Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Potensi Pelanggaran Hukum dalam Pelantikan Serentak Kepala Daerah

Pelantikan kepala daerah dengan skala besar dan serentak pada 20 Februari 2025 dinilai mengangkangi aturan. Apa yang dilanggar?

5 Februari 2025 | 09.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi kepala daerah. TEMPO/Budi Purwanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ringkasan Berita

  • Pemerintah dan DPR sepakat pelantikan kepala daerah disatukan termasuk bagi kepala daerah yang masih bersengkat di MK.

  • Menteri Dalam Negeri menyebutkan pelantikan kepala daerah dengan skala besar akan dilakukan pada 20 Februari 2025.

  • Ada potensi pelanggaran hukum dalam sejumlah aturan pelantikan kepala daerah.

PRAMONO Anung mulai bersiap berkantor di Balai Kota Jakarta. Gubernur Jakarta terpilih itu kemarin mendatangi Balai Kota dan ingin melihat ruangan yang akan menjadi kantornya setelah dilantik nanti. Setelah melihat ruangannya, Pramono Anung berbincang dengan penjabat Gubernur Jakarta, Teguh Setyabudi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mereka membahas berbagai masalah riil di Jakarta, pekerjaan sebagai gubernur, dan soal personalia. "Saya memang betul-betul ingin mendapat gambaran sebelum nanti insya Allah akan dilantik oleh Bapak Presiden menjadi Gubernur Jakarta," ujarnya pada Selasa, 4 Februari 2025.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pramono dan kepala daerah lain yang tidak bersengketa di Mahkamah Konstitusi rencananya dilantik oleh Presiden Prabowo Subianto pada Kamis Pon, 20 Februari 2025. Pelantikan juga akan dilakukan untuk kepala daerah hasil putusan dismissal MK. Sebelumnya pemerintah menjadwalkan pelantikan kepala daerah nonsengketa pada 6 Februari 2025.

Mundurnya pelantikan para kepala daerah terpilih itu disepakati dalam rapat antara pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat pada Senin, 3 Februari 2025. Keputusan menunda agenda pelantikan kepala daerah terpilih yang tidak bersengketa di MK tersebut diambil dengan mempertimbangkan dipercepatnya pembacaan sidang dismissal oleh MK dalam perkara perselisihan hasil pemilihan kepala daerah 2024.

Wakil Menteri Dalam Negeri Bima Arya Sugiarto menjelaskan pengunduran pelantikan kepala daerah tersebut. Seperti yang telah diterangkan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Bima mengatakan, penundaan tersebut berkaitan dengan adanya percepatan putusan dismissal yang dibacakan oleh MK pada 4-5 Februari 2025. “Pak Presiden sudah meminta, jika berdekatan dengan putusan dismissal, sebaiknya pelantikan dilakukan serentak,” kata Bima kepada Tempo, Selasa, 4 Februari 2025.

Tito dalam rapat dengan komisi bidang pemerintahan DPR menyebutkan terbuka peluang untuk dilakukan pelantikan dengan skala besar, yaitu menggabungkan jumlah daerah yang hasil pilkadanya tidak bersengketa dengan yang memiliki hasil putusan dismissal atau lanjut/tidaknya perkara sengketa pilkada di MK.  

Mantan Kepala Kepolisian RI itu hakulyakin, berdasarkan pengalaman pemerintah dengan persidangan dismissal, umumnya gugatan yang dinyatakan MK tak dapat dilanjutkan ke tahap berikutnya jika melebihi jumlah dari setengah total gugatan perkara yang diregistrasi.

Menurut Tito, banyaknya jumlah perkara gugatan yang dihentikan terjadi karena Mahkamah memiliki ambang batas sendiri dalam persidangan dismissal-nya. “Kalau tidak terdapat indikasi pelanggaran terstruktur dan masif, akan ditolak gugatannya sebelum sampai ke pembuktian,” ujar Tito.

Sementara itu, hasil putusan dismissal di Mahkamah Konstitusi dibacakan hingga Selasa malam kemarin. Sidang itu akan dilanjutkan hari ini. Hakim konstitusi Enny Nurbaningsih membeberkan alasan lembaganya mempercepat agenda sidang pembacaan putusan dismissal dari jadwal semula.

Ia mengatakan, saat momentum libur panjang beberapa waktu lalu, hakim konstitusi memutuskan tetap bekerja sehingga perkara gugatan sengketa hasil pilkada yang ditangani MK dapat diadili lebih cepat.

Gubernur Jakarta terpilih, Pramono Anung, memberikan sambutan dalam acara Syukuran Kemenangan Mas Pram-Bang Doel di Ancol, Jakarta Utara, 31 Januari 2025. TEMPO/Martin Yogi Pardamean

Saat itu hakim konstitusi mendalami keseluruhan berkas dan bukti gugatan agar dapat segera melaksanakan rapat permusyawaratan hakim (RPH) dalam menentukan putusan. “Libur panjang yang lalu memberi waktu cukup bagi Mahkamah untuk mendalami berkas dan bukti,” tutur Enny.

Merujuk pada Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 14 Tahun 2024, agenda sidang dismissal semestinya dijadwalkan pada 11-13 Februari 2025. Namun MK memutuskan menghelat sidang dismissal lebih cepat dari jadwal semula, yaitu pada 4-5 Februari 2025. Dengan percepatan ini, agenda sidang pembuktian pada perkara yang dinyatakan lolos sidang dismissal akan digelar pada 7-17 Februari 2025.

Dalam pilkada 2024, Mahkamah telah merampungkan sidang pemeriksaan pendahuluan dan pemeriksaan persidangan terhadap 310 perkara yang masuk 8-31 Januari 2025. Jumlah itu terdiri atas 23 perkara gugatan pemilihan gubernur, 238 perkara gugatan pemilihan bupati, dan 49 perkara gugatan pemilihan wali kota.

Hingga pukul 19.30 WIB kemarin, Mahkamah menggugurkan sebanyak 99 dari 158 perkara dalam sidang dismissal hari pertama. Salah satu yang digugurkan adalah gugatan hasil pemilihan Gubernur Sumatera Utara.

Adapun daerah yang hasil pilkadanya tidak disengketakan di MK berjumlah 296. Menurut Bima Arya, dengan pertimbangan efisiensi, Menteri Tito mengusulkan agar pelantikan kepala daerah dilakukan dalam skala besar yang menggabungkan antara kepala daerah terpilih nonsengketa dan kepala daerah hasil putusan dismissal MK.

Tanggal yang ditawarkan, menurut Bima, awalnya 18, 19, dan 20 Februari 2025 untuk pelantikan serentak. Tapi Prabowo memilih 20 Februari 2025 sebagai tanggal pelantikan serentak. Adapun lokasi pelantikan di Jakarta.

Tito mengatakan pemerintah merujuk pada aturan perundang-undangan dalam menentukan tempat pelantikan, yaitu ibu kota negara. Dalam hal ini, Tito menjelaskan, ibu kota negara yang dimaksudkan adalah Jakarta. Alasannya, pemindahan status ibu kota negara ke Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, mesti diresmikan dengan penerbitan peraturan presiden. “Selagi peraturan presiden belum secara operasional meresmikan IKN sebagai ibu kota negara, ibu kota negara tetap ada di Jakarta,” ujar Tito.

Landasan Hukum Pelantikan Kepala Daerah Serentak

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016

Pasal 163

(1) Gubernur dan wakil gubernur dilantik oleh presiden di ibu kota negara.
(2) Jika presiden berhalangan, gubernur dan wakil gubernur dilantik oleh wakil presiden.
(3) Jika wakil presiden berhalangan, gubernur dan wakil gubernur dilantik oleh menteri.

Pasal 164

(1) Bupati dan wakil bupati serta wali kota dan wakil wali kota dilantik oleh gubernur di ibu kota provinsi yang bersangkutan.
(2) Jika gubernur berhalangan, bupati dan wakil bupati serta wali kota dan wakil wali kota dilantik oleh wakil gubernur.
(3) Jika gubernur dan/atau wakil gubernur tidak dapat melaksanakan sebagaimana dimaksudkan dalam ketentuan ayat 1 dan 2, menteri mengambil alih kewenangan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat.

Pasal 164A

(1) Pelantikan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 163 dan 164 dilaksanakan secara serentak.

Pasal 164B

Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan dapat melantik bupati dan wakil bupati serta wali kota dan wakil wali kota secara serentak.

Pasal 165

Ketentuan mengenai jadwal dan tata cara pelantikan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota diatur dengan peraturan presiden.

Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2024

Pasal 2A

(3) Jadwal pelantikan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota dapat dilaksanakan melewati jadwal yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksudkan dalam ayat 1 dan 2 dengan pertimbangan atau alasan:Perselisihan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah di Mahkamah Konstitusi; Putaran kedua untuk pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah di Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta/Provinsi Daerah Khusus Jakarta; dan/atau Keadaan memaksa (force majeure) yang menyebabkan tertundanya pelaksanaan pelantikan.

Pasal 3

(1) Gubernur dan wakil gubernur dilantik oleh presiden.
(2) Jika presiden berhalangan, gubernur dan wakil gubernur dilantik oleh wakil presiden.
(3) Jika presiden dan wakil presiden berhalangan, gubernur dan wakil gubernur dilantik oleh menteri.

Pasal 4

(1) Bupati dan wakil bupati serta wali kota dan wakil wali kota dilantik oleh gubernur.
(2) Jika gubernur berhalangan, bupati dan wakil bupati serta wali kota dan wakil wali kota dilantik oleh wakil gubernur.
(3) Jika gubernur dan wakil gubernur tidak dapat melantik bupati dan wakil bupati serta wali kota dan wakil wali kota, pelantikan dilaksanakan oleh menteri.

Pasal 5

(1) Pelantikan gubernur dan wakil gubernur dilaksanakan di ibu kota negara.

Pasal 6

(1) Pelantikan bupati dan wakil bupati serta wali kota dan wakil wali kota dilaksanakan di ibu kota provinsi yang bersangkutan

Rencana pemerintah menggelar pelantikan serentak itu mendapat sorotan dari guru besar ilmu pemerintahan Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), Djohermansyah Djohan. Ia menilai penyelenggaraan pelantikan kepala daerah serentak berpotensi menyalahi ketentuan dalam aturan perundang-undangan.

Djohan mengatakan, apabila dipelajari dengan teliti dan cermat, rencana ini akan menyalahi asas multilevel government. Sebab, ketentuan dalam aturan perundang-undangan jelas mengatur pelantikan kepala daerah untuk tingkat bupati atau wali kota semestinya dilakukan di ibu kota provinsi masing-masing, bukan ibu kota negara. “Ini juga mengangkangi spirit norma Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada,” katanya.

Untuk tingkat gubernur, pelantikan di ibu kota negara memang tak menyalahi norma yang ada dalam Pasal 163 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Pilkada. Pasal itu menyebutkan gubernur dan wakilnya dilantik oleh presiden di ibu kota negara. Namun, untuk tingkat bupati dan wali kota, tak sejalan dengan Pasal 164 UU Pilkada.

Ayat 1 pasal itu berbunyi, “Bupati dan wakil bupati serta wali kota dan wakil wali kota dilantik oleh gubernur di ibu kota provinsi yang bersangkutan.” Namun dalam Pasal 164B Undang-Undang Pilkada juga diatur ketentuan presiden dapat melantik bupati dan wakil bupati serta wali kota dan wakil wali kota secara serentak.

Menteri Dalam Negeri Muhammad Tito Karnavian (kanan) bersama Wakil Menteri Dalam Negeri Bima Arya Sugiarto bersiap mengikuti rapat kerja bersama Komisi II DPR yang membahas evaluasi penyelenggaraan pemilihan nasional serentak 2024, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, 3 Februari 2025. ANTARA/Rivan Awal Lingga

Menurut Djohan, apabila ditelaah, kata “dapat” yang termaktub dalam pasal tersebut opsional, bukan mewajibkan. “Sehingga kalau tetap dilakukan, ini tentu menyalahi aturan perundang-undangan,” katanya.

Pengajar hukum kepemiluan di Universitas Indonesia, Titi Anggraini, mengatakan hal serupa. Ia menjelaskan, pelantikan kepala daerah semestinya dilakukan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Pilkada yang menyebutkan bupati dan wakilnya atau wali kota dan wakilnya dilantik serentak oleh gubernur di ibu kota provinsi.

Menurut dia, implementasi ketentuan dalam Undang-Undang Pilkada diperlukan dalam rangka menjaga desain dan semangat keselarasan, serta sinergi hubungan antara pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. “Pelantikan semestinya juga dilakukan sesuai dengan pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Nomor 46/PUU-XXII/2024,” kata Titi.

Dalam putusan Mahkamah itu, ia melanjutkan, telah dipertimbangkan bahwa pelantikan kepala daerah serentak dikehendaki setelah penyelesaian perselisihan hasil pilkada untuk perkara yang tidak dapat diterima.

Titi mengatakan, mengingat proses pembuktian baru akan dilangsungkan MK pada 7 Februari 2025 dan diperkirakan rampung pada akhir bulan, jadwal pelantikan semestinya diputuskan setelah ada kejelasan putusan MK ihwal perkara mana yang dapat atau tidak dilanjutkan ke tahap sidang pembuktian.

Menanggapi kritik tersebut, Bima Arya mengatakan ketentuan dalam Pasal 164B Undang-Undang Pilkada secara eksplisit menyebutkan presiden memiliki kewenangan melantik bupati dan wali kota secara serentak.

Bahkan, kata dia, sebelum diputuskan untuk menyelenggarakan pelantikan serentak, lembaganya telah berkonsultasi dengan Mahkamah Konstitusi, DPR, dan Mahkamah Agung. “Tidak mungkin kami melakukan sesuatu kalau tidak ada landasan hukumnya,” ucap Bima.

Kendati begitu, ia tak menampik bahwa kata “dapat” yang termaktub dalam Pasal 164B Undang-Undang Pilkada memang dapat diartikan opsional. Namun, kata Bima, meski opsional, kalimat tersebut tidak mengartikan bahwa presiden sebagai pemegang kekuasaan tertinggi tak memiliki kewenangan melantik serentak bupati dan wali kota di ibu kota negara. “Landasannya ada, dan itu clear,” ucap mantan Wali Kota Bogor itu.

Tak Sejalan dengan Kebijakan Pemangkasan Anggaran

Pengajar hukum tata negara di Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, mengatakan pelantikan kepala daerah secara serentak bukan hanya mengangkangi aturan perundang-undangan, tapi juga tidak sejalan dengan semangat efisiensi anggaran yang tengah dilakukan pemerintahan Prabowo. “Sehingga patuh saja dengan aturan tentang cara pelantikan kepala daerah, ini lebih efisien,” ujarnya.

Ia pun menduga agenda pelantikan serentak ini sarat kepentingan politik kekuasaan, yaitu untuk membuat pemerintah daerah bisa bersinergi dengan pemerintah pusat lewat pendekatan-pendekatan militeristik.

Menurut Herdiansyah, rencana Prabowo yang ingin melakukan retret bagi kepala daerah amat besar kelindannya dengan pelantikan serentak ini. “Karena bisa bertemu langsung dan memiliki kedekatan, potensi mengontrolnya juga besar,” katanya.

Sidang pengucapan putusan sela (dismissal) sengketa pilkada 2024 di gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 4 Februari 2025. ANTARA/Bayu Pratama S.

Pendapat senada dilontarkan pengajar hukum tata negara di Universitas Gadjah Mada, Yance Arizona. Ia menilai pelantikan serentak kepala daerah memiliki kelindan kepentingan politik kekuasaan yang amat kental dengan nuansa militerisme. “Daerah sebetulnya memiliki otonomi sendiri, jadi tidak bisa dipaksa untuk terus selaras dengan kebijakan pusat,” kata Yance. “Pelantikan serentak memang efisien. Tapi, kalau dilakukan di tengah efisiensi anggaran, semestinya ini bisa dilakukan virtual.”

Namun Bima Arya menampik anggapan bahwa pelantikan serentak dan rencana retret kepala daerah sarat nuansa militerisme. Ia mengatakan agenda pembekalan kepala daerah merupakan kegiatan rutin pemerintah.

Alasannya, kata dia, tidak semua kepala daerah memiliki latar belakang politik pemerintahan. “Kemudian kalau sekarang pembekalan digabung, itu kan artinya ada penghematan. Tidak ada masalah,” tuturnya. “Kami juga membatasi tamu yang akan hadir nanti, yaitu hanya kepala daerah terpilih, Ketua DPRD, dan Ketua KPU.”

Nabilla Azzahra dan Vedro Immanuel Ginting berkontribusi dalam penulisan artikel ini
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Andi Adam Faturahman

Andi Adam Faturahman

Berkarier di Tempo sejak 2022. Alumnus Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Mpu Tantular, Jakarta, ini menulis laporan-laporan isu hukum, politik dan kesejahteraan rakyat. Aktif menjadi anggota Aliansi Jurnalis Independen

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus