BABAK pertama dimulai dengan keterangan sasterawan Ali Audah
kepada Antara bahwa dia dilarang oleh Departemen Luar Negeri
(Deplu) untuk mengunjungi Pakistan. Ali Audah bersama dua orang
Indonesia lainnya diundang untuk menghadiri suatu pertemuan
internasional memperingati sasterawan Pakistan Muhammad Iqbal
yang diselenggarakan oleh Universitas Punjab awal Desember ini.
Deplu melalui juru bicaranya Abdurachman Gunadirdja segera
membantah pernyataan Ali Audah itu dan menegaskan bahwa Deplu di
Jakarta tidak pernah melarang Ali Audah untuk mengunjungi
Pakistan.
Soal "Clearance"
Pekan lalu harian Kompas memuat surat Ali Audah yang antara lain
mengatakan bahwa penegasan Deplu itu sebenarnya bukan membantah
keterangannya, tapi membantah pihak Deplu sendiri.
Ali Audah menjelaskan bahwa untuk pergi ke Pakistan, dia
diberitahu Kedutaan Pakistan bahwa dia tidak bisa berangkat
tanpa clearance lebih dahulu dari Deplu. Ketika menghubungi
Direktorat Asia Pasifik dan Deplu, Audah mendapat keterangan
bahwa memang benar harus ada clearance dari Deplu bagi dia untuk
pergi ke Pakistan dan bahwa clearance itu tidak bisa diberikan
sekarang dengan alasan yang menurut Audah tidak jelas. Audah
mendapat kesan bahwa alasan ini bukan bersifat pribadi, tetapi
ada sangkut pautnya dengan kesenimanan, dengan Dewan Kesenian
Jakarta, yang kemudian dikaitkan pula dengan Malam Peringatan
100 tahun Iqbal di TIM 9 Nopember 1977 serta ceramah Mr.
Syafruddin Prawiranegara dan sambutan Ketua DPR Adam Malik pada
malam itu.
Ali Audah pun gagal berangkat. Dari Indonesia kemudian hadir
Hamka, puteranya Irsan dan Yunan Helmi Nasution. Yang menjadi
masalah sekarang bukan lagi soal berangkat atau tidak, tapi
keharusan adanya clearance dengan alasan tidak jelas, tidak
tertulis, hanya atas dasar keterangan pejabat saja, itulah yang
akan menimbulkan kegelisah an, tulis Ali Audah.
Tidak benar pernyataan Ali Audah itu. Bantahan kali ini datang
dari Elias Munte dari Direktorat Asia Pasifik Deplu. Kepada
wartawan TEMPO Susanto Pudjomartono, Munte menjelaskan apa yang
menurut dia juga sudah diterangkan pada Ali Audah.
Ceritanya menurut Munte dimulai dengan Malam Peringatan 100
tahun Iqbal di TIM 9 Nopember yang diselengRarakan bersama oleh
pengurus TIM dan Kedutaan Besar Pakistan. Ali Audah sudah
menyanggupi untuk berbicara dalam acara itu tetapl tidak tahu
kenapa hal itu kurang terjadi dan waktunya diberikan kepada Mr.
Sjafruddin Prawiranegara. Pidat Sjafruddln ini menurut Munte
menyimpang dari thema peringatan dan antara lain mengupas juga
tentang Pemilu yang lalu. Begitu menyimpang pidato Sjafruddin
itu sehingga Adam Malik yang berbicara sesudah Sjafruddin,
menurut Munte, hanya menangkis ucapan-ucapan Sjafruddin.
Kebetulan malam itu hadir juga atasan Munte, Direktur Asia
Pasifik R. Adenan.
Tampaknya hal ini kemudian dibicarakan antara Deplu dan Bakin
yang kemudian memutuskan bahwa pimpinan TIM dianggap tidak
menguasai jalannya peringatan tersebut. Kata Munte ini dasar
sebenarnya dari Bakin untuk melarang semua pimpinan TIM untuk
menghadiri peringatan Iqbal di Pakistan. Ali Audah yang dianggap
ikut bertanggung jawab atas terjadinya penyimpangan itu jadinya
ikut dilarang pergi ke Pakistan. Kedutaan Besar Pakistan sendiri
menurut Munte sudah dua kali meminta maaf atas terjadinya
penyimpangan itu.
Betapa pun, Deplu rupanya bertindak tanpa menanyakan duduk soal
peringatan Iqbal di TIM itu kepada Dewan Kesenian Jakarta (DKJ).
Sebab ternyata pihak DKJ sendiri merasa dilanBhahi oleh Kedutaan
Besar Pakistan, meskipun DKJ diajak ikut mengundang. Dalam surat
Ketua DKJ Ajip Rosidi bertanBgal 10- Nopember, yang dikirim
sebagai laporan ke pleno DKJ (sebelum tindakan Deplu terhadsp
Ali Audah), tertulis, antara lain bahwa dalam menetapkan acara,
DKJ tak pernah diajak bicara.
Seandainya Munto ada mendengarkan dulu penjelasan IKJ sebelum
ambil tindakan, Ali Audah - penterjemah Iqbal terkemuka di
Indonesia - pasti tak mengalami perlakuan yang sewenang-wenang
bukan?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini