DESA Pasireurih Kecamatan Ciomas Bogor tak punya keistimewaan
apa-apa. Seperti rakyat desa umumnya, sebagian besar dari 6000
penduduknya bertani. Sisanya ada yang mengambil batu dan pasir
di kali Ciapus. Ada pula yang bertukang. Tapi satu waktu toh
nama desa yang terletak di kaki Gunung Salak 9 Km selatan kota
Bogor itu, sempat masuk koran. Karena Presiden Soeharto yang
gandrung akan soal-soal pertanian itu nyaris saban minggu
melongok ke sana.
Menurut seorang pamong desa, di daerah itu ada sekitar 100
hektare tanah perkebunan kini digarap Proyek Aneka Usaha
Pertanian (AUP). Di kalangan penduduk, proyek yang ditanami
rupa-rupa palawija termasuk buah timbul, petai dan semacamnya,
serta juga cengkeh itu di samping proyek lain di desa Tapos
Kecamatan Ciawi yang digunakan terutama untuk peternakan,
dikenal sebagai "Proyek Pak Harto".
Dapat difaham, lalu lintas dari dan ke kota Bogor sehari-hari
selalu ramai. Kecuali lantaran sebagian penduduk desa itu
sendiri banyak urusan ke pasar, ternyata semangat bertani di
kalangan orang kota cepat merasuk. Mereka datang menghasta
tanah. Sebagian dari kota Bogor, selebihnya dari Jakarta,
pejabat maupun swasta.
Bagi penduduk, kedatangan orang-orang kota itu tentu
menggembirakan. Mereka pun lantas meningkatkan nilai jual tanah
masing-masing. Kalau 3 tahun lalu ada yang susah menjual Rp 500
per meter, kini ditawar Rp 4000 pun masih ada yang menggelengkan
kepala.
Lurah
Lebih dari itu ada setumpuk harapan muncul di hati mereka.
Dengan terbukanya desa tersebut diharap ada perkembangan di
segala bidang. Tak dinyana harapan banyak tinggal harapan.
Rumah-rumah yang lebih rapi dan sehat memang tak sedikit yang
berdiri. Tapi di segi pemerintaha misalnya, komunikasi antara
pamong desa dan rakyat tetap seret. Satu contoh, kecuali tahun
1972 ketika Lurah Mad Husen baru beberapa bulan memangku
jabatan, tahun-tahun berikutnya tak pernah ada musyawarah desa.
Rencana anggaran belanja maupun pembangunan desa sudah tentu
bukan tak ada. Tapi berapa besarnya, untuk apa dan dari mana
dana digali hanya lurah sendirilah yang mafhum.
Kealpaan Lurah mengajak musyawarah dengan rakyat tak euma itu.
Satu waktu sejumlah penduduk yang menggarap tanah PN Perkebunan
diminta menyerahkan kembali garapannya. Untuk itu PNP memberi
ganti rugi Rp 500 ribu yang konon berasal dari pimpinan AUP yang
mendapat kepercayaan PN tersebut untuk menggarap tanah itu
selajutnya. Petani penggarap tak tahu menahu tentang uang itu.
Benar uang itu digunakan lurah untuk membangun madrasah, tapi
bagi penggarap yang bersangkutan tak adanya musyawarah lebih
dulu dengan mereka sangat disesa!kan. Lebih-lebih lantaran
periuk nasi mereka selama ini banyak tergantung pada tanah
garapan tadi.
Bagaimanapun, hal tadi dibiarkan berlalu oleh rakyat sendiri.
Namun di luar dugaan sikap yang mengecewakan juga datang dari
pemerintahan yang lebih tinggi. Tahun 1974 PU Propinsi Jawa
Barat mengambil oper tanggungJawab pengurusan jalan
Bogor-Ciapus. Perbaikan dilakukan. Serta merta rakyat
Pasireurih dan desa lain yang dilaluinya gembira. Ternyata, pada
kira-kira kilometer 1 dari Bogor perbaikan itu belok ke kiri ke
areal AUP. Sisanya 1 kilometer lebih dibiarkan rusak hingga
sekarang. Apa sebabnya, wallahu alam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini