Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Difabel

Permenkes Kesehatan Reproduksi: Aborsi Difabel Mental Intelektual Ditentukan oleh Keluarga

Beleid tersebut mengabaikan eksistensi penyandang disabilitas mental dan intelektual, terutama dalam menentukan hak otonom kesehatan reproduksi mereka

7 Maret 2025 | 07.56 WIB

Ilustrasi aborsi. TEMPO
Perbesar
Ilustrasi aborsi. TEMPO

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Aliansi Masyarakat Sipil untuk Layanan Kesehatan Adil dan Inklusi menilai Peraturan Menteri Kesehatan nomor 2 Tahun 2025 tentang Kesehatan Reproduksi diskriminatif dan berbalut stigma. Hal itu lantaran beleid tersebut mengabaikan eksistensi penyandang disabilitas mental dan intelektual, terutama dalam menentukan hak otonom kesehatan reproduksi mereka. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pasalnya salah satu ketentuan dalam Keputusan Menteri yang diterbitkan pada 20 Februari 2025 tersebut menetapkan bahwa difabel mental psikososial dan intelektual tidak cakap. Sehingga dua ragam disabilitas itu dianggap tidak dapat menentukan keputusan atas tubuh mereka sendiri. Ketentuan ini akan berdampak pada penanganan medis yang terkait dengan aborsi atau kontrasepsi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

"Di Pasal 52 dengan tegas menyampaikan bahwa orang dengan disabilitas, khususnya disabilitas mental dan intelektual adalah orang yang dikelompokkan sebagai orang yang tidak cakap, sehingga layanan aborsi tidak perlu dimintakan atas persetujuan mereka, tapi dapat diwakilkan oleh keluarga atau wali, atau tenaga medis," kata Vatum Ade, Koordinator Advokasi Perhimpunan Jiwa Sehat dalam konferensi pers yang diadakan oleh aliansi Masyarakat Sipil Untuk Layanan Kesehatan Adil dan Inklusi secara daring, Kamis ,6 Maret 2025.

Menurut Dede, begitu panggilan Vatum Ade, aturan dalam pasal tersebut sangat diskriminatif, ableism, dan merampas serta menghilangkan hak penyandang disabilitas mental dan intelektual dalam menentukan pilihan tubuh mereka sendiri. Selain itu, aturan ini sangat bertentangan dengan Piagam PBB yang mengatur tentang hak penyandang disabilitas (UNCRJPD) yang sudah diratifikasi oleh Indonesia sejak 2011. Keputusan Menteri Kesehatan ini juga bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang penyandang disabilitas. 

"UNCRPD sudah mengatur ketentuan tentang hak otonom perempuan disabilitas atas tubuh mereka sendiri, termasuk disabilitas mental intelektual," kata Dede dari Aliansi Masyarakat Sipil Untuk Layanan Kesehatan Adil dan Inklusi. Dia juga menemukan bahwa keputusan ini bertentangan dengan Undang- Undang Kesehatan Nomor 17 tahun 2023, sebagai payung hukum yang mengatur di atasnya.

Tidak hanya menghilangkan hak otonom perempuan penyandang disabilitas mental dan intelektual atas tubuh mereka, Keputusan Menteri Kesehatan tentang kesehatan reproduksi ini juga tetap menggunakan terminologi yang sudah banyak dihapuskan dalam berbagai peraturan, seperti penggunaan kata penyandang cacat dan mengelompokkan penyandang disabilitas mental intelektual sebagai orang yang tidak cakap bersama anak-anak.

"PMK Kespro ini masih menggunakan medical model based approach (pendekatan berbasis kesehatan) untuk mengatur regulasi tentang penyandang disabilitas, padahal UNCRPD telah menggunakan human rights based model (pendekatan berbasis hak azazi manusia)," kata Dede. 

Dengan demikian, Aliansi Masyarakat Sipil Untuk Layanan Kesehatan Adil dan Inklusi menuntut agar berbagai aturan dalam Peraturan Menteri Kesehatan nomor 2 tahun 2025 yang bertentangan dengan penyandang disabilitas maupun kelompok rentan lainnya dicabut. 

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus