Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Tembakan-tembakan untuk Muchtar

Wawancara tempo dengan ketua umum serikat buruh sejahtera Indonesia (sbsi), Muchtar Pakpahan tentang pemogokan buruh dan kerusuhan rasial di medan. iadianggap bertanggungjawab atas kerusuhan itu.

30 April 1994 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MUCHTAR Pakpahan, 41 tahun, doktor ilmu hukum lulusan Universitas Indonesia, hari-hari ini kena sorot dari delapan penjuru angin. Ketua Umum Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) ini diminta bertanggung jawab atas kerusuhan berbau rasial yang membawa korban nyawa di Medan. Ia juga dituduh bertanggung jawab atas berbagai aksi buruh belakangan ini di berbagai tempat. Pemogokan buruh di Semarang yang marak belakangan ini, misalnya, menurut Pangdam Diponegoro Mayor Jenderal Soeyono, disebabkan oleh hasutan Muchtar. Lebih jauh, menurut Soeyono, Muchtar perlu diwaspadai karena, menurut penelitian pihak keamanan, Muchtar yang sewaktu kecil bernama Bebas Pakpahan itu adalah anak Sutan Johan Pakpahan, tokoh penggerak peristiwa Bandar Betsi, Simalungun, Sumatera Utara. Menjelang meletusnya G-30-S/PKI, 1965, di Desa Bandar Betsi, Kecamatan Bandar, Simalungun, meletus bentrokan fisik antara pihak perkebunan dan petani yang didukung Barisan Tani Indonesia (BTI/PKI). Dalam bentrokan itu, Peltu Sudjono tewas dikeroyok sekitar 100 petani. Betulkah tuduhan itu? Berikut ini kutipan wawancara Muchtar Pakpahan ketika bertemu dengan TEMPO, Rabu dan Sabtu pekan lalu. Gayanya tak berubah, selalu meledak-ledak. Soal Bandar Betsi itu. Saya sedang menyusun keterangan pers untuk menjawab hal itu. Sewaktu bapak saya, Sutan Johan Pakpahan, meninggal dunia, usia saya baru 11 tahun. Karena itu, wajahnya sekarang saya tak ingat. Di usia itu, saya belum tahu apa-apa. Apakah dia masuk BTI atau tidak, saya tak tahu. Memang banyak petani di sana menjadi BTI, seperti halnya sekarang nelayan ikut HNSI, atau pegawai negeri menjadi Golkar. Saya tak tahu apakah Ayah terlibat peristiwa Bandar Betsi. Yang jelas, Bandar Betsi jauhnya 80 km dari kampung kami, Bahjambi. Yang jelas, saya sendiri beragama Kristen, lahir sampai besar di lingkungan Kristen, dan antikomunis. Saya setia pada Pancasila dan UUD 1945. Itu saya buktikan dengan disertasi saya. Yang saya tahu, kami keluarga petani kecil, punya sawah 1,5 hektare, dan punya tanah kering seluas 4 rante beserta rumah di atasnya. Setamat SMP, saya merantau ke Medan menjadi tukang becak. Tentang penggantian nama. Saya tak mengganti nama Bebas itu. Nama permandian saya adalah Mochtar Bebas Pakpahan, seperti tertulis di ijazah SD. Tapi, di ijazah SMP, nama itu berubah jadi Muchtar Pakpahan. Saya memprotesnya ke tata usaha SMP. Jawabnya, kesalahan terjadi di tempat ujian di Pematangsiantar. Karena itu, untuk mencari kerja, saya minta surat keterangan bahwa nama saya di ijazah SMP itu sama dengan nama di ijazah SD. Sampai sebelum menikah, saya masih dipanggil Bebas. Kalau cara ini mau dilakukan pada saya, dan kuat dasar hukumnya, beban itu akan saya pikul. Kan, nggak bisa saya hindari. Kalau orang tuanya begitu, bukan berarti anaknya begitu. Kalau soal BTI ini diungkit, ini akan menyangkut anak-anak komunis lainnya, yang jumlahnya banyak di mana saja, termasuk di pegawai negeri. Kalau buruh terpengaruh karena tuduhan ini, dan mereka meninggalkan SBSI, saya akan berhenti jadi SBSI. Tentang huru-hara rasial di Medan. Belakangan, saya diinterogasi polisi Semarang, berkenaan dengan pemogokan yang lalu, sekaligus saya dimintai keterangan mengenai peristiwa Medan. Saya jelaskan apa adanya. Bahwa apa yang terjadi di Medan itu memang pekerjaan SBSI. Tapi, yang terjadi pada hari Jumat itu -- huru-hara di Pulau Berayan, Medan, yang menewaskan pengusaha Yuly Kristanto -- sudah di luar kontrol kami. Kerusuhan pada hari Jumat itu terjadi karena petugas ABRI menghalangi buruh yang berdemonstrasi. Jadi, itu karena provokasi. Saya sendiri tahu peristiwa Medan ketika Kamis pagi menerima laporan melalui telepon dari SBSI Medan. Padahal ketika itu unjuk rasa di kantor gubernur itu sudah mulai. Saya mencoba menghalangi, tak bisa lagi. Ini kan organisasi demokratis. Kalau anggota sudah memutuskan, ya, berarti mereka siap jalan. Bagaimana unjuk rasa di Medan itu direncanakan, terus terang, saya tak tahu. Itu keputusan DPC SBSI Medan. Tapi, begitu ada kecelakaan, tanggung jawab tetap akan dipikul DPP. Tidak seperti ditulis TEMPO pekan lalu, seolah-olah kami nggak ada tanggung jawab. Yang saya katakan, saya tak tahu itu direncanakan, karena itu gawenya DPC Medan. Secara hukum saya tak ikut merencanakan, tapi secara organisatoris saya bertanggung jawab. Kalau terus begini, tak ada dialog, menurut saya, mogok bisa terus bergeser ke tempat lain. Tak peduli diakui Pemerintah atau tidak, sepanjang buruh ikut SBSI, kami jalan terus. Bagaimana menyelesaikan masalah perburuhan? Intinya itu sebenarnya adalah dialog. Harus ada dialog antara buruh, SBSI, dan pengusaha. Pemerintah juga mestinya mengakui SBSI Kalau seperti sekarang, tak ada dialog, biar saja pengusaha dan Pemerintah bilang tuntutan upah Rp 7.000 itu nggak pantas. Menurut kami, perusahaan sanggup membayar jumlah itu. Mereka, para pengusaha itu, kan tinggal memindahkan biaya siluman, yang mereka keluarkan selama ini, menjadi ongkos buruh. Mari kita hitung secara terbuka. Serikat buruh semacam SBSI ini juga kan bertugas meningkatkan produksi. Setelah produksi perusahaan meningkat, perusahaan harus membagi keuntungan, dong. Untuk peningkatan produksi, serikat pekerja menanamkan disiplin dan rasa kepemilikan pada buruh. Bukan hanya menuntut upah. Kalau berbicara, saya terlalu terbuka. I am the person nothing to loose and no interest. Kami berprinsip damai, nonviolence. Insiden seperti di Medan itu di luar perhitungan sama sekali. Tapi, kalau nggak dibikin, pendapat buruh nggak didengar. Persoalan buruh sebenarnya adalah persoalan normatif dan distributif. Tapi, kalau ditarik ke politik, saya layani. Apa pun yang mau dibebankan, akan saya pikul. Apa pun yang diminta pada saya, demi persatuan dan kesatuan bangsa ini, akan saya lakukan, kecuali satu hal: saya tak akan membubarkan SBSI. Biarlah Pemerintah yang melakukannya ....Indrawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus