KETUA DPC SBSI Medan Amosi Telambanua, 33 tahun, ditemui di salah satu rumah persembunyiannya, di pinggiran Medan. Mengenakan kemeja putih dan celana panjang biru gelap yang tampak kedodoran, air muka lelaki asal Pulau Nias itu tampak tegang. Ia cuma sempat satu tahun di bangku SMA, lalu bekerja sebagai buruh PT Korek Api Deli di Medan, 1979. Empat tahun kemudian ia dipecat karena membentuk organisasi buruh. Saat itulah ia bertemu dengan Muchtar Pakpahan, Ketua DPP SBSI. Ia kemudian memburuh di PT Larissa, lalu pindah ke PT Sumatera Rotanindo (SR). Di sana, menurut Amosi, ia sempat menjadi karyawan teladan, dan menjabat Ketua Pimpinan Unit Kerja SPSI. Namun, SPSI tak membelanya saat ia ditahan aparat keamanan dan kemudian dipecat dari PT SR -- ia terlibat dalam perjuangan nasib karyawan perusahaannya -- pada tahun 1992. Ia menyeberang menjadi Ketua SBSI. Sejak itu, Amosi tak lagi memburuh. Untuk menghidupi keluarga, ia "mocok-mocok" sebagai tukang bangunan. Setelah meledak peristiwa Medan, rumah Amosi yang merangkap sekretariat DPC SBSI digerebek. Amosi, istri, serta dua anaknya yang masih kecil lalu tinggal berpindah-pindah. Kontak dengan dunia luar -- terutama dengan SBSI -- ia lakukan lewat seorang anak yang dipercayainya. Dua anak perempuannya ia titipkan di gereja karena sudah cukup besar. Berikut petikan wawancara dengan Ketua SBSI itu: Bagaimana peristiwa tanggal 14 dan 15 April itu menurut Anda? Kerusuhan itu sebenarnya tak lepas dari rentetan unjuk rasa para buruh yang terjadi jauh sebelumnya. Bahkan sebelum SBSI berdiri. Namun, demonstrasi mulai menjalar hebat setelah unjuk rasa buruh menuntut THR (tunjangan hari raya), pada 11 Maret lalu. Waktu itu sudah dekat Lebaran, sementara pengusaha tak juga membayar THR. Lalu SBSI mengkoordinasi unjuk rasa selanjutnya, termasuk tanggal 14 dan 15 April itu? Begini. Buruh tak putus datang ke sekretariat DPC SBSI. Mula-mula mereka minta diberi tahu soal hukum perburuhan. Kami beri tahu sesuai dengan yang pernah saya dapatkan dalam pendidikan kader SPSI dulu. Setelah itu mereka sering mendesak untuk didampingi dalam aksi unjuk rasa. Apakah sebelumnya Anda tahu rencana buruh akan demo di kantor Gubernur pada tanggal 14 April? Yang saya tahu, sudah sejak sebulan sebelumnya, bahwa suatu kali mereka akan mendatangi Gubernur untuk mengadukan tuntutan mereka yang tak pernah dipenuhi pengusaha. Tapi ini masih ngomong-ngomong. Kapan dan bagaimana caranya, saya tak tahu. Apakah Anda sempat mengkonsultasikannya dengan DPP SBSI? Membicarakannya secara khusus tak pernah. Namun, sebulan sebelum peristiwa itu, saya sempat mengatakan pada DPP bahwa saya perkirakan akan terjadi unjuk rasa besar-besaran. Mengapa harus ke kantor Gubernur? Sudah ada janji bertemu Gubernur? Itu keinginan buruh semata. Mereka sudah menganggap tak bisa ke mana-mana. Depnaker dan SPSI malah membela pengusaha. Pengusaha cuma janji melulu. Ke mana lagi mereka mengadu? Nyatanya Gubernur tak mau menerima mereka. Kalau Gubernur mememui, barangkali semua ini tak terjadi. Tapi banyak yang bilang, buruh berbondong-bondong karena dikatakan Menteri Tenaga Kerja Abdul Latief akan datang ke Lapangan Merdeka, bertemu buruh, untuk menyelesaikan tuntutan buruh. Memang, dari pembicaraan buruh-buruh yang berkumpul di sekretariat, ada informasi bahwa Menteri mau datang. Saya tak tahu dari mana isu itu berasal. Tapi ada selebaran sebelumnya tentang pertemuan buruh dengan Gubernur. Memang ada. Tapi DPC SBSI tak tahu-menahu soal itu. Kenapa menggunakan cara berdemonstrasi dengan massa besar? Kan jadi sulit dikontrol? Unjuk rasa ini muncul karena selama ini berbagai cara seperti tersumbat. Berkali-kali kesepakatan dibuat antara pengusaha, buruh, dan Depnaker. Namun, berkali-kali pula pengusaha tak melaksanakan kesepakatan. Bahkan, dengan sombong mereka mengabaikannya. Tak berusaha mencegah perusakan? Saya sudah berusaha keras. Tapi kalau dipikir sekarang, saya tak bakal bisa mengontrol dan mencegah mereka melakukan perusakan. Buruh itu terlihat sudah emosional sekali. Jangankan saya, aparat pun belum tentu bisa mencegah. Lalu bagaimana dengan selebaran yang berisi ajakan mengganyang keturunan Cina? Ah, itu lebih tak jelas dan lebih tak bertanggung jawab. Entah siapa pula yang membuat. Kami, DPC SBSI, tak pernah membuat dan menyarankan demikian. Benarkah Anda sempat menghubungi DPP SBSI saat peristiwa mulai marak? Ya. Sekitar pukul 9, sewaktu buruh mulai berdatangan ke kantor Gubernur, saya menelepon DPP. Yang mengangkat telepon adalah Netty Saragih dari LBH SBSI. Saya laporkan bahwa buruh sedang bergerak ke kantor Gubernur. Karena pada saat itu belum ada orang di DPP, Netty tak tahu harus berbuat apa. Mengapa Anda melarikan diri? Selama ini saya selalu ditahan tanpa tahu kesalahan saya. (Ia mengaku sudah tiga kali ditahan kodim atau kepolisian di Medan bila ada pemogokan buruh). Dan saya selalu dianiaya di rumah tahanan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini