Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Dilarang ke pakistan ? dilarang ke pakistan

Deplu melarang sastrawan ali audah dan 2 rekannya ke pakistan dalam pertemuan internasional memperingati sastrawan pakistan, muhammad iqbal. bermula pada malam peringatan 100 tahun iqbal di tim, jakarta.

17 Desember 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BABAK pertama dimulai dengan keterangan sasterawan Ali Audah kepada Antara bahwa dia dilarang oleh Departemen Luar Negeri (Deplu) untuk mengunjungi Pakistan. Ali Audah bersama dua orang Indonesia lainnya diundang untuk menghadiri suatu pertemuan internasional memperingati sasterawan Pakistan Muhammad Iqbal yang diselenggarakan oleh Universitas Punjab awal Desember ini. Deplu melalui juru bicaranya Abdurachman Gunadirdja segera membantah pernyataan Ali Audah itu dan menegaskan bahwa Deplu di Jakarta tidak pernah melarang Ali Audah untuk mengunjungi Pakistan. Soal "Clearance" Pekan lalu harian Kompas memuat surat Ali Audah yang antara lain mengatakan bahwa penegasan Deplu itu sebenarnya bukan membantah keterangannya, tapi membantah pihak Deplu sendiri. Ali Audah menjelaskan bahwa untuk pergi ke Pakistan, dia diberitahu Kedutaan Pakistan bahwa dia tidak bisa berangkat tanpa clearance lebih dahulu dari Deplu. Ketika menghubungi Direktorat Asia Pasifik dan Deplu, Audah mendapat keterangan bahwa memang benar harus ada clearance dari Deplu bagi dia untuk pergi ke Pakistan dan bahwa clearance itu tidak bisa diberikan sekarang dengan alasan yang menurut Audah tidak jelas. Audah mendapat kesan bahwa alasan ini bukan bersifat pribadi, tetapi ada sangkut pautnya dengan kesenimanan, dengan Dewan Kesenian Jakarta, yang kemudian dikaitkan pula dengan Malam Peringatan 100 tahun Iqbal di TIM 9 Nopember 1977 serta ceramah Mr. Syafruddin Prawiranegara dan sambutan Ketua DPR Adam Malik pada malam itu. Ali Audah pun gagal berangkat. Dari Indonesia kemudian hadir Hamka, puteranya Irsan dan Yunan Helmi Nasution. Yang menjadi masalah sekarang bukan lagi soal berangkat atau tidak, tapi keharusan adanya clearance dengan alasan tidak jelas, tidak tertulis, hanya atas dasar keterangan pejabat saja, itulah yang akan menimbulkan kegelisah an, tulis Ali Audah. Tidak benar pernyataan Ali Audah itu. Bantahan kali ini datang dari Elias Munte dari Direktorat Asia Pasifik Deplu. Kepada wartawan TEMPO Susanto Pudjomartono, Munte menjelaskan apa yang menurut dia juga sudah diterangkan pada Ali Audah. Ceritanya menurut Munte dimulai dengan Malam Peringatan 100 tahun Iqbal di TIM 9 Nopember yang diselengRarakan bersama oleh pengurus TIM dan Kedutaan Besar Pakistan. Ali Audah sudah menyanggupi untuk berbicara dalam acara itu tetapl tidak tahu kenapa hal itu kurang terjadi dan waktunya diberikan kepada Mr. Sjafruddin Prawiranegara. Pidat Sjafruddln ini menurut Munte menyimpang dari thema peringatan dan antara lain mengupas juga tentang Pemilu yang lalu. Begitu menyimpang pidato Sjafruddin itu sehingga Adam Malik yang berbicara sesudah Sjafruddin, menurut Munte, hanya menangkis ucapan-ucapan Sjafruddin. Kebetulan malam itu hadir juga atasan Munte, Direktur Asia Pasifik R. Adenan. Tampaknya hal ini kemudian dibicarakan antara Deplu dan Bakin yang kemudian memutuskan bahwa pimpinan TIM dianggap tidak menguasai jalannya peringatan tersebut. Kata Munte ini dasar sebenarnya dari Bakin untuk melarang semua pimpinan TIM untuk menghadiri peringatan Iqbal di Pakistan. Ali Audah yang dianggap ikut bertanggung jawab atas terjadinya penyimpangan itu jadinya ikut dilarang pergi ke Pakistan. Kedutaan Besar Pakistan sendiri menurut Munte sudah dua kali meminta maaf atas terjadinya penyimpangan itu. Betapa pun, Deplu rupanya bertindak tanpa menanyakan duduk soal peringatan Iqbal di TIM itu kepada Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Sebab ternyata pihak DKJ sendiri merasa dilanBhahi oleh Kedutaan Besar Pakistan, meskipun DKJ diajak ikut mengundang. Dalam surat Ketua DKJ Ajip Rosidi bertanBgal 10- Nopember, yang dikirim sebagai laporan ke pleno DKJ (sebelum tindakan Deplu terhadsp Ali Audah), tertulis, antara lain bahwa dalam menetapkan acara, DKJ tak pernah diajak bicara. Seandainya Munto ada mendengarkan dulu penjelasan IKJ sebelum ambil tindakan, Ali Audah - penterjemah Iqbal terkemuka di Indonesia - pasti tak mengalami perlakuan yang sewenang-wenang bukan?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus