Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Bung Karno Mengakui Tuduhan

Wawancara Tempo dengan Drs. R.C. Kwantes tentang surat-surat Bung Karno. Diantaranya menceritakan istrinya dan permintaan agar ia jangan diasingkan. Ia bersedia mengundurkan diri dari pentas politik.

2 Januari 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

B~UNG Karno tidak pernah menyerah. Itulah kesimpulan sarasehan yang diadakan oleh Lembaga Penelitian Sejarah Nasional Universitas 17 Agustus Jakarta, Senin pekan lalu, sehubungan dengan terbitnya buku Drs. R.C. Kwantes di Negeri Belanda (TEMPO 26 Desember 1987). Para peserta diskusi sepakat, meragukan bukti-bukti yang diajukan oleh para penulis Barat - tidak hanya Kwantes - yang hanya berupa salinan yang kini tersimpan di arsip nasional Belanda di Den Haag. Apa kata Kwantes - ahli Indologi yang kini 80 tahun pensiunan pegawai Departemen P 8~ K Belanda, yang bekerja di Sumatera pada 1932-1949, dan kemudian sebagai pejabat Departemen Luar Negeri Belanda sekali lagi ia ditugaskan di Indonesia, 1955-1956? Koresponden TEMPO di Belanda, Hendrix Mandagie, Rabu pekan lalu menemui Kwantes di Den Haag. la mewawancarai orang yang dua anaknya lahir di Bukittingg~i itu. Kwanteslah sebenarnya orang pertama yang mengungkapkan surat-surat Soekarno, sebelum dimuat dalam buku John Ingleson, Road to Exile. Buku Ingleson terbit pada 1979, buku Kwantes, Perkembangan Gerakan Nasionalis di Hindia Belanda (terdiri dari empat jilid), terbit pada 1972. Bila lima belas tahun kemudian Kwantes kembali mengutak-atik surat Soekarno, memang ada fakta baru. Berikut petikan wawancara itu: Dalam salah satu suratnya Soekarno menyebut-nyebut interogasi yang dilakukan jaksa terhadapnya. Ketika saya menulis buku Perkembangan Gerakan Nasionalis di Hindia Belanda, yang memuat empat surat Soekarno yang saya temukan di arsip nasional Belanda, saya tak berhasil~ menemukan dokumen hasil interogasi jaksa~ itu. Maka, saya sebutkan dalam buku itu bahwa dokumen tentang interogasi itu tidak ada. Belakangan, baru saya menemukan dokumen tersebut. Hasil interogasi itu lebih penting daripada surat-surat Soekarno dari penjara Sukamiskin. Kenapa? Surat-surat itu betul-betul pribadi sifatnya. Menceritakan istrinya, dan permintaan agar ia jangan diasingkan. Untuk kedua hal itu Soekarno menawarkan imbalan bersedia mengundurkan diri dari pentas politik, dan mengakui bahwa gerakan nonkooperasi itu salah. Sementara itu, dalam dokumen proses verbal (berita acara pemeriksaan) antara Soekarno dan jaksa pemeriksanya, R. Hendarin, ada diskusi mengenai pencapaian Indonesia merdeka, tentang kapitalisme, imperialisme, dan revolusi. Yaitu sehubungan dengan pidato-pidato ataupun tulisan Soekarno yang dijadikan alasan Jaksa untuk menangkap Soekarno dengan tuduhan menghasut agar rakyat melawan pemerintah. Dari situ diketahui bahwa Soekarno mengakui semua yang dituduhkan. Tapi sekaligus ia menganggap bahwa semua yang dilakukannya itu adalah cara yang sah dan dapat dibenarkan. Dari interogasi itu diketahui, ternyata Soekarno tidak pernah melepaskan gagasan Indonesia merdeka, sekalipun ia merasa yakin cara perjuangan yang digunakannya tidak benar. Karena itulah Dewan Hindia Belanda (lembaga penasihat pemerintah ketika itu) menganggap bahwa betapapun Soekarno sudah minta ampun dan sebagainya, ia tetap berbahaya. Dewan itu tak percaya bahwa Soekarno akan berhenti berpolitik seperti dijanjikannya. Ia tetap dianggap bisa menimbulkan kerusuhan di masyarakat. Saya sendiri juga yakin, Soekarno tidak akan menghentikan kegiatannya. Dari dokumen-dokumen itu saya tak percaya bahwa Soekarno seorang yang mempunyai sifat lemah dan tak terkendali. Pendapat seperti itu akan muncul kalau kita hanya membaca surat-surat Soekarno dari Sukamiskin. Mestilah dipahami kondisi Soekarno pada waktu itu. Ia merasa sangat dibutuhkan sebagai penyambung lidah rakyat. Ketika ia ditangkap dan akan diasingkan, ia merasa cemas akan terlempar dari pentas politik, dan masa depan Indonesia merdeka yang dicita-citakannya bersama kaum buruh dan tani menjadi pudar. Ia terlempar sendirian. Dalam kondisi seperti itu, jatuhnya mental seorang pemimpin rakyat untuk sementara dapat dipahami. Anda tak bisa mengukur pribadi seseorang dalam keadaan demikian. Bagi saya, itu bagian penting dari Soekarno. Itu yang membedakannya dengan Hatta yang rasional. Maka, setelah menemukan dan mempelajari dokumen proses verbal itu, saya merasa perlu menerbitkannya dalam bentuk tulisan yang saya beri judul Ir. Soekarno's Vier Brieven yang dimuat di kumpulan tulisan Imiah Bijdra~gen (diterbitkan oleh Konin klijk Instituut voor Taal, Land en Volkenkunde, lembaga penelitian bahasa dan antropologi di Leiden). Dokumen yang saya temukan memang sudah merupakan salinan. Dalam artikel itu sudah saya jelaskan bahwa akan sulit menemukan dokumen aslinya karena kantor arsip Sekretariat Jenderal (Algemene Secretarie) di Bogor dibakar ketika Jepang menyerang Hindia Belanda. Seperti diketahui, dulu pemerintah Hindia Belanda selalu mengirimkan salinan dari surat-surat yang dianggap penting kepada Departemen Urusan Kolonial di Belanda. Dokumen dan surat-surat itu selalu disahkan oleh Sekretaris Jenderal pada waktu itu. Dokumen-dokumen itulah yang kini berada di arsip negara. Saya tak melihat alasan surat-surat salinan - baik empat surat Soekarno maupun dokumen proses verbal - itu dipalsukan. Dokumen-dokumen itu datang bersamaan dengan dokumen atau surat lainnya yang disebut surat-surat pos. Semua memiliki nomor. Saya juga tak melihat alasan pemerintah Belanda untuk memalsukannya. Soekarno ketika itu di dalam penjara, dan pemerintah sudah berketetapan membuangnya ke luar Jawa. Memang saya sudah menduga, selama dokumen aslinya belum ditemukan selalu akan ada saja oran~g yan~g tak mempercayai kebenarannya. Seperti (Almarhum) Mr. Mohamad Roem itu. Dengan menemukan proses verbal yang dengan jelas menggambarkan bagaimana proses perubahan sikap Soekarno selama diinterogasi, menurut saya, saya telah menemukan kebenaran 90 persen. Kalau kita bisa menemukan surat aslinya kebenaran itu menjadi 100 persen. Di Belanda sendiri bahan-bahan yang saya peroleh mengenai hal itu terbatas. Saya yakin, surat dan dokumen irlterogasi itu dulu aslinya berada di arsip Algemene Secretarie di Bogor. Selama bertugas di Hindia Belanda, saya tak mengenal Soekarno, karena saya lebih lama berada Sumatera Barat. Ketika itu tak ada radio. Dan waktu itu, sebagai pegawai negeri, kami lebih disibukkan urusan daerah masing-masing. Kini, setelah sekian tahun menulis tentang pergerakan nasionalis di Hindia Belanda, saya memang sangat terpengaruh sumber-sumber saya. Saya terkesan oleh pengorbanan tokoh-tokoh seperti Hatta, Sjahrir, dan juga Soekarno, serta sejumlah tokoh lainnya. Setelah Soekarno dibuang ke Endeh, Flores, orang seakan telah melupakannya. Tapi ketika kemudian ia dipindahkan dari Endeh ke Bengkulu, terpaksa Belanda mengangkutnya dengan kereta api dari Surabaya karena takut di sepanjang jalan Soekarno akan dielu-elukan rakyat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus