TIGA orang tokoh buruh masing-masing mengaku dari KBKI/Gakari,
Perbaki/Kosgoro dan Sarbumusi. Salman. Busri dan Hamsin namanya.
Entah bagaimana asal mulanya, tiba-tiba menghadap DPRD Tk I
Propinsi Kalimantan Selatan dan diterima langsung oleh Ketua
dan Sekretaris Lembaga tersebut. Itu terjadi pada minggu ketiga
bulan Nopember kemarin. Kepala Aries Kartadipura -- Ketua DPRD
mereka bercerita panjang lebar, mengenai nasib buruh tentu saja.
Bahwa buruh-buruh di Banjarmasin, khususnya yang memuat kayu
logs di laut Tamboneo dalam keadaan resah gelisah. Menurut
Busri, keresahan itu berpangkal pada SK Adpel Banjarmasin
tertanggal 1 Nopember perihal penyesuaian tarif OPP dan OPT
khusus kayu logs. Oleh mereka, SK 1 Nopember itu dinilai
sebagai penurunan upah buruh secara drastis. "Itu jika dibanding
dengan SK Adpel sebelumnya prihal yang sama", kata Busri.
Ujarnya pula, "SK yang baru ini tidak menjelaskan apakah tarif
yang disesuaikan itu (rupiah yang diterima buruh) berupa actuil
size atau invoice size". Kalaupun begitu Busri tidak bisa
menunjukkan secara pas di mana letak tarif yang dinilainya
turun itu. Sebab tarif yang diperinci pada SK itu, adalah tarif
OPP dan OPT secara keseluruhan. Bukan perhitungan bersih upah
untuk buruh, misalnya seperti Jasa Shipping, Administrasi UKA,
Asuransi dan lain-lain, bahkan yang namanya biaya over-head
termasuk di situ.
Pihak Busri tetap berpendapat dengan SK baru itu upah buruh
turun, sementara orang-orang Adpel mengatakan naik. Tapi.
konfirmasi yang dilakukan TEMPO pada Adpel, akhirnya menyingkap
juga selubung selisih perhitungan antara Adpel vs Busri cs.
Bahkan agak meragukan kebenaran keterangan Busri pada Ketua DPRD
(yang mengatakan timbulnya gejolak keresahan) dan turunnya tarif
tadi. Setidaknya, Adpel punya argumentasi yang kuat dalam
penyusunan tarif yang di"sesuai"kan itu. "Tidak ada penurunan
upah buruh, malah dengan SK yang baru ini, upah buruh melonjak
naik jika dibanding dengan SK lama", ujar Adpel.
7 Eksportir
Menurut Newa Piarah, Adpel Banjarmasin, dari tarif lama Rp
396/m3 actuil size menjadi Rp 645. Atau upah buruh bersih berupa
uang (THP) alias Take Home Pay, dari Rp 14/m3 actuil size
tarif lama menjadi Rp 54,55. Angka bersih ini adalah setelah di
"potong-potong" untuk jasa shipping, administrasi UKA, asuransi,
transport, dana sosial, dana pembangunan perumahan, makan minum
di tempat kerja, biaya (ver-head dll. Khusus mengenai biaya
overhead yang konon tadinya (tarif lama) ditelan mentah-mentah
oleh mandor berupa keuntungan yang tidak terkontrol, kini sudah
bisa ditekan dari Rp 54,50 menjadi Rp 6.
Lantas bagaimana dengan keresahan buruh-buruh seperti dikatakan
Busri cs? Sama sekali tidak ada kegelisahan dan anda boleh
tanyai buruh-buruh di sini", sahut Rachmat Santoso SH, Ketua
SBKMI kepada TELMPO. Baik Rachmat maupun Drs. Ramonsyah - Ketua
FBSI - agak heran kenapa ketiga orang buruh tadi langsung
menghadap DPRD Tk I dan tidak memberitahu terlebih dahulu pada
induk organisasinya. Bukankah FBSI atau lebih tepat SBKMI lebih
berkompeten menyelesaikan setiap kasus yang timbul di kalangan
buruh khususnya yang beroperasi di pelabuhan? "Jelasnya",
demikian orang-orang di FBSI dan SBKII, "ketiga orang tnkoh
buruh tadi tidak menyelusuri permasalahan pada tangga-tangga
tertentu". Umpamanya, kenapa tidak melalui SBKMI, FBSI atau DPRD
Tk II dulu? "Kalau kita lapor pada SBKMI atau FBSI, suara kita
tak bakalan didengar" kilah Busri menanggapi masalah prosedur
itu.
Masalahnya belum selesai, malah lebih membengkak. Selanjutnya
giliran kalangan eksportir buka mulut. Di sini 7 perusahaan kayu
besar protes dan langsung menandatangani surat protes ketidak
sukaan pada SK Adpel 1 Nopember itu. Pernyataan tersebut mereka
tujukan pada DPC MPI alias Masyarakat Perkayuan Indonesia
Kalsel/Tengah agar organisasi disebut belakangan ini mcngajukan
appeal pada Adpel. Menurut ketujuh orang pimpinan perusahaan
kayu itu lahirnya SK Adpel tersebut tidak tepat pada saat
kondisi harga kayu dewasa ini. Sebab tarif yang disesuaikan oleh
Adpel itu, menurut mereka terlalu tinggi, ialah dari Rp 396/m3
menjadi Rp 645 Apakah perusahaan-perusahaan (pengusaha) kayu ini
tidak diikut-serta berunding dalam penyesuaian tarif itu ?
Kurang jelas. "Namun yang pasti, yang bayar tarif OPP dan OPT
itu, kan kita", kata seorang pengusaha kayu di sana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini