Patpong di Bangkok dan Geylang di Singapura.

Di Dolly, seorang pekerja seks bisa melayani hingga 10 tamu dengan tarif Rp 100-200 ribu per jam. Pendapatan itu dibagi dengan pemilik usaha, yang biasanya merangkap sebagai muncikari atau germo. Bagi hasil antara germo dan pekerja seks sebesar 60 : 40.

Dengan sistem bagi hasil seperti itu, Ririn, salah satu pekerja seks di Dolly, mengaku pernah mengantongi Rp 11 juta sebulan. Saban bulan ia mengirim Rp 3 juta untuk anaknya di kampung di Malang. Sisanya dia gunakan untuk biaya hidup. Menurut Ririn, penghasilan pekerja seks tidak tentu, bergantung pada jumlah tamu yang dilayani. "Kalau setiap hari melayani 10 tamu, bisa Rp 12 juta sebulan."

Jika seorang pekerja seks bisa melayani 10 tamu dengan tarif minimal Rp 100 ribu, duit yang berputar dalam sehari di Dolly niscaya sangat besar. Belum lagi duit yang beredar di kalangan pedagang kaki lima, warung kopi, penjual obat kuat, jasa binatu, salon, dan toko pakaian di seputar Dolly. Totalnya bisa mencapai Rp 1 miliar per hari.

Nining, 48 tahun, pemilik warung kopi, mengaku mendapat penghasilan Rp 200 ribu per hari. Yanto, penjual sate ayam, mengantongi Rp 400-600 ribu per hari. Pada akhir pekan, ia bisa meraih untung hingga Rp 900 ribu. Adapun Nita, pemilik toko baju di Jalan Jarak, tak jauh dari Dolly, omzetnya Rp 25-30 juta per bulan. "Lumayan, mereka (pekerja seks) beli tunai," katanya.

Hasil perputaran duit dari bisnis esek-esek di Dolly tak cuma dinikmati para pekerja seks dan semua orang yang terlibat di rumah bordil. "Dolly sumber penghasilan bagi semua warga di sekitarnya," ujar Muchammad Mudji, Ketua RT 5/RW7 Kelurahan Putat Jaya. Lurah Putat Jaya, Bambang Hartono, menambahkan, "Hampir 70 persen pekerjaan penduduk di kawasan itu berasal dari bisnis prostitusi."

Dari iuran para germo, duit juga mengalir untuk membiayai berbagai keperluan RT, RW, karang taruna, dan perayaan hari-hari besar nasional. Sebuah balai RT yang dibangun pada 2009 dengan dana puluhan juta rupiah sumbernya dari para pemilik rumah bordil. Tanah dan bangunan balai RW 7 Putat Jaya sami mawon. "Jumlah sumbangannya banyak," ujar Ketua RW 7 Ngadiman.

Merasa banyak diuntungkan, tak aneh jika mereka menentang penutupan Dolly. "Kalau warga, semua menolak," kata Nining. Lurah Bambang Hartono khawatir, jika Dolly ditutup, "Putat Jaya akan menjadi kampung mati."

Selain penolakan, ada yang ragu terhadap rencana penutupan itu. Menurut Suheri, pengelola Wisma Ratu Kembar, Dolly, isu seperti itu berulang terus saban tahun. Toh, kata dia, "Hingga sekarang Dolly masih bertahan."

Endri Kurniawati, Agita S. Listyanti, Arief R. Hidayat, Diananta P. Sumedi, David Priyasidharta


Kiprah Pasukan Dai Lokalisasi

Tantangan itu datang tak lama setelah pasangan Soekarwo dan Saifullah Yusuf dilantik sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Timur pada 12 Februari 2009. Sejumlah anggota Majelis Ulama Indonesia Jawa Timur mendatangi Soekarwo dan mendesak agar menghapus citra Jawa Timur sebagai pusat prostitusi terbesar di Asia Tenggara.

"Bagaimana sampean mau mewujudkan Jawa Timur berakhlak kalau masih punya lokalisasi terbesar? Apa sampean enggak takut kalau di akhirat nanti ditanya?" kata Sekretaris MUI Jawa Timur Mochammad Yunus kepada Tempo, Rabu dua pekan lalu, mengungkapkan kembali permohonannya kepada Soekarwo.

Tantangan itu dijawab Soekarwo. Pada 2010, ia membuat kesepakatan dengan MUI dan 27 organisasi kemasyarakatan Islam lainnya untuk menutup semua lokalisasi di Jawa Timur. Untuk mewujudkan hal itu, Soekarwo tak mau menempuh cara gampang: menggusur. "Menggusur sekadar memindahkan masalah," ujarnya, akhir Agustus lalu, mengenang pertemuannya dengan para ulama itu. "Harus diajak bicara, tidak asal diusir dan dibakar."

Titik temu didapat, maka proyek besar untuk mendekati dan membina warga lokalisasi dimulai. MUI bertugas menyiapkan mental para pekerja seks agar siap mentas. Lalu, pada 2011, dibentuk­lah Ikatan Dai Area Lokalisasi (Idial) sebagai lembaga otonom di bawah MUI Jawa Timur. Anggotanya ratusan orang dan tersebar di semua kota/kabupaten. Di Surabaya, jumlah dai Idial ada 57 orang. Mereka dilatih mahir berbicara di depan umum, retorika, manajemen dakwah, dan sebagainya. Dengan bekal itu, Idial diharapkan bisa menumbuhkan semangat agar orang-orang yang dibina bisa diyakinkan bahwa prostitusi bukan profesi.

Pelan tapi pasti, pendekatan manusiawi para dai itu mendapat respons positif penghuni lokalisasi. Tidak sedikit yang terharu ketika kembali ­diajari salat atau membaca Quran. Sejauh ini Idial berperan dalam penutupan dua lokalisasi di Tulungagung, tujuh di Banyuwangi, dan dua di Surabaya. Warung-warung pangkon—kedai kopi yang ditambah dengan bisnis pelacuran—di sepanjang Gresik, Lamongan, dan Tuban ditutup. Bahkan tiga bekas lokalisasi di Blitar diwakafkan untuk masjid dan lembaga pendidikan. Idial akan terus mendukung penutupan lokalisasi yang dicanangkan Soekarwo, yang terpilih lagi menjadi gubernur tahun ini.

"Punya modal insaf, itu harus," kata Ani, 65 tahun, bekas muncikari lokalisasi Tambak Asri, Surabaya, yang kini sudah ditutup. Ia mengaku tiap Jumat warga lokalisasi dikumpulkan di balai RW untuk mendengarkan pengajian.

Agus Supriyanto, Agita Sukma Listyanti

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus