Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dengan pendekatan ini, struktur ABRI dibuat sedemikian rupa sehingga ''membayangi" struktur pemerintahan sipil di bawah Departemen Dalam Negeri di setiap tingkatan. Dan sudah menjadi rahasia umum, betapa para panglima dan komandan militer punya ''kemampuan" untuk memplot kalangan baju hijau guna menduduki jabatan-jabatan sipil strategis di daerah kekuasaannya. ''Struktur teritorial telah mendominasi politik lokal," kata Jenkins dalam tulisannya.
Otak dari adanya jaringan ini adalah Jenderal Besar (Purn.) Abdul Haris Nasution. Menurut Bilveer Singh (Dwifungsi ABRI, 1995), awalnya adalah 24 Desember 1948, ketika Nasution, Panglima Komando Djawa, mengeluarkan ''perintah pelaksanaan untuk pemerintahan militer di Jawa" dengan menetapkan struktur pemerintahan militer. Lalu, diangkatlah empat komandan divisi merangkap gubernur militer. Di bawahnya, ada komandan subteritorium militer yang setingkat dengan residen sebagai kepala karesidenan. Di kabupaten, dibentuk komando distrik militer. Lalu di tingkat kecamatan ada komando order distrik militer.
Dalam perkembangannya, ada dua pilar penting yang amat menentukan. Yang pertama adalah pidato fenomenal ''jalan tengah" Nasution pada November 1958 di Akademi Militer Nasional, Magelang. Pidato inilah yang lalu menjadi basis legitimasi militer untuk merambah dunia sipil, dengan argumen, ''ABRI bukan sekadar `alat sipil' seperti di negara-negara Barat." Pilar berikutnya adalah, ''doktrin perang wilayah" yang ditelurkan Seskoad pada Maret 1962. Doktrin militer itu menetapkan kembali konsep gerilya sebagaimana diterapkan semasa revolusi. Padahal, perang wilayah selalu terkait dengan pembinaan wilayah, yaitu sebuah konsep pertahanan yang melibatkan seluruh jangkauan militer dalam masyarakat. Berdasar itulah, Nasution lalu memerintahkan pembentukan komando militer di beberapa provinsi. Diikuti dengan komando resor militer yang sejajar dengan karesidenan, komando distrik militer di kabupaten, koramil di kecamatan, serta babinsa di kelurahan.
Itu kisah 36 tahun. Bagaimana idealnya sekarang? Mantan Kepala Staf Angkatan Darat, Jenderal (Purn.) Rudini, melihat pendekatan itu sudah ''usang". Menurutnya, jaringan teritorial itu menjadi begitu militeristis. Yang jadi penyebab, keadaan selalu diberlakukan seolah-olah dalam keadaan darurat perang, dan itu berlangsung dalam waktu yang begitu lama. Akibatnya, aparat teritorial seperti Pangdam selalu ikut-ikutan mengurusi pemerintahan sipil, bukan cuma melakukan pembinaan dan penyiapan rakyat untuk menghadapi musuh, sebagaimana seharusnya. ''Jadi, doktrin hankamrata itu harus diubah implementasi operasionalnya," tegas Rudini.
Namun, pengamat militer Indonesia dari Australia, Harold Crouch, tidak yakin ABRI mau menghapuskan sistem teritorial itu. Bukanlah karena alasan pengamanan bahwa jika polisi dipisahkan dari ABRI dan kemudian diefektifkan, pengamanan teritorial tidak diperlukan lagi. Yang menjadi pokok masalah, menurut Harold, adalah peran politik militer. ''Kalau AD masih mau memainkan peranan politik, sudah tentu mereka harus mempertahankan sistem teritorial," ujarnya.
Dalam hal ini, Wakil Ketua Dewan Direktur CSIS, Harry Tjan Silalahi, menyodorkan argumentasi yang perlu direnungkan. Ia menyitir pemikiran almarhum Jenderal T.B. Simatupang bahwa tolok ukur peran ABRI dalam pembangunan adalah sukses atau gagalnya mendorong demokrasi di Indonesia. Di sini, Harry Tjan tegas-tegas mengatakan bahwa dengan pendekatan teritorial, tidak mungkin ada demokrasi. ''Itu dua hal yang saling bertentangan, ibarat es goreng," katanya lagi.
Karaniya Dharmasaputra, Hendriko L. Wiremmer, P. Diyah Prabandari, Raju Febrian
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo