Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Demokrasi yang seolah-olah

Pada acara malam halal bihalal, ketua umum forum demokrasi, abdurrahman wahid, menyinggung keadaan demokrasi di indonesia. telah berdiri forum demo- krasi di yogya, surabaya dan semarang.

18 Mei 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Forum Demokrasi menggelarkan acaranya yang pertama: halal bihalal. Di Surabaya, Yogya, dan Semarang, juga berdiri Forum Demokrasi. BELAKANGAN ini, apa pun yang "berbau" demokrasi, tampaknya banyak mengundang peminat. Buktinya, acara malam halal bihalal yang diselenggarakan oleh Forum Demokrasi di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, disesaki oleh undangan yang berbagai ragam. Acara Senin malam lalu itu antara lain dihadiri bekas Gubernur DKI Jaya Ali Sadikin, anggota DPR dari Fraksi ABRI Mayjen. Syamsuddin, bekas Menteri Penerangan Mashuri, H.J.C. Princen, Chalid Mawardi, Harry Tjan Silalahi, dan sejumlah tamu dari beberapa kedutaan asing. Mereka ini berbaur dengan ratusan tamu lain seperti Eros Djarot, Christine Hakim, Emha Ainun Nadjib, dan puluhan wartawan dalam dan luar negeri. Dalam suasana yang "panas" itulah -- jumlah tamu yang melebihi 200 undangan yang disebar semakin menyesakkan ruang pameran TIM, tempat berlangsungnya acara, yang tak berpendingin hawa -- Abdurrahman Wahid, Ketua Forum Demokrasi, tampil ke muka podium. Dalam sambutannya, ia antara lain mengatakan bahwa acara ini adalah sekadar acara kangen-kangenan dalam suasana santai. Abdurrahman Wahid menegaskan kembali kehadiran Forum Demokrasi sebagai ajang bertukar pendapat. "Forum ini bukanlah lembaga, tidak melakukan politik praktis dan bukan oposisi". Penjelasan ini tampaknya perlu ia tegaskan kembali setelah sehari sebelumnya ia sempat berbincang-bincang dengan J. Pronk, Ketua IGGI, tentang maksud dan tujuan Forum Demokrasi (FD). Yang lebih menarik adalah apa yang diungkapkan oleh Gus Dur -- panggilan Ketua FD -- dalam sambutan tertulisnya yang dibagikan pada para hadirin. Antara lain ia menyinggung keadaan demokrasi di dalam negeri. Ia prihatin terhadap kondisi masyarakat yang digambarkannya berada dalam "suasana seolah-olah". "Seolah-olah hukum sudah tegak, seolah-olah sistem demokrasi berlaku, seolah-olah tindakan penguasa selalu konstitusional, seolah-olah ada kebebasan, dan sebagainya," tulis Gus Dur. Keadaan semacam ini, menurut dia akan semakin menjadi buruk, ketika setiap warga negara menerimanya sebagai hal yang wajar -- karena tidak bisa mengelak dan terpaksa ikut bermain dalam sistem "seolah-olah normal", demi keselamatan pribadi. Memang ia sudah mengingatkan, untuk sebuah demokrasi, dibutuhkan pengorbanan dalam berbagai bentuk. Dalam kondisi yang serba terjepit dan materialistis sekarang ini, ia akui sangat sulit untuk melawan rayuan, hasutan, dan tekanan dari kekuatan anti-demokrasi yang ingin mempertahankan status quo, atau bahkan memundurkannya -- tak jarang mengatasnamakan stabilitas politik yang sukar dibantah kegunaannya. Nah, bentuk pengabdian yang paling "minim" risikonya, kata Gus Dur, adalah dengan tidak terlibat dalam sikap dan perbuatan yang dianggap bisa membunuh atau menghambat pertumbuhan demokrasi. "Bila prinsip dengan konsekuensi seringan ini pun tidak bisa dijanjikan, apa lagi yang tertinggal untuk diandalkan sebagai etika demokrasi?" tanya Gus Dur. Adanya demokrasi itu tidak hanya ditentukan oleh adanya lembaga-lembaga konstitusional atau badan-badan resmi suatu sistem demokrasi. Lembaga-lembaga itu bisa tidak berfungsi dan hanya punya nilai nominal belaka. "Adanya DPR bukan langsung berarti berfungsinya perwakilan. Adanya MPR belum tentu berarti rakyat berdaulat.... Walhasil, adanya lembaga-lembaga demokrasi belum menjamin adanya demokrasi sendiri," tulis Gus Dur. Tampaknya, ia ingin menjawab tanggapan-tanggapan ketika forum ini berdiri pertengahan Maret lalu, yang menganggap lembaga yang ada sudah cukup untuk menampung aspirasi yang ada. Menurut Gus Dur, semua itu belum cukup. Sementara lembaga demokrasi yang sudah ada belum berfungsi, ia dibikin sebagai bukti adanya demokrasi. "Sambil menjadikan lembaga itu satu-satunya tempat yang sah bagi kegiatan pencetusan aspirasi," tulis Gus Dur. Ini disebutnya sebagai cara pandang yang sempit. Abdurrahman Wahid juga menyinggung perlunya lembaga judicial review atau hak uji peraturan perundang-undangan. "Kita butuh institusi yang punya wewenang menilai UU yang cocok atau tidak dengan UUD. Karena itu, kita harus memperjuangkan agar Mahkamah Agung memiliki wewenang itu," kata Gus Dur. Contohnya, ia menunjuk ke Undang-Undang Anti-Subversi. Menurut Gus Dur, konstitusi pada hakikatnya mengatur kekuasaan dan hubungan kekuasaan di dalam negara. "Kita ingin memberikan penekanan pada segi bahwa konstitusi justru diadakan untuk menjamin warga negara dari kemungkinan kesewenang-wenangan kekuasaan negara," katanya. Dengan cara pendekatan seperti ini, kita bisa melihat konstitusi bukan hanya sebagai sumber "pemberi kekuasaan pada negara". Maka, bisa dipahami, kekuasaan negara pun bisa bertindak "inkonstitusional", yakni ketika ia bertindak melampaui batas wewenang yang ditetapkan konstitusi. Acara yang tampak santai itu sebetulnya "nyaris" batal karena beberapa jam sebelum acara dimulai, barulah izin dari kepolisian keluar, padahal permohonan izin sudah diajukan sejak 2 Mei yang lalu. Forum Demokrasi tampaknya mulai bergaung ke mana-mana. Kini, sudah berdiri FD-FD yang lain, seperti di Surabaya, Yogyakarta, dan Semarang. "Ini menandakan demokrasi dibutuhkan di mana-mana," kata Gus Dur. Bagaimana soal nama FD yang harus diubah? "Sedang dipikirkan. Tapi ada ide, namanya diubah menjadi 'Forum Mendoakan Demokrasi'," kata Gus Dur bergurau. Rustam F. Mandayun dan Wahyu Muryadi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus