Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Kisah Umi Hanisah, Pedakwah Perempuan Aceh Pertama yang Mendirikan Pesantren

Cerita Umi Hanisah, tokoh yang mendukung toleransi dan kesetaraan di Aceh. Perempuan pertama yang memimpin pesantren.

9 Maret 2025 | 18.03 WIB

Hanisah di Dayah Diniah Darussalam Meulaboh, Aceh, Barat, NAD, 16 Juli 2020. Tempo/Iil Azkar Modzka
material-symbols:fullscreenPerbesar
Hanisah di Dayah Diniah Darussalam Meulaboh, Aceh, Barat, NAD, 16 Juli 2020. Tempo/Iil Azkar Modzka

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Masyarakat dunia memperingati Hari Perempuan Internasional yang jatuh saban 8 Maret. Memperingati momen spesial ini, Tempo mengangkat kembali cerita inspiratif Umi Hanisah, tokoh yang mendukung toleransi dan kesetaraan di Aceh. Perempuan pertama yang memimpin pesantren.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hanisah tidak bisa melupakan peristiwa yang dia alami di suatu malam pada 2010. Sejumlah warga Desa Meunasah Mancang, Kecamatan Kawai, Kabupaten Aceh Barat, memaksa Hanisah meninggalkan dayah (pesantren) yang ia bangun pada 10 Oktober 2000. “Umi turun sekarang, turun! Anak itu juga. Dia mengandung anak hasil zina!” begitu warga desa meneriaki perempuan yang biasa dipanggil Umi itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Di Dayah Diniyah Darussalam yang dia pimpin, Hanisah kala itu sedang menampung anak perempuan 13 tahun dalam keadaan hamil. Sebagian warga menganggap tindakan itu aib. Padahal anak itu adalah korban pemerkosaan ayahnya sendiri, yang dititipkan Yayasan Kelompok Kerja Sosial Perkotaan Aceh Barat.

Tak mau menyulut api yang lebih besar, Hanisah mengalah. Dia meninggalkan pesantren yang dibangunnya. Sebanyak 35 santri mengikuti langkahnya sambil menangis. Di antara para santri itu adalah anak korban kekerasan dalam rumah tangga, korban kekerasan seksual, penyintas konflik Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Tentara Nasional Indonesia, serta korban tsunami. 

Hanishan dan para santrinya kemudian tinggal di Kantor Cabang Partai Aceh, Desa Meunasah Buloh, Kecamatan Kawai XVI, Meulaboh, tulis laporan ‘Rumah Aman Teungku Meulaboh’ dalam edisi khusus Tempo pada 25 Juli 2020.

Di desa yang bersebelahan dengan lokasi pesantren lama itu, seorang mantan anggota GAM yang pernah menjadi santri di Dayah Diniyah Darussalam menawarkan penampungan untuk Hanisah, staf pengajar, dan para murid.

Bangunan itu berdinding kayu dengan atap daun rumbia seluas 45 meter persegi. Selama tiga bulan pertama, saat hujan mengguyur, air menerobos celah atap dan membuat mereka kuyup. Situasi yang jauh sekali dibanding dayah sebelumnya yang berdiri di atas tanah wakaf seluas 2 hektare dan sudah dilengkapi beragam fasilitas. “Masa-masa itu membuat hati saya hancur,” ucap Hanisah.

Barak itu pada akhirnya diwakafkan untuk Hanisah. Di lokasi tersebut, Hanisah dan para santrinya pelan-pelan membangun dayah baru. Dengan bantuan donatur, sebuah bangunan permanen didirikan persis di sebelah barak kayu. Dinamai sama, Dayah Diniyah Darussalam di Desa Meunasah Buloh itu bertahan hingga kini, kendati belum dapat menjadi sebesar pesantren terdahulu yang pernah menampung hingga seratus santri.

Sebagai pedakwah perempuan di Aceh, Umi Hanisah sering berbenturan dengan aturan yang meminggirkan kaumnya. Ketika duduk di kelas II sekolah menengah pertama, dia memprotes kebijakan sekolah yang memberi batas berbatas tirai pemisah dengan guru laki-laki mereka. 

Hanisah menyaksikan proses belajar itu sama sekali tak efektif karena para santri di balik tirai malah tidur atau bahkan meninggalkan kelas begitu saja, sementara guru tetap asyik sendiri mengajar.  Pimpinan pesantren malah tergerak oleh tindakan Hanisah. Sejak saat itu, tak ada lagi tirai pemisah di ruang kelas pesantren.

Pada 2009, misalnya, Hanisah memprotes Bupati Aceh Barat yang melarang perempuan mengenakan celana panjang, yang ditegaskan lewat Peraturan Bupati Nomor 5 Tahun 2010 tentang Penegakan Syariat Islam dalam Pemakaian Busana Islami di Aceh Barat.

Hanisah juga bergerak untuk membangun kekuatan kaum perempuan Aceh. Pada 2005, dia menginisiasi berdirinya Forum Ulama Perempuan (FUP) Aceh Barat, yang kemudian berkembang menjadi forum provinsi beranggotakan hampir 400 pedakwah perempuan. 

Selain berkecimpung di FUP, Hanisah aktif di Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh Barat. Dia satu-satunya perempuan di antara 25 anggota MPU.

Daniel Ahmad Fajri

Daniel Ahmad Fajri

Bergabung dengan Tempo pada 2021. Kini reporter di kanal Nasional untuk meliput politik dan kebijakan pemerintah. Bertugas di Istana Kepresidenan pada 2023-2024. Meminati isu hubungan internasional, gaya hidup, dan musik. Anggota Aliansi Jurnalis Independen.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus