MESTINYA Turis Effendi gembira kembali menjadi orang merdeka. Vonis 5 bulan kurungan oleh Pengadilan Negeri Sidoarjo, Jawa Timur, awal Februari lalu, persis sama dengan masa tahanannya. Tapi bekas buruh PT Maspion itu tak puas. "Hukuman itu terlalu berat," ujarnya kesal. Maka, bersama delapan kawan senasib, Turis naik banding melalui Munir, S.H., pengacara LBH Surabaya. Turis adalah contoh nyata nasib buruh yang kejeblos dalam unjuk rasa berbau kekerasan. Dalam pemogokan yang berjalan hampir sebulan, Juli sampai Agustus 1993 itu, Turis terlibat. Ia berada di antara ribuan buruh PT Maspion -- perusahaan yang memproduksi perkakas elektronik dan pipa aluminium -- yang menuntut perbaikan nasib. Aksi itu kemudian diwarnai dengan tindak perusakan. Buntutnya, puluhan pekerja pabrik diciduk. Turis sial, masuk dalam daftar "oknum" yang dianggap perlu diadili. Ia didakwa melakukan perusakan: melempar kaca kantor pabrik sampai pecah dan merusak pot kembang. Walhasil, ia kena 5 bulan, sama dengan nasib buruh yang lain, termasuk Abdul Ghofur yang didakwa cuma menghancurkan dua lampu taman di halaman pabrik. Teman mereka, Sucipto, malah cuma karena menimpuk pecah kaca mobil. Jangankan sampai menggores mobil, melakukan aksi mogok ala buruh Maspion itu sendiri sebenarnya sudah bisa kena hukum. Soalnya, aksi itu tak mengikuti prosedur yang tertuang dalam UU No. 22/1957. Undang-undang yang masih berlaku sampai sekarang itu memang mengakui hak buruh untuk mogok. Tapi pemogokan itu harus melewati prosedur baku. Paling lambat sepekan sebelum mogok para buruh harus mengirim surat resmi ke Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah (P4D), dan mengajukan tuntutannya. Kalau badan yang terdiri atas wakil pengusaha, buruh (melalui SPSI), dan Kantor Departemen Tenaga Kerja itu tak becus mencari jalan tengah, baru pemogokan boleh dilakukan. Memang undang- undang pemogokan liar itu tampaknya kini tak pernah dipakai. Soalnya, bui bisa penuh. Kalaupun pemogokan lepas dari jeratan hukum, tak berarti posisi mereka aman. Mereka yang dianggap sebagai penggerak aksi mogok biasanya ditendang ke luar pabrik. Itulah yang dialami oleh Tumar dan lima kawannya, bekas buruh PT Winrad Jaya di Cakung, Jakarta Timur. Mereka dianggap menghasut pemogokan yang menuntut tunjangan hari raya, Maret 1992. Aksi mogok buruh PT Winrad itu terjadi. Tuntutan mereka pun dikabulkan. Tapi Tumar dan lima kawannya di-PHK. Pemecatan itu direstui oleh P4D Jakarta. Tumar naik banding. Oleh P4P (Pusat) pemecatan itu dibatalkan: Tumar dan kawan-kawannya harus dipekerjakan kembali. Lalu pemimpin PT Winrad naik banding ke Menteri. Vonis pun dijatuhkan Menteri Tenaga Kerja Abdul Latief, awal Januari lalu. Lewat surat keputusannya, Menteri Abdul Latief tampaknya mencoba berlaku adil. PHK disetujui tapi harus disertai pesangon -- hal yang sebelumnya dihindari oleh PT Winrad. Untuk Tumar yang masa kerjanya belum tiga tahun dan upah pokoknya Rp 49.000, misalnya, Menteri mematok pesangon hampir Rp 450.000. Tapi Tumar dan kawan-kawannya, yang merasa tak bersalah, sudah patah arang. Apalagi, menurut kuasa hukum Tumar, keputusan menteri itu bolong dari segi hukum. Mestinya keputusan menteri tak boleh melebihi 14 hari dari keputusan P4P. "Ini sudah hampir 9 bulan," kata Apong Herlina dari LBH Jakarta, pengacara Tumar dan kawan-kawan, merujuk UU No. 22/1957. Maka, Tumar dan kawan-kawannya menggugat Abdul Latief ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Tumar termasuk beruntung, apalagi kalau dibandingkan dengan Marsinah, buruh yang aktivis yang dibunuh secara keji di Sidoarjo tahun silam. Urusan pemecatan Tumar sempat diproses sampai ke tingkat menteri. "Ribuan buruh yang lain ditendang tanpa P4D tahu-menahu," ujar Aries Merdeka Sirait, aktivis buruh yang rajin memberi pelayanan kesadaran hukum bagi para pekerja pabrik di sekitar Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi. Untuk menyingkirkan para buruh yang bandel, tukang protes, dan berbakat menggerakkan aksi pemogokan, tutur Aries, pengusaha punya modus mujarab. "Mereka bermain dengan oknum aparat," ujar Ketua Yayasan Saluran Informasi Sosial dan Bimbingan Hukum itu. Modus yang paling lazim dimainkan, menurut Aries, adalah intimidasi halus. Buruh yang dianggap membuat onar diboyong ke polsek atau koramil. Di situ mereka "dibujuk" agar mengundurkan diri. Cara lainnya, tutur Aris pula, adalah menggunakan tangan RT atau RW: si buruh diusir dari pondokannya. Mereka merasa tak aman, lalu keluar dan pindah entah ke mana. Untuk kasus semacam itu mestinya pengurus Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI), sebagai wadah tunggal, bisa memberikan pembelaan. Tapi, konon, baru 30% perusahaan yang sudi menerima kehadiran SPSI. Menteri Tenaga Kerja Abdul Latief sendiri mengakui, pihaknya kesulitan mengawasi unit usaha yang memiliki buruh lebih dari 25 orang. Padahal, unit usaha seperti itu kini berjumlah 140.000, sedangkan tenaga pengawas yang dimiliki Depnaker cuma 700 orang. "Jelas kami keteteran," ujar Latief. Kalaupun SPSI terbentuk, tak berarti buruh di situ pasti tertolong. "Sebagian besar SPSI berpihak kepada majikan," ujar Muchtar Pakpahan, aktivis buruh yang kini mengetuai organisasi tak resmi SBSI. Maklum, pengusaha terlibat dalam menyusun kepengurusannya. Lihat saja Peraturan Menteri (Permen) Tenaga Kerja, yang ketika itu diteken Laksamana (Pur.) Sudomo, No. 1109/86. Di situ antara lain disebutkan: "Buruh harus berkonsultasi dengan pengusaha untuk memilih kepengurusan serikat pekerja." Keruan saja, pengurus SPSI di tingkat pabrik itu tak bisa berbuat banyak. Apalagi kalau manajemen perusahaan sudah main mata dengan aparat. Keterlibatan aparat keamanan dalam pemogokan buruh itu ada dasar hukumnya: Permen No. 342/86 yang juga dibuat Sudomo. Bila terjadi pemogokan liar, tak direstui P4D setempat, menurut permen itu, manajemen pabrik diminta melakukan koordinasi dengan pemda, polres, atau kodim setempat. Lalu pencidukan pun jadi menu sehari-hari. Menteri Abdul Latief mencoba melakukan terobosan. Permen 342/86 dicabutnya, awal Januari lalu. Tapi bagi Muchtar Pakpahan, tindakan itu tak menghalangi turunnya ABRI dalam sengketa perburuhan. "Ada SK Bakorstanas Nomor 2/90 yang memungkinkan hal serupa," ujarnya. Memang kehadiran aparat keamanan, kata Dirjen Pembinaan dan Pengawasan Ketenagakerjaan, Soewarto, tak bisa dihindari kalau situasi menjurus rawan. "Kalau buruh main bakar, siapa lagi yang harus mengatasi kalau bukan ABRI," ujarnya. Selain itu, niat baik Menteri Abdul Latief masih saja diragukan Muchtar Pakpahan. Itu gara-gara Permen No. 1/94 yang keluar Januari lalu. Peraturan itu sepertinya mendorong pembentukan unit SPSI di pabrik-pabrik. Tapi di situ disyaratkan, serikat pekerja di sebuah perusahaan bisa dibentuk kalau mendapat dukungan setidaknya separuh dari jumlah buruh yang ada. "Ini makin menyulitkan pembentukannya," kata Muchtar Pakpahan. Maka, aksi buruh di Medan, dua pekan lalu, antara lain menuntut pencabutan permen itu. SPSI memang kurang populer di kalangan sebagian buruh. Kehadirannya seperti tak mengatrol posisi tawar buruh. Padahal, masih banyak perusahaan yang membayar buruhnya di bawah upah minimun regional -- 31% menurut sumber resmi. Celaka bagi buruh yang harus menghidupi satu istri dan tiga anak. Sebab, upah minimum itu umumnya cuma separuh dari kebutuhan fisik minimum keluarga. Keadaan kian mengenaskan -- seperti terjadi di Medan -- karena masih ada pabrik yang tega memberikan THR Rp 5.000 sampai Rp 10.000. Maka, pekerja pabrik banyak yang berpaling ke SBSI, organisasi buruh ilegal yang dipimpin Dr. Muchtar Pakpahan. Organisasi ini memang lebih lantang meneriakkan kehendak buruh. Banyak pekerja pabrik terpukau olehnya. Maka, dalam tempo dua tahun saja, menurut klaim Muchtar Pakpahan, SBSI punya 87 cabang dengan ratusan ribu anggota. Fenomena perburuhan di Indonesia tentu tak luput dari perhatian Herman van Der Laan, Direktur Perwakilan Organisasi Buruh Internasional (ILO) di Jakarta. Bagi Van Der Laan, kalau SPSI menjadi wadah tunggal buruh, bukan soal serius. "Asal bisa bekerja efektif," ujarnya. Tapi ia melihat bahwa SPSI kurang mendapat dukungan, dan buruh mencari organisasi alternatif semacam SBSI. "Ini pertanda SPSI belum melakukan tugasnya dengan baik," ujarnya. Wakil Sekjen SPSI Wilhelmus Boka mengakui kelemahan pihaknya. Dan ia melihat salah satu ganjalan SPSI ialah struktur organisasinya sendiri. Boka menganggap Struktur FBSI (Federasi Buruh Seluruh Indonesia), yang digantikan SPSI 1985, lebih baik. Sebab, FBSI dulu punya organisasi bersifat sektoral yang disebut SBLP (Serikat Buruh Lapangan). Ketika itu ada SBLP tekstil, garmen, makanan elektronik, logam, yang semuanya ada 13 buah. Dengan lahirnya SPSI, SBLP bubar. Kepengurusan menjadi terpusat dan kurang memahami masalah di sektor-sektor. "Mana mungkin orang yang kenalnya tekstil bisa ngomong soal makanan," ujar bekas Sekjen SBLP Elektronik itu. Lewat organisasi buruh sektoral, kata Boka, tawar-menawar dengan pengusaha lebih mudah karena menggunakan bahasa yang sama. Maka, tak mengherankan bila 20 tahun lalu gaji buruh elektronik 30% lebih tinggi dari upah minimumnya. Itu belum termasuk uang makan dan transpor. "Sekarang malah turun," katanya masygul. Porsi rezeki buruh yang tipis itu dibeberkan pula oleh Munir dari LBH Surabaya. Dalam penelitiannya di Malang atas 650 perusahaan, empat tahun lalu, ia menemukan bukti bahwa biaya buruh pabrik makanan dan minuman itu cuma 4,5% dari ongkos produksi, di industri kimia dan plastik 7,7%, di bidang logam 20%. Yang tertinggi adalah upah buruh di industri mebel, 30%. Konon porsi ideal untuk ongkos buruh adalah 18-20 persen dari biaya produksi. Sementara industri berkembang, bagaimana menyelesaikan persoalan buruh yang rumit ini? Tak mudah. Pemerintah Korea Selatan bekerja sama dengan dua badan PBB -- ILO dan UNDP -- untuk melakukan pengkajian hubungan perburuhan industri. Riset tentang potensi industri, studi banding ke negara lain, studi manajemen perburuhan, dan pertemuan nasional tripartit -- wakil buruh, pengusaha, dan pemerintah -- diadakan. Tujuannya meningkatkan posisi tawar kaum buruh, mencari model penyelesaian konflik, memberikan kesempatan kepada buruh untuk belajar, dan menetapkan standar upah yang layak. Kapan itu kita coba? Putut Trihusodo, Andi Reza Rohadian, Sri Wahyuni, Indrawan (Jakarta), dan Widjajanto (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini