Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Raja minyak belum kalah

Tambang minyak tradisional di desa wonocolo & hargomulyo, bojonegoro, baru akan ditutup setelah sidang umum mpr 1988, sesuai instruksi menteri pertambangan dan energi subroto. persoalannya tak mudah.

2 Januari 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RAJA minyak di desa OPEC tampaknya belum akan turun takhta. Pernyataan~ Menteri Pertambangan dan Energi Suroto beberapa lama lalu, bahwa penambangan minyak tradisional di desa itu harus ditutup per 1 Januari 1988 pekan ini, ternyata diundurkan. Pekan lalu Menteri menyatakan, tambang minyak tradisional di Desa Wonocolo dan Hargomulyo, Bojonegoro, Jawa Timur, baru akan ditutup setelah Sidang Umum MPR Maret 1988 nanti. Salah satu sebab pengunduran itu pada 21 Desember 1987 lalu Sekwilda Provinsi Jawa Timur, Drs. Soemardjono Hadikusumo, menulis surat ke Dirjen Migas untuk meminta pengunduran waktu penutupan. Dan memang, awal pekan ini, tiga hari sebelum kalender 1987 disingkirkan untuk diganti yang baru, kegiatan di kedua desa OPEC masih seperti biasa. Baik di Desa Wonocolo maupun Hargomulyo, belum tampak tanda-tanda akan berhentinya semua kegiatan penambangan lantung (minyak mentah) tradisional itu. Menutup desa minyak tampaknya tak semudah menutup keran air. Tapi coba ingat, berapa kali sudah sumur minyak desa OPEC diminta agar ditutup, sekian kali pula perintah itu tak jalan. Sejak Menteri Pertambangan masih Prof. Sadli, di pertengahan 1970-an, dari Jakarta sendiri sudah ada penntah penutupan tambang minyak yang dianggap liar itu. Lalu, bila Anda masih ingat, di masa kampanye Pemilu lalu, diJember, Menteri Subroto jelas mengatakan bahwa seusai Pemilu tambang minyak di Wonocolo dan Hargomulyo akan ditutup. Dan itu lagi-lagi sekadar pernyataan. Agaknya, memang ada masalah di hutan jati sekitar 15 km dari Kota Cepu tersebut. Ini tambang liar atau tak liar, kenyataannya kehidupan sekitar seribu pekerja bergantung pada sumur minyak. Mereka rata-rata buruh dengan penghasilan sekitar Rp 2.000,00 sehan, yang menanggung hidup keluarga. Orang-orang itu datang dari Tuban, Cepu, Bojonegoro, dan daerah sekitarnya. Sampai pekan lalu, misalnya, di saat hujan gerimis sekalipun, masih terdengar aba-aba holopis kuntul baris .... Beberapa orang berdiri di bibir sumur, siap menyambut timba demi timba minyak mentah. Hanya diterangi lampu petromaks, mereka bekerja sampai menjelan~g subuh, lalu di~gantikan rombongan pekerja berikut. Lalu, hitung berapa rupiah menetes dari emas hitam itu per harinya. Kini sekitar 70 sumur - dari 147 sumur yang ada sejak zaman Belanda tahun 1894 -ditimba hampir 24 jam sehari. Hasilnya 39.000-35.000 liter sehari. Lantung kemudian dijual dengan harga Rp 160,00 per liter di pasar bebas atau hanya Rp 89,00 per liter ke PPT Migas. Harga itu menyebabkan hanya sejumlah kecil minyak yang dijual ke Migas, sisanya dilego ke pasar bebas di Solo atau daerah lainnya. Bayangkan, hampir Rp 6 juta emas hitam di situ ditambang per harinya. Di sisi lain, penambangan di desa OPEC mengundang tanda tanya besar. Rumah-rumah penduduk di situ tetap saja berdinding bambu, jalan-jalan tetap tanah yang berbatu, dan anak-anak kecil berkeliaran tanpa baju, sedang mereka yang pergi sekolah tanpa sepatu. Sementara tu, rumah kepala desa yang populer dipanggil Mbah Wantah sungguh luas, dan hampir seluruh dinding terdiri dari jati yang diukir. Kesimpulan, tambang itu memang mendatangkan rezeki bagi segelintir orang. Pada titik inilah kemungkinan besar perintah menutup tambang terbentur. Bahkan Oktober lalu di sini berlangsung sesuatu kegiatan yang bukannya menambah jelas persoalan, tapi malah memperbanyak tanda tanya. Pada bulan itu tiba-tiba Muspida Bojonegoro mendapat undangan dari orang-orang Wonocolo untuk menghadiri pelantikan yang disebut sebagai Dewan Pimpinan Cabang Partisan Siliwangi (PS). Beserta undangan itu juga dilampirkan berbagai surat dan berkas. Antara lain mengisahkan pertalian sejarah antara penduduk Wonocolo dan PS Lampiran lainnya berupa kopi surat dari Dewan Pimpinan Pusat PS kepada Gubernur Jawa Timur, Dirjen Migas, Kepala PPT~ Migas Cepu, yang isinya mohon doa restu dan mengharapkan agar sumur minyak rakyat itu terus ditambang. Alasannya: p~nambang-penambang itu, khususnya Lura.~ Wonocolo bernama Watah Wartosentonc, masih warga PS. Surat itu ditandatangani Ketua Umum PS, Mlyjen. TNI (Purn.) Drs. H. Satibi Darwis. Kala itu sudah juga tersiar berita, Bupati Bojonegoro akan memberi sambutan pada acara pelantikan yang akan dilangsungkan paca 17 Oktober di Lapangan Batokan, sel~tar 15 km dari lokasi sumur minyak. Belakangan Bupati Bojonegoro membantah bahwa ia merencanakan memberi sambutan. Bupati malah menyatakan tak tahu menahu tentang pelantikan Dewan Pimpinan Cabang PS tadi. Maka, Muspida pun "memotong" acara. Pelantikan batal. Padahal,seluruh penambang sejak pagi hari sudah ber~umpul dengan pakaian kaus loreng gaya AB~I. Mereka hari itu sedianya akan dikukub~an sebagai warga PS. Malah mereka sudah dipotret setengah badan untuk kartu ang~ota. Kendati begitu, kepengurusan DPC PS sudah dianggap terbentuk. Watah Wartosentono, Lurah Wonocolo, dan Kartoredjo, Lurah Hargomulyo, diangkat sebagai sesepuh DPC PS Bojonegoro. Mungkinkah itu merupakan upaya desa O~PEC mempertahankan sumur-sumurnya? Lurah Desa Hargomulyo, Kartoredjo, tak ingin menjelaskan. Lurah berusia 64 tahun yang sehari-hari memimpin desanya dari kursi roda karena ia lumpuh itu cuma mengatakan, "Kami lega kalau penutupan itu ditangguhkan, apalagi kalau diizinkan terus ditambang." Lalu ia mengucapkan syu~kur bahwa, "Jenderal-jenderal itu tahu dan mau memperjuangkan nasib rakyat kecil." Lalu apa kata Lurah Desa Wonocolo, Watah Wartosentono, 60 tahun, yang sejak 1960 menjadi "raja minyak" di hutan jati itu, yang tentunya bukan sekadar rakyat kecil? "Mbah Watah tak bersedia ketemu wartawan,' tutur Soekotjo, Carik Desa Wonocolo yarg pernah membantah bahwa lurahnya punya puluhan mobil, karena, "cuma ada sembilan mobil." Tentu saja, belum bisa dijawab adakah setelah Sidang Umum MPR mendatang, desa C~PEC tinggal sejarah. Akan halnya Menteri Subroto sendiri sudah tegas-tegas menyat~akan bahwa setelah Sidang Umum MPR penutupan itu tak akan diundur lagi. "Apa yang tidak sah menurut undang-undang harus ditertibkan," katanya. Menteri tentu saja tidak salah bahwa menurut konstitusi sumur-sumur itu menjadi milik negara, dan digunakan demi kesejahteraan rakyat banyak. Mereka yang membela seribu buruh d~i situ juga tentunya punya ala~san yang bisa diterima rasa kemanusiaan. ~Tapi bahwa segelintir orang lalu bergelimang harta, itu memang tidak adil. Toriq Hadad ~~dan Budiono Darsono (Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus