Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TELEPON seluler Muhammad Khoiruddin dibanjiri pesan pendek yang masuk beberapa hari setelah ia bebas dari Lembaga Pemasyarakatan Kelas 1 Malang, Jawa Timur, pada awal Agustus tahun lalu. Bekas terpidana kasus terorisme berusia 33 tahun itu tidak mengetahui semua identitas pengirim pesan pendek tersebut, meski mereka sudah memperkenalkan diri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Banyak yang menanyakan kabar dan keadaan saya setelah bebas,” katanya, akhir pekan lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pria asal Tegal, Jawa Tengah, itu memilih tidak membalas pesan pendek tersebut. Ia lebih dulu bertanya kepada Detasemen Khusus 88 Antiteror Kepolisian Republik Indonesia. Sebab, lembaga antiteror ini sudah mempunyai pemetaan anggota jaringan teroris di Indonesia.
Dari situ Khoiruddin mengetahui bahwa sebagian pengirim pesan tersebut merupakan anggota jaringan teroris yang berstatus "merah"—masih menganut ideologi radikal dan berhubungan dengan jaringan terorisme.
Khoiruddin merupakan mantan anggota Jamaah Ansharud Daulah (JAD), kelompok teroris di Indonesia yang terafiliasi dengan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Densus 88 Antiteror menangkapnya di Kendal, Jawa Tengah, pada Oktober 2017. Ia terlibat perencanaan dan pembuatan bom untuk jaringan JAD Tegal dan Bekasi. Ia pun divonis 6 tahun penjara dalam perkara tersebut.
Setelah bebas dari penjara, Khoiruddin bertekad tak ingin kembali ke jaringan teroris. “Saya sudah memutuskan kembali ke NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) dan berusaha menutup akses untuk berinteraksi dengan jaringan (teroris),” ujarnya.
Sebelum ditangkap, Khoiruddin bergabung dengan JAD pada 2017. Meski begitu, tiga tahun sebelumnya, Khoiruddin sudah rutin mengikuti kajian jaringan JAD di Bekasi, Jawa Barat. “Awalnya saya mempelajari pemahaman radikal ini dari Internet,” ujarnya.
Mantan terpidana kasus teroris, Muhammad Khoirudin. Istimewa
Khoiruddin menjelaskan, banyak rintangan yang dihadapi setelah dirinya memutuskan tak terlibat lagi dalam jaringan teroris dan ingin berbaur di masyarakat. Awalnya ia kesulitan berbaur dengan masyarakat di kampung halamannya di Tegal. Cap teroris yang disandangnya membuat warga memilih menjaga jarak dengannya.
“Apalagi pas mendengar saya ditangkap dulu, mereka sangat takut," ucapnya.
Namun Khoiruddin tak menyerah. Ia berusaha meyakinkan penduduk di kampung halamannya. Caranya, ia kerap mengikuti berbagai kegiatan kemasyarakatan di sana, dari pengajian hingga upacara pengibaran bendara merah-putih.
Kegiatan tersebut sebenarnya cukup asing bagi Khoiruddin. Sejak terpapar paham radikal, ia tidak pernah mengikuti pengajian di luar jaringannya serta tak pernah ikut upacara pengibaran bendera merah-putih.
Saat itu, Khoiruddin mengganggap orang di luar kelompoknya kafir. Kegiatan upacara pengibaran bendera dianggapnya perbuatan syirik.
“Jangankan ikut pengajian warga, mendengar saja saya tidak akan mau kalau ustad yang memberi kajian di luar anggota kami,” ujarnya. “Sekarang berbagai kajian dari ustad yang berasal dari Muhammadiyah ataupun Nahdlatul Ulama saya ikuti.”
Berbagai upaya Khoiruddin itu membuahkan hasil. Perlahan-lahan masyarakat menerima kehadirannya. Mereka mulai terbiasa dengan Khoiruddin dan melupakan cap teroris tersebut.
“Ketika pulang, saya hanya ingin menunjukkan sikap yang baik. Kalau kita sudah baik, masyarakat juga akan baik,” ujar Khoiruddin.
Sejak bebas dari penjara, Khoiruddin juga aktif di Yayasan Dekat Bintang dan Langit (DeBintal)—lembaga binaan Densus 88 Antiteror Polri. Yayasan ini berperan membantu bekas narapidana kasus terorisme dalam proses reintegrasi dan membangun kemandirian serta kegiatan deradikalisasi.
Khoiruddin bersyukur DeBintal menampungnya setelah ia bebas dari penjara. Selain di DeBintal, selama bulan puasa ini, Khoiruddin bekerja paruh waktu di perusahaan e-commerce. Tujuannya untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga.
“Yang menjadi kendala program reintegrasi sosial eks napi teroris, begitu keluar, mereka tidak punya aktivitas dan pekerjaan,” ujar Khoiruddin. “Mereka pasti jadi sasaran jaringan (teroris) lama yang tidak mau melepaskan anggotanya.”
Sekretaris Jenderal DeBintal Hendro Fernando mengatakan godaan bagi eks narapidana teroris untuk kembali ke jaringan teroris masih sangat tinggi. Biasanya, kata dia, saat terpidana teroris bebas, akan ada anggota jaringan teroris yang menawarkan bantuan hingga ajakan kembali bergabung ke kelompok teror.
“Itu yang membuat mereka terpengaruh dan masuk kembali ke dalam jaringan (teroris),” kata mantan anggota JAD itu.
Peternakan burung puyuh yang didirikan lembaga binaan Densus 88 Antiteror Polri, Dekat Bintang dan Langit (DeBintal), di Bekasi, Jawa Barat. Istimewa
Khoiruddin dan Hendro merupakan contoh mantan narapidana teroris yang berhasil hijrah, dari kelompok radikal menjadi toleran, lewat program deradikalisasi. Sesuai dengan data kepolisian, tercatat 4.892 narapidana kasus terorisme dan keluarganya yang berhasil dideradikalisasi hingga akhir tahun lalu. Dari angka tersebut, sebanyak 256 orang berstatus hijau, yaitu terbebas dari jaringan terorisme dan bersedia berjanji setia kepada NKRI.
Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri sudah menangkap hampir 3.000 terduga teroris sejak 1999 hingga kini. Penangkapan terbanyak terjadi pada 2018 dan 2021. Terduga teroris yang ditangkap pada 2018 mencapai 396 orang dan 370 orang pada 2021.
Pada awal tahun ini, Densus 88 Antiteror kembali menangkap sepuluh orang terduga teroris di Solo Raya, Jawa Tengah. Mereka diduga terafiliasi dengan Jamaah Islamiyah—kelompok teror yang dipimpin Abu Bakar Ba'asyir. Peran mereka bervariasi, dari fasilitator kegiatan hingga pencarian dana Jamaah Islamiyah.
Deradikalisasi Mantan Narapidana Terorisme
Direktur Bidang Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Ahmad Nurwakhid mengatakan lembaganya melakukan berbagai upaya untuk mencegah mantan narapidana terorisme kembali terperosok ke kelompok teror. Cara pencegahan itu berawal dengan asesmen psikologis dan kemandirian, tingkat keterpaparan paham radikal, serta kondisi wilayah, keluarga, dan lingkungan masyarakat.
Ahmad menyebutkan tujuan penilaian aspek psikologis dan kemandirian adalah untuk mengetahui kesiapan mental serta potensi bakat dan minat narapidana menjelang bebas dari penjara. Hasil dari asesmen tersebut menjadi pijakan BNPT dalam megintervensi narapidana terorisme.
“Penilaian terhadap tingkat keterpaparan juga dilakukan untuk memastikan apakah seorang narapidana terorisme masih memiliki hubungan dengan jaringan lamanya,” katanya.
Ahmad mengatakan salah satu indikator keberhasilan program deradikalisasi adalah ketika mantan teroris dapat kembali ke masyarakat. Tapi, sebelum bekas teroris berbaur lagi dengan masyarakat, BNPT akan menyiapkan mental narapidana ataupun keluarganya serta membekali keahlian agar dapat memenuhi kebutuhan ekonominya.
“Mereka juga mesti berkomitmen meninggalkan pemahaman dan sikap radikal teroris,” katanya.
Pengamat terorisme, Noor Huda Ismail, mengatakan langkah pertama proses deradikalisasi dan reintegrasi narapidana teroris adalah memetakan afiliasi jaringan teror, gender, ataupun daerah yang bersangkutan. “Jadi penanganannya berbeda-beda. Menangani teroris dari jaringan ISIS atau Jamaah Islamiyah pasti berbeda pendekatannya,” ucapnya.
Ia menuturkan yang paling penting dalam proses deradikalisasi dan reintegrasi adalah peran keluarga. Peran istri atau ibu dari eks narapidana kasus terorisme tersebut sangat penting untuk program reintegrasi sosial mereka. “Kalau pasangan atau keluarga oke, mereka akan lebih mudah membuka lembaran baru. Terkadang justru yang kencang pemahamannya adalah istri,” katanya.
Menurut Noor Huda, kunci utama penyiapan narapidana teroris kembali ke masyarakat terletak pada keluarganya. Jika keluarganya bisa diajak bekerja sama, keberhasilan program deradikalisasi dan reintegrasi bakal makin besar. Sebab, titik kritis program reintegrasi terlihat dalam rentang dua tahun setelah mantan narapidana teroris itu kembali ke masyarakat.
“Kalau di masa kritis itu kita tidak punya pegangan keluarga, repot untuk memastikan program reintegrasi mereka bisa berhasil,” katanya.
Ia berpendapat BNPT dan kelompok teror akan saling berebut pengaruh terhadap mantan narapidana teroris. BNPT akan berusaha menjaga agar mereka tidak kembali ke jaringan teror. Sebaliknya, kelompok teroris akan terus menggoda mantan narapidana terorisme tersebut agar kembali bergabung ke mereka.
Noor Huda melanjutkan, mantan narapidana terorisme juga dihadapkan pada persoalan ekenomi. Urusan ekonomi ini yang juga kerap menjadi godaan sehingga mereka kembali ke jaringan teroris.
“Jadi, siapa yang paling sering mendekati, itu yang akan diikuti,” ujar Noor Huda. “Masalahnya, jaringan teroris juga kuat dalam mendekati eks narapidana teroris agar bergabung kembali.”
Sesuai dengan catatan Noor Huda, sebanyak 10 persen eks narapidana terorisme kembali ke jaringan teroris setelah bebas dari penjara. Mereka tak bersedia mengikuti program deradikalisasi ataupun reintegrasi pemerintah.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo