Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kantor media Tempo mendapat teror berupa kiriman kepala babi tanpa telinga dan bangkai tikus dengan kepala terpenggal dalam sepekan terakhir. Teror tersebut memicu kekhawatiran publik dan mengingatkan akan praktik kekerasan terhadap jurnalis yang pernah marak terjadi di masa Orde Baru.
Salah satu insiden yang paling mencolok dalam sejarah pers Indonesia terjadi pada 1983, ketika Peter Rohi, yang saat itu menjabat sebagai Direktur Pelaksana Harian Suara Indonesia di Malang, menerima paket berisi kepala manusia yang dikirim ke kantornya. Kepala tersebut dimasukkan ke dalam kantong plastik dan kardus, sebagai bentuk ancaman atas laporan investigatif yang sedang ia kerjakan.
Pada saat itu, Indonesia tengah dilanda kasus pembunuhan misterius oleh Petrus (penembak misterius), yang diduga bertujuan untuk menekan angka kejahatan dengan cara mengeksekusi para preman tanpa proses hukum yang jelas. Namun, seiring berjalannya waktu, laporan investigasi yang dilakukan oleh media mengungkap bahwa korban Petrus bukan hanya para pelaku kejahatan jalanan, tetapi juga petani, aktivis, perawat, dan bahkan lawan politik dari beberapa pejabat desa.
Peter Rohi menginstruksikan seluruh koresponden Suara Indonesia untuk mencatat identitas korban, sebuah langkah yang kemudian membuatnya dianggap sebagai ancaman oleh pihak-pihak tertentu. Akibat keberaniannya dalam mengungkap fakta-fakta yang mengusik penguasa, ia pun menjadi target teror. Kiriman kepala manusia ke kantornya menjadi bukti nyata bahwa kebebasan pers di Indonesia tengah berada dalam ancaman serius.
Meskipun menghadapi ancaman besar, Peter Rohi tidak gentar. Ia menegaskan bahwa dirinya bukan membela preman atau pelaku kriminal, tetapi memperjuangkan prinsip dasar bahwa setiap warga negara berhak diadili secara hukum yang adil dan mendapatkan pembelaan yang layak. Kasus ini bahkan menarik perhatian internasional, di mana komunitas pers dunia mengecam tindakan kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia.
Peter Rohi adalah salah satu tokoh pers nasional yang dikenal dengan liputan investigasinya yang tajam dan mendalam. Ia lahir di Nusa Tenggara Timur pada 14 November 1942 dan mulai meniti karier jurnalistik sejak tahun 1970. Selain sebagai wartawan, ia juga dikenal sebagai penulis buku sejarah, termasuk yang membahas jejak Soekarno dalam beberapa karyanya. Peter juga merupakan tokoh di Soekarno Institut dan berkontribusi dalam upaya pelestarian sejarah, seperti memperjuangkan rumah kelahiran Soekarno di Surabaya.
Semasa hidupnya, Peter dikenal sebagai jurnalis yang jujur, berani, dan berdedikasi tinggi terhadap dunia jurnalistik. Ia bahkan kerap menggunakan dana pribadinya untuk mendanai liputan investigati. Namun perjuangan panjangnya dalam dunia pers akhirnya berakhir pada 10 Juni 2020, ketika ia mengembuskan napas terakhir di Surabaya.
Pilihan Editor: Teror Kepala Babi ke Tempo, Pengamat Kepolisian: Jika Tak Diusut, Publik Bisa Curiga
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini