TPI belum menyeleksi secara ketat iklannya. Kalau setiap sekolah mendapatkan sumbangan pesawat TV, apakah siswa wajib menonton? RUANG Audio Visual Aid berukuran 10 x 6 meter mendadak gaduh ketika serombongan siswa kelas I SMP Stella Duce, Yogyakarta, masuk. Mereka masing-masing menenteng alat tulis dan buku pelajaran. Tanpa dikomando, mereka pun langsung duduk dan memasang headphone di kupingnya. Kemudian, seorang petugas menghidupkan tiga pesawat TV yang ada di ruang tersebut. Pagi itu mereka mengikuti pelajaran bahasa Inggris, acara Televisi Pendidikan Indonesia (TPI). Dari ketiga pesawat itu, muncul logo TPI sebelum seorang pembawa acara nampang di layar kaca. Para siswa tampak serius memperhatikan setiap ucapan dan gerak yang ditontonnya. Kalau ada adegan atau ucapan menggelikan, mereka serempak tertawa. SMP Stella Duce sejak Maret lalu, menjadi salah satu dari 25 SMP yang ditunjuk Kanwil P dan K Yogyakarta untuk menjadi anggota tim analisis siaran TPI. SMP Katolik dengan 636 siswa itu berkewajiban melakukan penilaian atas program pendidikan yang ditayangkan TPI setiap pukul 08.00-09.00. "Pada minggu pertama kami sempat berantakan mengikuti acara TPI," kata Penanggung Jawab Tim Analisis, Agus Historiyanto, kepada wartawan TEMPO Sri Wahyuni. Waktu itu penayangan pelajaran lewat TPI tak efektif. Sering terjadi perubahan materi secara mendadak. Siswa sudah senang menunggu acara mata pelajaran tertentu, katanya, tahu-tahu pelajaran yang ditayangkan berupa materi yang pernah diberikan. Secara bergiliran, sesuai dengan jadwal pelajaran kelas, para siswa digiring untuk menyaksikan tujuh mata pelajaran yang disiarkan TPI. Lain lagi dengan pengalaman SMPN I Palembang. Sekolah ini setiap pagi sibuk menggotong sebuah pesawat TV bolak-balik dari ruang kepala sekolah ke kelas. "Sejak semula saya berkeyakinan televisi pendidikan akan membantu kelancaran proses belajar dan mengajar di sekolah," kata kepala sekolahnya, Zaini Noor Haz. Diakui Zaini, tak semua acara program pendidikan yang ditayangkan TPI bisa mereka nikmati. Yang bisa hanya mereka yang waktu pelajaran berbarengan dengan jam penayangan. Dengan terbatasnya jumlah pesawat TV tak semua mata pelajaran IPA seperti Matematika dan Fisika mereka ikuti di dalam kelas. "Karena waktu penayangan tak sama dengan mata pelajaran yang sedang berlangsung di kelas," katanya. Idealnya memang setiap kelas punya TV sendiri-sendiri. Kebetulan Rabu pekan lalu ada yang menyumbang pesawat TV itu. PT Bogasari Flour Mills, tepat pada ulang tahunnya ke-20, menyerahkan 250 unit TV warna untuk sekolah-sekolah di Indonesia Bagian Timur (IBT) lewat Departemen P dan K. Provinsi yang ketiban rezeki itu adalah Irian Jaya. Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, dan Timor Timur. Bila semua sekolah sudah punya TV, mungkin akan ada pertanyaan. Apakah wajib bagi sekolah untuk menghentikan kegiatan mengajar dan para guru menyerahkannya kepada layar kaca? Memang, kata Kepala Pusat Pengembangan Kurikulum dan Sarana Pendidikan Departemen P dan K, Dr. Anwar Yasin, sampai sekarang belum ada aturan yang mewajibkan guru menghentikan kegiatan sekolah agar muridnya bisa menonton TPI. Kalau memang program yang disiarkan TPI kebetulan cocok dengan jadwal sekolah, katanya, bisa saja para siswa menontonnya. Kurikulum, sebagai satu rangkaian pelajaran yang harus diajarkan di kelas, sudah dipastikan. Setiap kelas harus mampu menyelesaikan rencana pelajaran yang ditetapkan kurikulum itu. Sementara itu, kemampuan sekolah yang satu sering tak sama dengan sekolah yang lain. Dan TPI kelihatannya agak sulit menyesuaikan jadwal siaran dengan mata pelajaran tertentu dari proses belajar di sekolah-sekolah. Masih ada soal lagi, kata Anwar, yakni kemampuan tiap murid yang berbeda-beda. Ada siswa yang mengerti dijelaskan sekali, tapi ada yang perlu pengulangan berkali-kali. Belum lagi soal perbedaan waktu di tiga wilayah Indonesia. Di Irian Jaya, anak-anak sudah belajar di sekolah, di Jakarta baru bangun tidur. "Susah mengatur waktu secara bersamaan," katanya. Karenanya, semua itu diserahkan kepada sekolah masing-masing. "Kebijaksanaan ada pada tiap-tiap sekolah, terserah mau diapakan program itu," kata Anwar Yasin. "Kalau memang tak ada gunanya, untuk apa melihat dan buang-buang waktu. Kalau guru dan murid tak merasakan ada gunanya, berarti program itu gagal." Soal pengaturan waktu ternyata juga menjadi problem PT Cipta Televisi Pendidikan Indonesia yang menyelenggarakan siaran TPI. Kalau TPI disiarkan sore, tentunya akan bentrok dengan TVRI. Selain pelajaran satu jam, TPI juga menayangkan iklan dan hiburan. Yang menjadi soal, hal itu kadang tak sesuai dengan sifat TPI sebagai media pendidikan. Iklan merangsang penonton pasif untuk menyerap yang ditawarkan, sementara pendidikan menggiring murid kreatif. Jenis iklan sendiri, menurut Manajer Humas TPI Heny Elvandari, sampai sekarang masih banyak yang tak memenuhi kriteria. Iklan di TPI belum mampu menumbuhkan daya kreatif anak. Ada beberapa iklan yang dihentikan, misalnya sabun Lux, karena menampilkan Ida Iasha dengan baju menerawang. Anwar Yasin, sebagai salah seorang yang bertanggung jawab atas isi siaran TPI, menilai penayangan TPI belum memuaskan. "Fungsi untuk membantu mengatasi kesukaran belajar murid dan guru belum optimal," katanya. Namun, menurut Menteri P dan K Fuad Hassan, tujuan siaran ini bukan hanya untuk siswa. Bagaimana dampaknya terhadap siswa dan guru? "Belum bisa dilihat. Ini baru periode pemasaran," kata Fuad Hassan kepada Sri Indrayati dari TEMPO. Gatot Triyanto, Liston Siregar (Jakarta), dan Aina Rumiyati Aziz (Palembang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini