Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Bukan sarjana tapi laris

Pendidikan tinggi tekstil di indonesia belum diakui sebagai disiplin ilmu. padahal pendidikan ini diperlukan untuk menunjang boom industri tekstil, lulusannya menjadi rebutan dan banyak dicari.

26 Oktober 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan tinggi tekstil belum diakui sebagai disiplin ilmu. Perjuangan panjang untuk mendapat pengakuan. Lulusannya menjadi rebutan. TEKSTIL Indonesia sudah kondang di mancanegara. Sampai-sampai dalam film bikinan Hollywood pun, Silence of the Lamb yang juga laris di sini, tulisan Made in Indonesia ikut terpampang di pakaian salah satu pemainnya. Bicara ekspor, tahun lalu tekstil dan garmen bisa menangguk devisa 2,9 milyar dolar. Ini nomor dua terbesar setelah minyak dan gas, dan sudah menggeser posisi kayu lapis yang sebelumnya menjadi primadona. Namun, cerita sukses seperti ini tidaklah terjadi di dunia pendidikan tinggi tekstil Indonesia. "Pendidikan tinggi tekstil masih dianggap pendidikan kejuruan biasa saja, seperti STM atau SMEA," kata Ir. Gumbolo M.Sc., Ketua Jurusan Teknologi Manajemen dan Industri di Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27/1971 tentang penataan fakultas, memang tak disebut-sebut soal ilmu tekstil. Maka, keberadaan perguruan tinggi tekstil cuma dianggap sebagai penyedia tenaga profesional yang cukup dihargai dengan diploma, bukan gelar sarjana. Mereka cuma diarahkan untuk memenuhi kebutuhan industri tekstil, bukan peneliti yang mendalami segi keilmuannya. Soal inilah yang digugat Gumbolo dan rekan-rekannya dari sembilan perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan tekstil di Indonesia. Dua pekan lalu mereka berkumpul di Yogya, salah satu tujuannya adalah untuk bicara soal ini. Kesembilan perguruan tinggi itu tergabung dalan "Konsorsium Silabus Kurikulum Pendidikan Tekstil Indonesia", yang terus berusaha mendapat pengakuan. Salah satu upaya itu sudah dilakukan dengan menyempurnakan kurikulum lama hasil rumusan tahun 1989. Namun, toh kerja keras ini terasa mengambang. Pengakuan yang dinanti-nanti tak kunjung tiba. Konsorsium Teknologi Indonesia (KTI) di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan yang bertanggung jawab dalam soal ini ternyata masih ragu, apakah pendidikan pertekstilan ini bisa menjadi satu disiplin ilmu tersendiri atau tidak. "Belum ada kesepakatan di kalangan akademisi untuk menjadikan pendidikan pertekstilan sebagai suatu ilmu," tutur Prof Dr. Ir. Kudrat Soemintapoera, ketua KTI. Tak adanya pengakuan ini membuat jalan pendidikan tinggi pertekstilan terasa tersendat. Bahkan, 1989 lalu, Institut Teknologi Tekstil (ITT) di Bandung harus dibubarkan. Lembaga milik Departemen Perindustrian ini adalah penghasil sarjana tekstil dan menekankan pendidikan pada teori. Ketika itu alasan resminya adalah, pendidikan di bawah Departemen Perindustrian hanya boleh menghasilkan program diploma, bukan sarjana. Kalau memang cuma itu soalnya, gampang diatasi. ITT bisa saja dipindahkan pengelolaannya ke Departemen P & K. Namun, ya itu tadi, pendidikan tekstil dianggap terlalu kecil untuk menjadi ilmu tersendiri. Departemen P & K tak bersedia mengelola. Akhirnya ITT dibubarkan. Maka, sampai sekarang pendidikan tinggi tekstil terpaksa main "akal-akalan" untuk bisa tetap hidup. Sekolah Tinggi Teknologi Tekstil (STTT) di Bandung, yang juga milik Departemen Perindustrian, secara tak langsung mereka jadikan induk, sekalipun untuk itu ada kesan "janggal". Misalkan saja dalam soal ujian negara untuk universitas swasta. Sebagai contoh, Program Studi Teknologi Tekstil di UII, yang setiap tahun menghasilkan sekitar 50 sarjana tekstil, harus melaksanakan ujian negaranya di STTT. Padahal, STTT sendiri tak punya pendidikan untuk sarjana, cuma menghasilkan program diploma. "Tak apa, soalnya yang menjadi induk bukan STTT sebagai lembaga, melainkan karena banyak individu yang dianggap pakar dalam bidang pertekstilan berkumpul di sana," kata Gumbolo. Persoalan tentu akan lebih serius jika para pakar itu semakin sepuh, sementara kaderisasi dari bawah tak ada. "Bagaimana bisa mengembangkan teknologi tekstil di Indonesia kalau pendidikan tinggi tekstil tidak menghasilkan ilmuwan?" kata Sunaryo, Pembantu Ketua I STTT. Menurut Sunaryo, pengakuan pada ilmu tekstil ini sudah mendesak. Lulusan sekolah tinggi tekstil, yang kebanyakan cuma memegang diploma, tak diarahkan untuk melakukan penelitian. "Jadi, kala mau maju, pendidikan keilmuannya harus ada. Merekalah yang melakukan penelitian dan pengembangan," tambah Sunaryo. Namun, sejauh ini para akademisi yang tergabung dalam KTI masih punya pandangan lain. Mereka tampaknya masih belum yakin betul bahwa ilmu tekstil bisa berdiri sendiri sebagai sebuah disiplin ilmu. "Sebagian masih menganggap pendidikan pertekstilan bisa digabung dengan salah satu jurusan yang sudah ada dan baku," kata Kudrat. Kudrat mengakui, pendidikan tekstil saat ini sangat diperlukan untuk menunjang boom industri tekstil belakangan ini di Indonesia. Namun, Kudrat tetap melihat soal ini berbeda dengan masalah akademis. Jadi, kalau sampai saat ini belum diakui, "Saya melihat ini hanya soal kehati-hatian agar nanti tak menjadi beban," katanya. Kenyataan memang berbicara begitu. Lulusan jurusan tekstil sangat laku keras di bursa tenaga kerja. UII, misalnya, tahun ini menerima permintaan dari berbagai industri agar memasok 70 lulusan baru. Padahal, tahun ini belum seorang pun yang berhasil lulus. Saat ini diperkirakan industri tekstil memerlukan sekitar 7.000 tenaga, sedangkan kemampuan suatu lembaga pendidikan tekstil hanya 50-an orang per tahun. Kekurangannya terpaksa diisi tenaga asing atau bajak-membajak. Itu sebabnya kebanyakan mahasiswa tekstil tak peduli ilmunya diakui atau tidak. "Yang penting, begitu lulus, bisa langsung bekerja sesuai dengan bidangnya," kata seorang mahasiswa. YH, R. Fadjri (Yogyakarta) & Ahmad Taufik (Bandung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus