Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Lara Pekerja di Tanah Tetangga

Pemerintah Malaysia lama memberlakukan sistem yang membuka peluang eksploitasi terhadap pekerja migran Indonesia. Posisi pekerja lemah karena tak berdokumen.

30 Juli 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Sejumlah Pekerja Migran Indonesia dideportasi melalui PLBN Entikong di Komplek Imigresen Tebedu, Sarawak, Malaysia, 28 April 2022. ANTARA/Jessica Helena Wuysang

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Sejumlah pekerja migran Indonesia dieksploitasi majikan di Malaysia karena tak berdokumen.

  • Pemerintah memberlakukan moratorium pengiriman pekerja migran Indonesia ke Malaysia.

  • Hanya 352 ribu dari 1,5 juta pekerja migran Indonesia di Malaysia yang memiliki dokumen lengkap.

MENJEJAK Johor, Malaysia, pada awal 2019, Sumarni hanya menggunakan visa turis. Perempuan asal Sape, Bima, Nusa Tenggara Barat, itu berniat menjadi pekerja migran Indonesia meski tak berbekal dokumen lengkap. “Ada perusahaan tenaga kerja yang menjanjikan pekerjaan sebagai pekerja rumah tangga,” kata Sumarni saat dihubungi Tempo, Jumat, 29 Juli lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sumarni yang kala itu berusia 17 tahun diiming-imingi upah RM 1.100 atau setara dengan Rp 3,6 juta. Ia bertolak dari Batam, Kepulauan Riau, bersama tiga temannya. Begitu sampai Johor, dia diantar seorang perantara perusahaan penyalur pekerja migran Indonesia ke rumah majikannya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Betapa Sumarni terkejut ketika majikannya langsung menyita paspornya. Setelah itu, dia dipaksa bekerja mulai subuh hingga larut malam. Segala hal menjadi tugasnya, dari memasak, membersihkan rumah, sampai menjaga anak majikan. Sumarni tak pernah mendapat libur. Ia mengeraskan tekad untuk bertahan demi upah yang dijanjikan.

Namun harapannya kandas. Majikannya hanya memberi upah RM 330 atau sekitar Rp 1,1 juta. Itu pun disertai peringatan agar ia tak kabur dari rumah. “Majikan sering mengancam bahwa saya akan ditangkap jika kabur karena tak punya dokumen,” ucap Sumarni.

Satu tahun dieksploitasi, akhirnya Sumarni kabur dan mencari majikan baru. Lagi-lagi dia diperlakukan serupa. Majikan ketiga pun demikian. Baru majikan keempat yang memperlakukan Sumarni dengan baik. “Dia mau mengurus kelengkapan dokumen saya,” ujar Sumarni, yang kini tinggal di rumah sebuah keluarga di Negeri Sembilan, salah satu negara bagian Malaysia.

Nasib serupa dialami Wati—bukan nama sebenarnya—yang mencari pekerjaan ke Malaysia pada Desember tahun lalu. Perempuan kelahiran Karanganyar, Jawa Tengah, 38 tahun lalu itu juga kepincut rayuan calo yang menjanjikan pekerjaan di Kuala Lumpur dengan hanya bermodal visa kunjungan.

Wati lantas disodori kontrak kerja berisi kewajiban sebagai pekerja rumah tangga. Tiada poin hak sebagai pekerja. Dokumen dan telepon selulernya pun disita. Dengan upah hanya RM 600, tak sampai separuh yang dijanjikan sebesar RM 1.300, ia bekerja mulai subuh hingga larut malam. Juga tanpa libur. Hampir setiap hari majikannya memaki dan bersikap kasar.

Kondisi itu membuat Wati depresi dan hampir bunuh diri. “Hingga sekarang saya masih mengalami trauma,” ucapnya. Awal Juli lalu, Wati kabur dan meminta tolong kepada kantor Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Malaysia di Kuala Lumpur. Ketua SBMI Kuala Lumpur Ridwan Ismail mengatakan Wati akhirnya bisa pulang pada 19 Juli lalu.

Sekretaris Jenderal SBMI Bobi Anwar Ma'arif mengatakan kasus Sumarni dan Wati marak terjadi di Malaysia. Di sana diperkirakan ada 1,5 juta pekerja migran Indonesia. Dari jumlah itu, hanya 352 ribu orang yang memiliki dokumen lengkap. Adapun pekerja migran Indonesia di sektor domestik yang berdokumen sekitar 62 ribu orang.

Sepanjang 2021, SBMI mendapat ratusan laporan kasus pekerja migran Indonesia yang bermasalah. “Sebagian besar dokumennya tak lengkap sehingga posisi tawarnya lemah. Itu dimanfaatkan majikan untuk mengeksploitasi pekerja migran Indonesia,” ujar Bobi.

Salah satu sebabnya adalah pemberlakuan sistem maid online (SMO) oleh pemerintah Malaysia sejak awal 2018. SMO memperbolehkan calon majikan merekrut pekerja migran secara langsung tanpa melalui agen penyalur tenaga kerja. Pekerja juga diperbolehkan masuk Malaysia dengan visa turis dan kelengkapan dokumennya diurus belakangan.

Sistem ini bertujuan meringankan calon majikan karena tak perlu membayar kepada agen penyalur tenaga kerja. Aturan itu mendapat dukungan kelas menengah di Malaysia karena biayanya lebih terjangkau. Jika melalui agen resmi, mereka mesti merogoh uang hingga RM 15 ribu atau hampir Rp 50 juta untuk mendapat satu pekerja migran.

Namun sistem ini kerap dimanfaatkan para calo untuk memberangkatkan calon pekerja migran Indonesia tanpa kelengkapan dokumen. Para majikan di Malaysia juga memanfaatkan aturan ini untuk tak memenuhi hak pekerja. Alih-alih mengurus kelengkapan dokumen, mereka malah mengancam pekerja dengan ancaman penjara jika nekat kabur.

“Posisi pekerja yang tidak berdokumen itu menciptakan relasi kuasa yang sangat timpang dan dimanfaatkan majikan untuk menekan para pekerja,” kata Duta Besar Indonesia untuk Malaysia, Hermono, kepada Tempo pada Kamis, 28 Juli lalu.

Sistem maid online juga membuat pemerintah Indonesia tak bisa mengakses data pekerja migran yang memanfaatkan jalur tersebut. Menurut Hermono, pejabat Jakarta dan Kedutaan Besar Indonesia tak bisa mengetahui identitas pekerja dan majikan, lokasi kerja, serta kondisinya. Ia menilai SMO membuka peluang terjadinya perdagangan orang.

Tiadanya perlindungan terhadap pekerja migran Indonesia membuat laporan kekerasan ke Kedutaan Indonesia mencapai ratusan kasus. Sepanjang Januari hingga Juni tahun ini saja sudah ada setidaknya 270 kasus. “Ada yang tidak digaji selama lima tahun,” tutur Hermono, mantan Sekretaris Utama Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia.

Mengklaim ingin memperbaiki keadaan, pemerintah meminta Malaysia memperbarui Nota Kesepahaman tentang Perekrutan dan Penempatan Pekerja Migran Domestik Indonesia. Nota kesepahaman itu mulai diberlakukan pada 2006 dan diperbarui setiap lima tahun. Setelah sepuluh tahun, nota kesepahaman tak berlaku lagi karena kedua pemerintah tak mencapai kesepakatan.

Sejumlah masa menggelar  aksi menuntut pemerintah Malaysia untuk memenuhi kebutuhan dan hak pekerja migran Indonesia di Malaysia, di depan Kedutaan Besar Malaysia, Jakarta Selatan, 24 Juni 2022. TEMPO/ Febri Angga Palguna

Pada 1 April lalu, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah dan Menteri Sumber Daya Manusia Malaysia M. Saravanan membuat memorandum of understanding (MOU) baru. Disaksikan oleh Presiden Joko Widodo dan Perdana Menteri Ismail Sabri Yaakob, nota kesepahaman ditandatangani di Istana Negara.

Poin penting dalam nota kesepahaman itu antara lain pendataan semua pekerja migran Indonesia dengan sistem satu kanal atau one channel system (OCS) yang terintegrasi antara Indonesia dan Malaysia. Data mencakup lokasi bekerja, identitas majikan, hingga latar belakang majikan. Sistem ini sekaligus membatalkan SMO yang memungkinkan pekerja masuk dengan visa turis.

Nota kesepahaman melarang majikan menahan paspor atau dokumen identitas pekerja. Majikan wajib memenuhi semua hak pekerja, termasuk hak untuk berkomunikasi dengan keluarga ataupun perwakilan Indonesia di Malaysia. Upah minimum pekerja naik dari RM 1.200 menjadi RM 1.500, sekitar Rp 5 juta. Pemerintah Malaysia wajib memastikan aturan itu dilaksanakan.

Namun, hingga tiga bulan seusai penandatanganan MOU, pemerintah Malaysia tak kunjung menjalankan isi nota kesepahaman tersebut. Malaysia tetap membuka rekrutmen pekerja migran Indonesia dengan sistem maid online. Pemerintah Malaysia pun enggan memenuhi gaji minimal RM 1.500. Gerahlah pemerintah Indonesia.

Akhirnya, pada 13 Juli lalu, pemerintah Indonesia memutuskan untuk menghentikan sementara pengiriman tenaga kerja migran Indonesia ke Malaysia. “Embargo tidak akan kami cabut sampai Malaysia bersedia menjalankan isi nota kesepahaman yang telah ditandatangani,” ujar Hermono.

Tekanan itu membuat pemerintah Malaysia melunak. Tak sampai dua pekan atau pada Kamis, 28 Juli lalu, Menteri M. Saravanan kembali bertemu dengan Menteri Ida Fauziyah di Jakarta. Mereka menandatangani surat pernyataan bersama yang berisi kesediaan Malaysia menjalankan isi nota kesepahaman yang telah ditandatangani pada April lalu.

Pemerintah Malaysia akan menghentikan penggunaan sistem maid online dan mengubahnya menjadi one channel system mulai 15 Agustus mendatang. Sedangkan pemerintah Indonesia mencabut moratorium pengiriman pekerja migran ke Malaysia pada 1 Agustus.

Saravanan menyatakan kedua negara setuju mengintegrasikan sistem yang ada di Jabatan Imigresen Malaysia dan Kedutaan Besar Indonesia. “Integrasi sistem ini berperan sebagai saluran tunggal pengambilan dan masuknya pekerja domestik Indonesia ke Malaysia,” ucap Saravanan melalui siaran pers, Kamis, 28 Juli lalu.

Kabar pencabutan moratorium disambut gembira di sejumlah daerah kantong pekerja migran Indonesia. Kepala Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kabupaten Cianjur Endan Hamdani berharap sistem baru, yaitu OCS, akan mengurangi jumlah pekerja migran Indonesia tanpa dokumen yang berangkat ke Malaysia.

Setiap tahun sekitar 3.000 warga Cianjur, Jawa Barat, berangkat ke Malaysia dan selalu ada yang terjerat masalah karena dokumennya tak lengkap. “Ada yang tidak bisa pulang karena gaji tidak dibayar majikan,” kata Endan.

Adapun Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nusa Tenggara Barat Gede Putu Aryadi berharap aturan baru itu juga diiringi penataan aturan di dalam negeri. Termasuk penertiban perusahaan penempatan pekerja migran Indonesia atau P3MI.

Pemerintah provinsi mewajibkan semua P3MI yang merekrut warga NTB mendirikan kantor cabang. “Penempatan PMI (pekerja migran Indonesia) harus prosedural untuk memastikan pekerja migran terlindungi,” ujar Putu Aryadi.

Penasihat untuk Persatuan Pekerja Rumah Tangga Indonesia Migran di Malaysia, Nasrikah, mendukung upaya pemerintah memperkuat perlindungan bagi pekerja migran di sektor domestik. “Namun nota kesepahaman saja tidak cukup,” tuturnya.

Dia berharap pemerintah segera merampungkan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga yang 18 tahun mandek di Dewan Perwakilan Rakyat. Jika rancangan itu disahkan, pekerja rumah tangga memiliki hak seperti pekerja formal. Pemerintah pun memiliki instrumen hukum lebih kuat untuk memperjuangkan hak pekerja rumah tangga di negara lain.

Menurut Nasrikah, nasib pekerja migran Indonesia di sektor domestik juga bakal lebih baik. “Kami mendorong pemerintah Malaysia menjamin perlindungan dan pemenuhan hak pekerja rumah tangga, tapi Indonesia sendiri belum memiliki undang-undang yang menjamin perlindungan itu,” kata Nasrikah.

AKHYAR M. NUR (SUMBAWA), DEDEN ABDUL AZIZ (CIANJUR)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Agung Sedayu

Agung Sedayu

Alumnus Universitas Jember, Jawa Timur. Menekuni isu-isu pangan, kesehatan, pendidikan di desk Investigasi Tempo.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus