Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RAPAT pembahasan praktik "cuci rapor" Sekolah Menengah Pertama Negeri 19 Depok, Jawa Barat, berlangsung alot. Dinas Pendidikan Kota Depok menolak menganulir penerimaan 51 calon peserta didik lulusan SMPN 19 dalam penerimaan peserta didik baru (PPDB) 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rapat yang dilakukan di salah satu hotel di Senayan, Jakarta Pusat, 12 Juli 2024, digelar setelah adanya temuan penggelembungan nilai 51 lulusan SMPN 19 Depok oleh sekolah. Kasus ini terbongkar ketika Inspektorat Jenderal Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi menemukan anomali data 51 calon peserta didik dari SMPN 19 saat PPDB tahap II.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saat mengauditnya, Kementerian Pendidikan menemukan nilai 51 pendaftar itu ternyata digelembungkan sampai 20 persen dari nilai asli yang tercatat pada e-Rapor. E-Rapor merupakan aplikasi yang dikembangkan Kementerian Pendidikan untuk memudahkan guru mengisi nilai siswa.
Berdasarkan temuan tersebut, anggota Ombudsman RI, Indraza Marzuki Rais, mendesak agar 51 calon peserta didik itu dianulir dari PPDB. Sebab, kata dia, pembatalan harus dilakukan apabila ada kecurangan. Hal ini sesuai dengan Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 9 Tahun 2024 tentang PPDB.
"Jika memang betul ada kecurangan, sesuai dengan Peraturan Gubernur dan kepatutan, harus dibatalkan. Tapi dengan catatan Dinas Pendidikan Kota Depok harus bertanggung jawab memberikan anak-anak itu akses pendidikan, entah ke sekolah swasta atau SMA terbuka," kata Indraza saat dihubungi Tempo, Kamis, 18 Juli 2024.
Rapat itu dihadiri Itjen Kementerian Pendidikan, Inspektorat dan Dinas Pendidikan Kota Depok, Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat, Ombudsman RI, dan perwakilan sejumlah kepala sekolah menengah atas negeri di Depok. Dalam rapat tersebut, Dinas Pendidikan Kota Depok sebelumnya menolak menganulir penerimaan 51 calon peserta didik itu.
Alasannya, mereka sudah diterima dan diumumkan. Namun Dinas Pendidikan Kota Depok mengakui SMPN 19 memang sengaja mengatrol nilai untuk meloloskan 51 muridnya dalam PPDB. Rapat yang berlangsung selama lima jam itu akhirnya tetap memutuskan menganulir 51 calon peserta didik lulusan SMPN 19 Depok.
Kepala Dinas Pendidikan Kota Depok Siti Chaerijah Aurijah belum merespons permintaan konfirmasi Tempo soal rapat tersebut. Adapun Sekretaris Dinas Pendidikan Kota Depok Sutarno enggan menjelaskan apakah sudah ada klarifikasi dari Kepala SMPN 19 soal praktik cuci rapor. Ia mengatakan kasus SMPN 19 Depok sedang ditangani Itjen Kementerian Pendidikan.
Sutarno mengatakan saat ini Dinas Pendidikan Kota Depok masih berfokus mengawal 51 calon peserta didik yang dianulir dari beberapa SMA negeri di wilayah itu.
"Namun bagi kami yang lebih utama adalah menangani dulu anak-anak itu supaya sekolahnya tidak telantar," ujarnya, Kamis, 18 Juli 2024.
Sutarno menjelaskan, Dinas Pendidikan Kota Depok bertanggung jawab memfasilitasi 51 pelajar ini masuk sekolah swasta. Mereka telah diterima di sekolah swasta setelah Dinas Pendidikan berkoordinasi dengan Musyawarah Kerja Kepala Sekolah. Kendati demikian, Dinas Pendidikan tidak memberikan bantuan subsidi kepada para pelajar tersebut.
"Enggak ada (bantuan dana) karena kami hanya memfasilitasi sampai mereka bisa memperoleh sekolah," ucapnya.
Adapun Kepala SMPN 19 Depok Nenden Eveline Agustina tidak membantah manipulasi nilai rapor yang dilakukan sekolahnya. Namun ia enggan menjelaskan motif sekolahnya melakukan praktik culas tersebut. Dia hanya menegaskan akan menerima konsekuensi atas kecurangan itu.
"Dari proses yang kami jalani, memang kami akui ada kesalahan dan kami sudah siap atas konsekuensinya bersama Dinas Pendidikan," katanya saat dimintai konfirmasi di SMPN 19 Depok, Jalan Leli, Kelurahan Depok Jaya, Kecamatan Pancoran Mas, Selasa, 16 Juli 2024.
Kepala SMP Negeri 19 Depok Nenden Eveline Agustina saat dikonfirmasi terkait cuci nilai rapor di SMPN 19 Depok, Kecamatan Pancoran Mas, 16 Juli 2024. TEMPO/Ricky Juliansyah
Sampai saat ini belum diketahui apakah ada transaksi uang atau pungli di balik praktik cuci rapor tersebut. Namun Kepala Seksi Intelijen Kejaksaan Negeri Depok Muhammad Arief Ubaidillah telah menginstruksikan jajarannya menyelidiki skandal katrol nilai rapor yang diduga dilakukan aparatur sipil negara itu.
"Tentu kami akan mendalami skandal manipulasi (katrol nilai rapor) ini," ujarnya saat dimintai konfirmasi Tempo, Kamis, 18 Juli 2024.
Pria yang karib disapa Ubay ini mengatakan pihaknya tidak akan pandang bulu jika menemukan indikasi unsur pidana dalam skandal tersebut. Apalagi skandal ini diduga terkait dengan tindak pidana korupsi gratifikasi atau suap.
"Masih proses telaah, ya. Kami belum bisa ungkap lebih lanjut. Tujuan telaah ini adalah memberikan masukan dan pertimbangan kepada pimpinan apakah informasi manipulasi nilai rapor yang diduga dilakukan ASN ini layak diteruskan ke seksi tindak pidana khusus guna dilakukan proses hukum," ucapnya.
Inspektur Jenderal Kementerian Pendidikan Chatarina Muliana Girsang belum merespons permintaan konfirmasi Tempo ihwal kasus cuci rapor di Depok ataupun masalah-masalah PPDB lainnya. Pesan Tempo kepada Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah Kementerian Pendidikan Muhammad Hasbi juga belum berbalas.
Indraza Marzuki Rais menuturkan praktik cuci rapor yang dilakukan SMPN 19 Depok terjadi karena masih ada celah untuk melakukan kecurangan dalam PPDB. Ia menjelaskan ada empat jalur penerimaan siswa baru, yakni jalur zonasi, afirmasi, perpindahan tugas orang tua, dan prestasi. Namun, kata dia, tiga jalur pertama memang lebih sulit diakali.
"Satu-satunya jalur yang bisa diakali adalah jalur prestasi, baik akademik maupun non-akademik," tuturnya.
Indraza menjelaskan, jalur prestasi lebih mudah diakali karena biasanya praktik ini melibatkan pihak sekolah, bahkan dinas pendidikan. Ia mencontohkan kasus kecurangan yang terjadi dalam PPDB Sumatera Selatan. Ombudsman menemukan 919 calon peserta didik yang kedapatan berbuat curang lewat jalur ini.
"Ada beberapa prestasi palsu yang kami temukan," katanya.
Indraza menyatakan modus manipulasi jalur prestasi beragam. Misalnya, kata dia, dengan mengubah data setelah daftar nama disetorkan kepada dinas pendidikan. Untuk kasus di Sumatera Selatan, Ombudsman menemukan perubahan urutan nama dalam aplikasi. Nama-nama yang mendapat nilai kecil justru naik dan masuk. Sebaliknya, nama yang memiliki nilai besar dan berhak lolos justru berada di urutan bawah.
"Selain itu, ada modus pemalsuan sertifikat. Dan yang lebih lucu, ada anak yang tidak mendaftar tiba-tiba namanya muncul," ujarnya.
Petugas membantu orang tua murid dan calon peserta didik baru melakukan pengecekan status pendaftaran Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) di Posko Pelayanan PPDB Tahun 2024, Aula SMK Negeri 1, Jakarta, 26 Juni 2024. ANTARA/Muhammad Adimaja
Di samping jalur prestasi, jalur PPDB lain tak luput dari masalah. Indraza mengatakan sistem zonasi juga disalahartikan dengan mengukur jarak dari rumah ke sekolah. Padahal, ia melanjutkan, sistem ini didasarkan pada zona dan bukan jarak. Walhasil, masih ada yang keliru memahami petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis penentuan zona.
Indraza juga menyoroti jalur afirmasi. Menurut dia, jalur afirmasi saat ini baru mengakomodasi anak-anak dari kelas perekonomian bawah dan belum mencakup anak yang menyandang disabilitas. Kemudian, jalur mutasi atau pindah tugas orang tua pun dinilai tidak adil, terutama bagi mereka yang bekerja sebagai buruh nelayan atau pedagang.
"Kalau mutasi, harus ada surat pindah. Itu kalau yang bekerja di perusahaan atau instansi. Kalau pedagang dan nelayan bagaimana?" ucapnya.
Selain kecurangan, Indraza melanjutkan, masalah dalam PPDB adalah ketidaksesuaian praktik dengan peraturan. Adapun aturan yang dimaksudkan adalah Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 1 Tahun 2021 serta Keputusan Sekretaris Jenderal Kemendikbud Nomor 47 Tahun 2023, yang keduanya mengatur PPDB taman kanak-kanak, SMP, SMA, dan SMK. Masalah lain adalah intervensi pejabat yang mencampuri proses PPDB sehingga memicu kecurangan, seperti praktik cuci rapor atau pungli.
"Ini terjadi karena minimnya pengawasan oleh inspektorat dan dinas terhadap sekolah-sekolah," tuturnya.
Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru Satriwan Salim mengatakan praktik cuci rapor demi lolos PPDB disebabkan oleh persepsi masyarakat yang masih terjebak konsep sekolah unggulan. Padahal, kata dia, sistem sekolah unggulan atau sekolah favorit sudah dihapus.
"Mindset lama ini kan masih umum di kalangan orang tua bahwa masih ada sekolah unggulan," ujarnya saat dihubungi Tempo, Kamis, 19 Juli 2024.
Menurut dia, persepsi ini membuat pelaksanaan PPDB bermasalah. Apalagi ada keterbatasan kuota atau kursi sekolah negeri untuk setiap jenjang. Makin tinggi jenjangnya, makin sedikit sekolah yang tersedia. Sementara jumlah sekolah negeri terbatas, jumlah calon peserta yang masuk makin banyak.
"Ini sebetulnya persoalan sistemik. Di situlah PPDB gagal dalam pemerataan pendidikan," kata dia.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Ricky Juliansyah dan Savero Aristia Wienanto berkontribusi dalam penulisan artikel ini