Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KOMISI III DPR, yang membidangi penegakan hukum, akan segera membahas Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau RUU KUHAP bersama pemerintah. DPR telah menerima Surat Presiden (surpres) mengenai pembahasan revisi UU KUHAP tersebut pada Kamis, 20 Maret 2025.
Ketua Komisi III DPR Habiburokhman mengatakan rapat kerja membahas RUU KUHAP kemungkinan akan dimulai pada masa sidang berikutnya, usai DPR RI memasuki masa reses mulai 26 Maret 2025.
Dia menargetkan pembahasan RUU itu rampung dalam waktu yang tidak terlalu lama karena pasal yang termuat tidak terlalu banyak. “Jadi paling lama dua kali masa sidang. Kalau bisa satu kali masa sidang besok sudah selesai, kita sudah punya KUHAP yang baru,” ucapnya di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis, 20 Maret 2025.
Politikus Partai Gerindra itu menilai revisi UU KUHAP perlu digulirkan karena membutuhkan penyesuaian dengan perkembangan zaman sejak diundangkan puluhan tahun silam. Selain itu, agar keberlakuannya dapat bersamaan dengan berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pada Januari 2026.
DPR sudah memutuskan RUU KUHAP menjadi RUU usul inisiatif parlemen dalam Rapat Paripurna DPR pada 18 Februari 2025. RUU KUHAP pun masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025 yang diusulkan Komisi III DPR RI. Sejak memasuki masa sidang setelah reses awal 2025, Komisi III DPR mulai membicarakan RUU tersebut dengan mengundang berbagai narasumber, di antaranya Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung.
Habiburokhman menyebutkan RUU KUHAP akan mengandung nilai restoratif, restitutif, dan rehabilitatif. Dia menekankan RUU KUHAP akan memaksimalkan keadilan restoratif (restorative justice) dalam penyelesaian suatu perkara. “Kami bikin satu bab khusus restorative justice. Jadi mulai penyidikan, penuntutan sampai persidangan bisa di-restorative justice-kan,” ujarnya.
Lalu, apa saja poin-poin penting usulan dalam revisi UU KUHAP tersebut?
Kasus Penghinaan Presiden Bisa Diselesaikan Lewat Restorative Justice
DPR menyepakati perkara penghinaan terhadap presiden dapat diselesaikan melalui restorative justice atau keadilan restoratif dalam RUU KUHAP. Ketentuan itu adalah perbaikan terhadap Pasal 77 UU KUHAP yang berlaku saat ini. Ketua Komisi III DPR Habiburokhman mengatakan, sebelumnya DPR telah memublikasikan RUU KUHAP.
Dalam draf tersebut, DPR mencantumkan penghinaan terhadap presiden sebagai pengecualian perkara yang dapat diproses secara Keadilan restoratif. “Ada kesalahan redaksi dari draf yang kami publikasikan di mana seharusnya Pasal 77 tidak mencantumkan pasal penghinaan presiden dalam KUHP,” kata Habiburokhman dalam keterangan tertulis yang diterima Tempo, Senin, 24 Maret 2025.
Dia mengatakan seluruh fraksi sepakat perkara penghinaan presiden menjadi pasal yang paling penting harus diselesaikan dengan keadilan restoratif. “Dapat dipastikan hal tersebut tidak akan berubah saat pembahasan dan pengesahan,” tutur Habiburokhman. Dia menyebutkan telah mengirimkan draf revisi UU KUHAP kepada pemerintah.
Adapun Anggota Komisi III DPR Bimantoro Wiyono menyebutkan pentingnya pendekatan keadilan restoratif dalam RUU KUHAP. Dia juga menuturkan pendekatan keadilan restoratif perlu menjadi bagian integral dari RUU KUHAP untuk mewujudkan sistem hukum yang lebih manusiawi dan solutif.
“Restorative justice adalah bentuk keadilan yang memulihkan. Ia tidak hanya memberikan ruang bagi korban untuk mendapatkan pemulihan, tetapi juga mendorong pelaku bertanggung jawab secara konstruktif. Ini sejalan dengan semangat pembaruan hukum acara pidana yang sedang kami dorong di DPR,” kata politikus Partai Gerindra itu di Jakarta, Senin, seperti dikutip dari Antara.
Menurut dia, langkah mengedepankan pendekatan keadilan restoratif juga penting untuk mengatasi persoalan kapasitas berlebih di lembaga pemasyarakatan sekaligus mencegah kriminalisasi terhadap masyarakat yang seharusnya dapat diselesaikan di luar proses peradilan formal.
Advokat Tak Dapat Dituntut Saat Membela Klien
Seluruh fraksi Komisi III DPR setuju draf RUU KUHAP mengatur advokat tidak dapat dituntut saat membela kliennya. Aturan itu diusulkan oleh Ketua Umum Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Juniver Girsang dalam rapat dengar pendapat di kompleks parlemen, Senin.
Juniver awalnya membahas Pasal 140 yang menyatakan advokat menjalankan tugas dan fungsi membela dan mendampingi orang yang menjalani proses peradilan pidana baik dalam pemeriksaan maupun di luar pemeriksaan sesuai dengan etika profesi yang berlaku. Kemudian, dia mengusulkan agar ditambah satu ayat dalam pasal tersebut yang menyebutkan advokat tidak bisa dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan profesinya dengan iktikad baik kepentingan pembelaan klien baik di dalam maupun di luar pengadilan.
Menurut dia, ayat itu penting dimasukkan ke dalam KUHAP karena ada banyak advokat yang dikriminalisasi. “Kalau ada yang mengatakan (aturan ini) ada di UU Advokat, faktanya advokat sekarang banyak yang dituntut, diminta pertanggungjawaban pada saat dia melakukan pembelaan profesi,” kata Juniper.
Dia mengaku saat ini Peradi sedang menangani lima kasus advokat yang dituntut. Dia juga mengatakan penuntutan advokat ini sering kali berkaitan dengan kepentingan dari pihak lawan yang ingin agar berkasnya tidak diproses.
Merespons usulan tersebut, Ketua Komisi III Habiburokhman langsung meminta persetujuan dari para fraksi yang hadir. “Pak Juniver, ini semua fraksi hadir. Saya pikir kita semua sepakat ketentuan yang ini. Bisa disepakati nggak kawan-kawan? Sepakat ya,” kata dia.
Kemudian dalam kesimpulan rapat, dicantumkan penjelasan istilah “iktikad baik” dari aturan tersebut, yaitu sikap dan perilaku profesional yang ditunjukkan advokat dalam menjalankan tugas pembelaan dan pendampingan hukum dengan kejujuran dan integritas yang dinilai berdasarkan kode etik profesi advokat.
Kejaksaan Tetap Berwenang Menyidik Tindak Pidana Korupsi
Ketua Komisi III DPR Habiburokhman menegaskan kejaksaan tetap berwenang melakukan penyidikan tindak pidana korupsi (tipikor) dalam RUU KUHAP. “Jadi kejaksaan tetap berwenang melakukan penyidikan tipikor menurut KUHAP yang baru,” kata dia dalam konferensi pers usai rapat dengar pendapat umum Komisi III DPR bersama sejumlah pakar di kompleks parlemen, Senin.
Dia merespons informasi yang beredar di publik perihal Pasal 6 dalam draf RUU KUHAP yang menyebutkan jaksa tak lagi berwenang melakukan penyidikan di bidang tipikor. “Ada yang menyebutkan kejaksaan tidak lagi berwenang melakukan penyidikan di bidang tipikor karena Pasal 6, penjelasannya Pasal 6 itu menyebutkan bahwa yang disebutkan adalah penyidik kejaksaan di bidang pelanggaran HAM berat,” ucapnya.
Untuk itu, dia mengatakan kabar yang menyebutkan jaksa tak lagi memiliki wewenang melakukan penyidikan tipikor dalam RUU KUHAP tidaklah benar. “Karena naskah yang asli yang sudah kami kirimkan kemarin sudah jelas-jelas, di contoh juga kami sebutkan seperti adalah penyidik kejaksaan di bidang tipikor dan HAM berat," tuturnya.
Menurut dia, pengaturan soal kewenangan institusi tidak ikut diatur dalam RUU KUHAP, termasuk kejaksaan. “Memang KUHAP ini tidak mengatur soal kewenangan institusi, jadi dia hanya memberi contoh dari apa yang sudah berlaku,” kata dia.
Mengatur Penggunaan Kamera CCTV Selama Proses Penyidikan
Habiburokhman memastikan RUU KUHAP mengatur mekanisme pengawasan menggunakan kamera CCTV selama proses pemeriksaan dan penahanan oleh penyidik. Tujuannya untuk mengurangi tindakan kekerasan oleh aparat selama proses pemeriksaan tersangka atau saksi dalam perkara pidana.
Dia mengatakan ketentuan soal penggunaan kamera atau rekaman selama proses pemeriksaan ini tidak diatur dalam KUHAP yang berlaku saat ini. “Selama ini kita kerap mendapatkan laporan soal kekerasan dalam penyelidikan maupun penyidikan. Ini akan diatur. Salah satunya dengan pengadaan CCTV atau kamera pengawas dalam setiap pemeriksaan,” kata dia di kompleks parlemen, Kamis, 20 Maret 2025.
Ketentuan soal penggunaan CCTV ini, kata dia, diatur dalam Pasal 31 draf RUU KUHAP. Ayat 2 pasal tersebut menyatakan pemeriksaan dapat direkam dengan menggunakan kamera pengawas selama pemeriksaan berlangsung.
Pasal ini juga menyebutkan rekaman kamera pengawas tersebut juga bisa digunakan untuk kepentingan tersangka, terdakwa, atau penuntut umum dalam pemeriksaan di sidang pengadilan atas permintaan hakim.
Nandito Putra, Anastasya Lavenia Y, Alfitria Nefi P, Hammam Izzuddin, dan Antara berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan editor: Ragam Reaksi atas Serangan OPM terhadap Guru dan Nakes di Yahukimo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini