Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Busri, si buruh itu

Busri dan 2 kawannya menghadap dprd tingkat i, melaporkan sk adpel banjarmasin tentang penyesuaian tarif opp & opt yang menyebabkan penurunan upah buruh. 7 perusahaan kayu protes terhadap sk adpel. (dh)

10 Januari 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TIGA orang tokoh buruh masing-masing mengaku dari KBKI/Gakari, Perbaki/Kosgoro dan Sarbumusi. Salman. Busri dan Hamsin namanya. Entah bagaimana asal mulanya, tiba-tiba menghadap DPRD Tk I Propinsi Kalimantan Selatan dan diterima langsung oleh Ketua dan Sekretaris Lembaga tersebut. Itu terjadi pada minggu ketiga bulan Nopember kemarin. Kepala Aries Kartadipura -- Ketua DPRD mereka bercerita panjang lebar, mengenai nasib buruh tentu saja. Bahwa buruh-buruh di Banjarmasin, khususnya yang memuat kayu logs di laut Tamboneo dalam keadaan resah gelisah. Menurut Busri, keresahan itu berpangkal pada SK Adpel Banjarmasin tertanggal 1 Nopember perihal penyesuaian tarif OPP dan OPT khusus kayu logs. Oleh mereka, SK 1 Nopember itu dinilai sebagai penurunan upah buruh secara drastis. "Itu jika dibanding dengan SK Adpel sebelumnya prihal yang sama", kata Busri. Ujarnya pula, "SK yang baru ini tidak menjelaskan apakah tarif yang disesuaikan itu (rupiah yang diterima buruh) berupa actuil size atau invoice size". Kalaupun begitu Busri tidak bisa menunjukkan secara pas di mana letak tarif yang dinilainya turun itu. Sebab tarif yang diperinci pada SK itu, adalah tarif OPP dan OPT secara keseluruhan. Bukan perhitungan bersih upah untuk buruh, misalnya seperti Jasa Shipping, Administrasi UKA, Asuransi dan lain-lain, bahkan yang namanya biaya over-head termasuk di situ. Pihak Busri tetap berpendapat dengan SK baru itu upah buruh turun, sementara orang-orang Adpel mengatakan naik. Tapi. konfirmasi yang dilakukan TEMPO pada Adpel, akhirnya menyingkap juga selubung selisih perhitungan antara Adpel vs Busri cs. Bahkan agak meragukan kebenaran keterangan Busri pada Ketua DPRD (yang mengatakan timbulnya gejolak keresahan) dan turunnya tarif tadi. Setidaknya, Adpel punya argumentasi yang kuat dalam penyusunan tarif yang di"sesuai"kan itu. "Tidak ada penurunan upah buruh, malah dengan SK yang baru ini, upah buruh melonjak naik jika dibanding dengan SK lama", ujar Adpel. 7 Eksportir Menurut Newa Piarah, Adpel Banjarmasin, dari tarif lama Rp 396/m3 actuil size menjadi Rp 645. Atau upah buruh bersih berupa uang (THP) alias Take Home Pay, dari Rp 14/m3 actuil size tarif lama menjadi Rp 54,55. Angka bersih ini adalah setelah di "potong-potong" untuk jasa shipping, administrasi UKA, asuransi, transport, dana sosial, dana pembangunan perumahan, makan minum di tempat kerja, biaya (ver-head dll. Khusus mengenai biaya overhead yang konon tadinya (tarif lama) ditelan mentah-mentah oleh mandor berupa keuntungan yang tidak terkontrol, kini sudah bisa ditekan dari Rp 54,50 menjadi Rp 6. Lantas bagaimana dengan keresahan buruh-buruh seperti dikatakan Busri cs? Sama sekali tidak ada kegelisahan dan anda boleh tanyai buruh-buruh di sini", sahut Rachmat Santoso SH, Ketua SBKMI kepada TELMPO. Baik Rachmat maupun Drs. Ramonsyah - Ketua FBSI - agak heran kenapa ketiga orang buruh tadi langsung menghadap DPRD Tk I dan tidak memberitahu terlebih dahulu pada induk organisasinya. Bukankah FBSI atau lebih tepat SBKMI lebih berkompeten menyelesaikan setiap kasus yang timbul di kalangan buruh khususnya yang beroperasi di pelabuhan? "Jelasnya", demikian orang-orang di FBSI dan SBKII, "ketiga orang tnkoh buruh tadi tidak menyelusuri permasalahan pada tangga-tangga tertentu". Umpamanya, kenapa tidak melalui SBKMI, FBSI atau DPRD Tk II dulu? "Kalau kita lapor pada SBKMI atau FBSI, suara kita tak bakalan didengar" kilah Busri menanggapi masalah prosedur itu. Masalahnya belum selesai, malah lebih membengkak. Selanjutnya giliran kalangan eksportir buka mulut. Di sini 7 perusahaan kayu besar protes dan langsung menandatangani surat protes ketidak sukaan pada SK Adpel 1 Nopember itu. Pernyataan tersebut mereka tujukan pada DPC MPI alias Masyarakat Perkayuan Indonesia Kalsel/Tengah agar organisasi disebut belakangan ini mcngajukan appeal pada Adpel. Menurut ketujuh orang pimpinan perusahaan kayu itu lahirnya SK Adpel tersebut tidak tepat pada saat kondisi harga kayu dewasa ini. Sebab tarif yang disesuaikan oleh Adpel itu, menurut mereka terlalu tinggi, ialah dari Rp 396/m3 menjadi Rp 645 Apakah perusahaan-perusahaan (pengusaha) kayu ini tidak diikut-serta berunding dalam penyesuaian tarif itu ? Kurang jelas. "Namun yang pasti, yang bayar tarif OPP dan OPT itu, kan kita", kata seorang pengusaha kayu di sana.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus