SERUAN mogok nasional 11 Februari 1994 itu akhirnya tak bergema. Ini boleh dibilang sebagai antiklimaks seruan yang menggebu dari Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI), yang dipimpin Pengacara Muchtar Pakpahan. Padahal, sebelumnya telah diedarkan ribuan selebaran berupa ajakan mogok nasional selama sejam, pukul delapan hingga sembilan pagi. Banyak pabrik dan terminal yang diharapkan menjadi pusat pemogokan ternyata normal-normal saja. Para buruh dan sopir seolah cuek, tak peduli pada seruan itu. Semula SBSI mengklaim seruan mogok itu akan diikuti sekitar dua juta buruh dan sopir angkutan umum. Tujuan mogok nasional itu, menurut Muchtar, adalah mendesak Menteri Tenaga Kerja agar mencabut peraturannya tentang serikat buruh. Di situ disebutkan, hanya satu serikat buruh yang direstui Pemerintah, yakni Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI). Selain itu, mereka juga menuntut kenaikan upah minimum menjadi Rp 7.000 per hari. Ternyata, ajakan itu seperti dilewatkan begitu saja. Para buruh yang beberapa hari sebelumnya mogok di Malang dan Surabaya justru bekerja lagi pada hari Jumat. Rabu pekan lalu, misalnya, terjadi aksi mogok di enam perusahaan, antara lain perusahaan garmen PT Surya Tedjakusuma Agung, pabrik plastik PT Ria Star Angkasa, dan pabrik aki PT Juara Sakti -- semuanya di Surabaya. Di Malang, hari Rabu juga terjadi pemogokan di pabrik rokok Bentoel. Tapi, sampai Jumat sore, buruh di pabrik-pabrik itu bekerja seperti biasa. Walau para buruh tampak tak menanggapi seruan tersebut, itu tidaklah berarti aparat keamanan bisa santai. Di Bandung, di daerah yang biasanya rawan aksi mogok, seperti Leuwigajah, Cigondewah, dan Majalaya, terlihat ada satu truk anggota Brigade Mobil. Patroli sebuah mobil garnisun sesekali melewati kawasan pabrik yang ternyata aman itu. Memang, Kantor Wilayah Departemen Tenaga Kerja dan aparat keamanan sudah menyiapkan posko -- khawatir ada pemogokan sungguhan. Meski tak ada gema, Ketua SBSI Rekson Silaban dalam siaran persnya toh mengklaim, mogok nasional itu telah terjadi, diikuti sekitar 750 ribu buruh di seluruh Indonesia. Misalnya, di PT Widya Indah dan PT Like Spring di Kawasan Industri Pulogadung, katanya, ada sekitar 6.000 buruh mogok tanpa ramai- ramai. Begitu juga 600 buruh di PT Trimurti, Jakarta Utara. "Mereka berdoa di dalam pabrik, melakukan aksi diam sesuai dengan kesepakatan kami, tanpa ada larangan perusahaan," kata penjabat Ketua SBSI, H.A. Gufron. Kejadian buruh mogok, pas hari Jumat itu, memang ada di beberapa tempat. Di perusahaan kue PT Monde Mahkota Biscuits, Jakarta Timur, misalnya, hari itu 300 lebih buruh berunjuk rasa. Para buruh, sebagian besar wanita, mengaku tahu adanya ajakan mogok SBSI dari mulut ke mulut. Tapi, "Mogok ini kesadaran kami sendiri, nggak ada yang nyuruh," kata seorang buruh. Dan tuntutan mereka soal perbaikan upah memang dipenuhi perusahaan. Buruh di Kawasan Industri Rungkut, Surabaya, juga mengaku mogok bukan lantaran ajakan SBSI. "Kami perlu mogok agar nasib lebih baik, tak ada hubungannya dengan ajakan SBSI," kata mereka. Panglima Kodam Jaya Mayjen Hendropriyono yakin, banyak di antara buruh yang tak tahu soal ajakan SBSI itu. "Ajakan mogok yang cuma sejam itu apa artinya bagi perusahaan, dan juga bagi buruh," kata Hendro. Tampaknya, yang terpenting bagi buruh adalah upaya perbaikan upah terpenuhi dan bukannya soal organisasi buruh mana yang mereka pilih. Di balik itu, penggembosan terhadap ajakan mogok itu memang gencar dilakukan Pemerintah. Misalnya, Selasa pekan lalu, pejabat Departemen Tenaga Kerja, SPSI, dan Kodim Jakarta Timur mengumpulkan sekitar 200 wakil buruh dari berbagai perusahaan. Mereka lalu membuat kesepakatan: menolak ajakan mogok SBSI. Sementara itu, aparat keamanan aktif berupaya agar mogok nasional itu urung. Panglima Kodam Diponegoro Mayjen Soeyono, misalnya, langsung turun ke perusahaan-perusahaan, berdialog dengan buruh. Dan puncak penggembosan adalah penangkapan beberapa pentolan SBSI, Rabu pekan lalu, di Semarang. Ketika Muchtar akan tampil berbicara dalam acara sarasehan yang dihadiri 39 aktivis SBSI di Gedung Koperasi Pegawai Negeri, Semarang, tiba-tiba listrik mati. Lalu, Muchtar, Wakil Ketua SBSI Sunarti, dan Trisyanto (penyelenggara acara itu) ditangkap petugas. Alasannya, "Ketiga orang ini mengadakan rapat gelap dan menggunakan rapat itu untuk menyiapkan aksi mogok buruh nasional," kata Kepala Penerangan Kodam Diponegoro Letkol H. Saragi. Tiga tokoh SBSI itu kemudian ditahan dengan tuduhan melanggar pasal permusuhan terhadap Pemerintah. "Ia menyebarkan selebaran ajakan mogok, yang dibiayai negara asing," kata Saragi. Kepada TEMPO, Muchtar mengaku tak menyangka bakal ditahan. Soalnya, kedatangannya atas undangan untuk acara sarasehan. Belum sempat berbicara, ia digiring ke kantor polisi. "Kalau dituduh menyalahgunakan izin sarasehan, harusnya Trisyanto saja yang ditangkap. Kalau alasannya selebaran, mestinya saya ditangkap di Jakarta," ujarnya. Penangkapan juga terjadi di Ibu Kota. Di Tangerang, saat 14 pengurus SBSI mengadakan rapat di sekretariat, membahas strategi pemogokan, tiba-tiba mereka digerebek petugas keamanan. Esok harinya, enam di antaranya dilepas. Di Bekasi, empat aktivis SBSI juga ditahan polisi. Rangkaian penangkapan ini tentu mengundang reaksi dari berbagai kalangan, baik LSM maupun anggota DPR. Pengurus SBSI sendiri, di samping memprotes keras penahanan beberapa tokohnya, juga mengadukan hal itu ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan DPR.ATG, Andi Reza Rohadian, Nunik Iswardhani (Jakarta), Ahmad Taufik (Bandung), dan Zed Abidien (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini