SUDOMO bicara serius. Kamis pekan lalu, di balai wartawan
Departemen Hankam, Pangkopkamtib itu kembali mengingatkan agar
"pers menahan diri memberitakan hal-hal yang menyangkut
perselisihan suku, agama, ras dan kelompok masyarakat."
Misalnya pemuatan berita menempelnya kulit babi pada sapu ijuk
di sebuah mesjid di Bima, Lombok. "Berita itu dapat memancing
emosi karena pemuatannya tidak secara faktual," ujar Sudomo yang
juga berpesan agar hal seperti itu Jangan lagi terulang.
Soal kulit babi itu tampaknya menjadi salah satu pembicaraan
dalam pertemuan antara Pangkopkamtib dengan para Kepala Staf
Angkatan, Kapolri, Pangkowilhan dan para Laksusda se-Jawa dan
Nusa Tenggara pekan lalu.
Tapi tidak jelas seberapa gawat peristiwa di sana. Penyelesaian
beberapa kasus di daerah secara adat belum lama ini, barangkali
juga sebagai usaha mengerem tingkat konflik itu. Misalnya
penyelesaian kasus Siria-ria (TEMPO, 13 Oktober, Daerah).
Sebelumnya, kasus sengketa tanah di Jenggawah, Jember, juga
diselesaikan secara damai meskipun tanpa upacara adat.
Cara seperti itu tampaknya bakal diikuti oleh beberapa daerah.
Kasus bentrokan fisik di Bagan Asahan di akhir Agustus (TEMPO, 8
September, Nasional) misalnya, juga diselesaikan secara adat
seminggu setelah Siria-ria. Peristiwa Bagan Asahan itu
melibatkan dua kelompok penduduk: asli dan pendatang.
Bantuan "Non Pri"
Peristiwa itu bermula dari judi yang berkembang menjadi
perkelahian kelompok. Kasim, penduduk asli, tertikam. Esok
harinya Hamdan Pucung bersama 2 rekannya mengeroyok Teuku
Ismail, nelayan pendatang. Muspida Asahan berhasil mendamaikan.
Tapi beberapa hari kemudian dalam suasana lebaran, tengah malam,
2 kapal Pukat Banting memuat 100 orang muncul di pelabuhan Bagan
Asahan. Mereka mendarat lalu membakar rumah Hamdan Pucung. Dan
segera setelah itu juga membakari rumah penduduk lainnya.
Kerusuhan pun menjalar.
Dua ratus orang mengungsi di kantor polisi. Tapi korban-korban
sempat berjatuhan: 16 meninggal karena dibacok, 103 bangunan dan
17 pelataran pengasinan terbakar, 503 jiwa (99 KK) kehilangan
tempat berteduh. Dua kapal penangkap ikan, sebuah gudang belacan
dan satu sepeda motor terbakar pula.
Kini semuanya telah berlalu. Minggu siang 7 Oktober lalu
perselisihan itu diselesaikan secara damai dalam sebuah upacara
adat. Lebih dari 5.000 orang berpakaian adat memadati areal
bekas kebakaran lebih kurang 5 ha di pinggir kuala Sungai
Asahan. Tempat upacaranya sendiri diteduhi tenda kain,
dilingkari pagar 30 x 80 meter persegi berjanur kuning. Gubernur
Sumatera Utara EWP Tambunan hadir berseragam pawang laut dari
kain satin hitam mengkilat.
Biaya upacara yang disediakan Pemda Asahan cukup besar Rp 5
juta. Soalnya selain segala macam peralatan, kabarnya pakaian
adat sejumlah pimpinan masyarakat juga dibeli oleh Pemda. Untung
ada pula bantuan dari para pengusaha "non-pri" di Tanjung Balai.
Selain 5 ekor lembu sumbangan DPW Pemuda Pancasila Sum-Ut, Pemda
Asahan sendiri menyediakan 2 ekor kerbau. Kelima hewan itu, hari
itu dipotong sebagai tumbal. Masvarakat Asahan yang
berbondong-bondong memang didatangkan para camat, sedang
masyarakat Aceh perantauan diatur oleh pengurus Aceh Sepakat.
Inti upacara itu tukar-menukar tepak sirib (Asahan) dengan karab
(Aceh) dilanjutkan tukar-menukar dalung (Aceh) dengan balai
(Asahan). Setelah itu para wakil kedua masyarakat tersebut
saling berdialog dengan bahasa pantun. Mereka saling bertanya
dan berjawab. Kemudian sepakat menyelesaikan sengketa di antara
mereka. Upacara diakhiri dengan sembahyang lohor berjama'ah lalu
makan siang.
Ikrar yang ditandatangani HA Gumri dan Tengku Hasan, mewakili
kedua kelompok itu, pokoknya menyesali peristiwa 30 Agustus 1979
di Bagan Asahan dan berjanji tidak akan terulang kembali. Ada
juga sumbangan Brigjen Ismail. Ia membacakan pantun bikinannya
sendiri:
Ayam jantan jangan diadu/Kalau diadu keluar darahnya/Bagan
Asahan iangan diganggu/Kalau diganggu Laksusda urusannya ....
Pangdam II Bukit Barisan itu juga mengakui, peristiwa tersebut
lantaran kelalaian aparat keamanan juga. "Jangan ada yang tebal
telinga, harus peka dan tanggap terhadap setiap gejala. Jangan
ada satu oknum aparat pun yang menganggap sepele informasi yang
datang dari orang bodoh sekalipun," katanya.
Mendengar itu, semua hadirin bertepuk riuh. Tampaknya yang
menjadi sasaran ucapan itu Letkol Pol. B. Siahaan, Dan Resor 206
Asahan. Beberapa jam sebelum peristiwa terjadi, seorang tokoh
masyarakat Asahan, Haji Idham, telah menyampaikan laporan kepada
pihak kepolisian. Tapi informasi itu tampaknya tidak digubris.
Kini, sementara 50 orang yang ditahan sudah dibebaskan
seluruhnya, perkaranya pun diusahakan untuk dideponir. Meski
begitu seorang pengacara Medan, Ani Abbas Manoppo, kurang puas.
"Jangan dideponir begitu saja," katanya la berharap pembekuan
perkara itu diusahakan secara tuntas lewat Kejaksaan Agung,
"hingga di belakang hari tidak diungkit-ungkit lagi, misalnya
menjelang pemilu," katanya lagi.
Tapi meskipun perdamaian sudah diusahakan, 200 orang yang
mengungsi ke Aceh belum kembali pulang. Rumah mereka yang sudah
diperbaiki oleh Pemda Asahan masih kosong. Dan 103 rumah yang
terbakar pun, sampai akhir pekan lalu belum dibangun kembali
meski tanahnya sudah dikapling dan contoh bangunannya sudah
dipersiapkan.
"Sedang diusahakan kredit dari bank," ujar Humas Pemda Asahan,
Sumadi Astono kepada Amran Nasution dari TEMPO. Untuk sementara,
mereka ditampung di beberapa barak. Ada pula yang menumpang di
rumah famili.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini