Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Proyek senilai US$ 3,25 miliar itu hanyalah salah satu bisnis yang berhubungan dengan ABRI. Lewat yayasan dan koperasi, bisnis ABRI kini telah menjadi bagian dari kekuatan kapital di Indonesia yang cukup diperhitungkan. Beberapa bisnis ABRI yang berkongsi dengan perusahaan swasta pun berkembang menjadi perusahaan besar. Misalnya, Bank Artha Graha yang dimiliki YKEP dan Tommy Winata, atau ITCI (International Timber Corporation of Indonesia) yang dimiliki YKEP dengan Bambang Trihatmodjo dan Bob Hasan.
Memang, kini tak semuanya berjalan lancar karena krisis. Beberapa kontrak YKEP dengan pemerintah, misalnya, banyak yang dibatalkan. Dalam bidang transportasi, truk-truk mereka di pelabuhan banyak yang tidak berjalan karena tidak ada yang diangkut. ''Selama ini orang melihat Yayasan sebagai sesuatu yang besar, padahal sama saja dengan yang lain," kata Wakil Ketua Harian YKEP, Brigjen (Purn.) Djojo Sutardjo.
Begitu pula yang dialami Yayasan Adi Upaya (Yasau) milik Angkatan Udara. Menurut Wakil Ketua Harian Yasau, Brigjen (Purn.) Wijanarko, saat ini saham yang ditanamkan di 25 badan usaha hanya sekitar Rp 38 miliar. Dari berbagai usaha itu, yang paling diandalkan dan tahan banting terhadap krisis adalah Badan Pengelolaan Padang Golf Halim. ''Kami mendapat Rp 103 miliar per tahun," kata Wijanarko. Sementara itu, dari perusahaan yang bergerak di bidang jasa ekspor hanya diperoleh Rp 160 juta, dan dari sektor perdagangan umum kontraktor dan jasa hanya didapat Rp 39 juta. ''Bisnis Yasau memang tidak semenggelembung Yayasan Kartika Eka Paksi yang serba wah,'' kata Wijanarko.
Menurut Kepala Staf Teritorial ABRI, Letjen TNI Susilo Bambang Yudhoyono, keterlibatan ABRI dalam bisnis ini dilakukan untuk mencukupi kebutuhan ABRI yang tak mungkin didukung anggaran pertahanan. ''Negara kita ini punya anggaran pertahanan sekitar 1,8 persen dari GNP (gross national product). Secara standar universal, itu rendah sekali," katanya. Di negara lain, kata Susilo, anggaran pertahanan dan keamanan sekitar 3-5 persen, bahkan bisa sampai 10 persen bila ada ancaman.
Seperti ditulis dalam buku Bila ABRI Berbisnis, karya beberapa peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, berbisnis untuk mencukupi diri sendiri sebenarnya sudah dilakukan sejak awal pembentukan ABRI. Dalam perkembangannya kemudian, banyak usaha yang dilakukan secara langsung oleh organisasi ABRI ini akhirnya hancur, sehingga pedagang Cina yang lebih berpengalaman berbisnis mulai digandeng. Inilah awal persekutan ''Ali-Baba", antara militer dan penguasa Cina. Militer berperan sebagai Ali yang berfungsi sebagai pihak yang berhubungan dengan masyarakat maupun pemerintah, dan Baba-lah yang menjalankan usaha. Pada masa inilah hubungan ''Ali-Baba" tercipta antara Panglima Divisi Diponegoro, Kolonel Soeharto?mantan Presiden?dan Liem Sioe Liong.
Secara sistematis, ABRI kemudian mulai terlibat dalam pengelolaan bisnis berskala besar. Para panglima wilayah semakin tak terkendali, kasus korupsi merebak. Pada 1958, Kepala Staf Angkatan Darat Nasution pun melakukan upaya pembersihan. Sejumlah panglima daerah yang korup ditindak, termasuk di antaranya Kolonel Soeharto yang diperintahkan untuk menjalani pendidikan lanjut di Seskoad di Bandung.
Ketika kemudian Soeharto berkua-sa, ''kebijakan lama" diberlakukan kembali. Bagi militer dan keluarga, kebijakan ini memang memberi dampak positif. YKEP, misalnya, bisa menyediakan 13.700 rumah untuk prajurit Angkatan Darat. Yayasan ini juga bisa mendirikan Universitas Ahmad Yani dan Akademi Perawatan di Cimahi, serta Akademi Manajemen dan Informatika Komputer di Yogyakarta.
Namun kebijakan ini juga membawa implikasi negatif. Bisnis ABRI dinilai ikut menopang kapitalisme semu?yang melahirkan pengusaha pemburu rente?dan menunjang sistem yang menyuburkan kolusi, korupsi, dan nepotisme. Keluarga militer ikut menjalin kemitraan dengan pengusaha Cina. Sementara itu, pengusaha Cina pun memanfaatkan militer menjadi semacam ''herder penjaga". Sistem semacam ini menimbulkan ekonomi biaya tinggi dan akhirnya ikut menghancurkan ekonomi nasional. Konsekuensi lainnya adalah melunturnya profesionalisme militer akibat terlalu berorientasi komersial.
Disadari atau tidak, kegiatan ''ngobyek" militer agaknya telah mengalami penyimpangan serius. Maka, tidak ada jalan lain lagi yang harus dilakukan pemerintah selain menyediakan anggaran belanja secukupnya. Susilo Bambang Yudhoyono secara pribadi mengatakan, sebaiknya anggaran pertahanan memang ditingkatkan. ''Sehingga ABRI tak lagi harus merepotkan diri dengan masuk ke bidang-bidang itu. Kami lebih senang mengkhususkan diri pada tugas pokok, keamanan, operasi, teritorial, layaknya tentara," katanya.
Mungkin, Indonesia perlu bercermin kepada Cina. Militer Cina yang dalam sejarahnya juga didorong untuk mencukupi kebutuhannya sendiri, dan bisnisnya berkembang, bahkan sampai ikut memasok negara, tapi saat ini pun secara bertahap mulai meninggalkan bisnis.
Gabriel Sugrahetty, Andari Karina, Hani Pudjiarti, Darmawan Sepriosa, Dwi Wiyana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo