Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Enam yang rebah untuk selamanya

Enam pelamar kerja mati terinjak-injak massa ketika sedang berdesak-desakan melamar kerja di gelora pancasila surabaya untuk menjadi pegawai pemda. pendaftaran diubah melalui pos.

29 Oktober 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LAUTAN manusia itu seakan mengepung Gelora Pancasila Surabaya, Selasa, pekan lalu. Sejak hari belum lagi terang, mereka sudah berdatangan. Yang dari jauh terpaksa menggelar tikar atau koran, menginap di gedung olahraga di Jalan Indragiri itu. Sekitar 50 ribu pemuda-pemudi itu berusia 19 sampai 30 tahun -- datang dari seluruh wilayah Jawa Timur ke Surabaya dengan satu tujuan: mendaftarkan diri untuk menjadi pegawai Pemda Jawa Timur. Makin siang, pelataran gedung yang hanya 1.500 meter persegi itu makin sesak. Tepat pukul 07.00, panitia membuka Pintu A (untuk pelamar lulusan SLTA) dan Pintu C (untuk lulusan SLTP), yang segera saja diserbu. Di dalam gedung, 15 orang panitia penerima berkas lamaran -- terdiri atas ijazah, surat kelakuan baik, kartu kuning dari Depnaker, dan surat keterangan sehat -- jelas kewalahan melayani pelamar yang menyerbu masuk. Hanya 30 menit setelah pendaftaran berjalan, diputuskan untuk menutup pintu masuk. Kendati begitu, para pelamar itu terus saja merangsek maju. Aparat kepolisian, yang cuma berjumlah 50 orang, jelas kerepotan menertibkan massa. Apalagi di Pintu A, karena sekitar 20 ribu pelamar ternyata lulusan SLTA. Pintu bercat merah bata yang terbuat dari pelat baja selebar 3 meter dan setinggi 2,5 meter terus ditekan gelombang massa. Akhirnya, gerendel besi bergaris tengah 2 cm sepanjang 50 cm di Pintu A itu pun lepas. Pmtu tiba-tiba terbuka dan ... bruk ... pelamar yang rapat di mulut pintu berjatuhan kena dorong dari belakang. Tak ayal lagi, kerumunan yang sedari tadi ingin segera masuk lantas menerjang ke depan. Belum sempat yang terjatuh bangun, injakan kaki ratusan orang di barisan depan membuat mereka harus menyerah. Sekitar pukul 07.55, enam orang ketahuan rebah untuk selamanya. "Ada yang matiii ... ada orang mati," teriak mereka yang melihat tubuh terinjak-injak. "Allahu Akbar ... Allahu Akbar," jerit lainnya. Teriakan ini membuat massa seakan sadar. Dorong-mendorong pun reda. Suasana menjadi lebih terkendali berkat datangnya tiga truk anggota Brimob dan sekitar 50 orang satpam berbagai perusahaan di Surabaya. Enam pelamar yang sudah menjadi mayat diusung ke tepi dan dibawa ke RS dr. Soetomo. Dua korban ternyata berasal dari Surabaya, dan masing-masing satu dari Ngawi, Madiun, Jember, dan Sidoarjo. Sedang 27 lainnya yang menderita luka-luka segera dilarikan ke berbagai rumah sakit di Surabaya. Korban yang jatuh umumnya memang mereka yang sejak awal merapat di pintu. Hermanto, lulusan STM Petra 1986, mengaku hampir mati diterjang massa. Anak muda 20 tahun ini sudah berhasil mencapai mulut pintu ketika pintu ditutup kembali oleh panitia. Tatkala pintu jebol, ia dalam posisi membelakangi pintu dan tentu saja langsung ambruk. "Saya nggak ingat setelah itu, tahu-tahu saya sudah berada dalam ambulans," katanya sembari menunjuk beberapa anggota badannya yang memar. Pendaftaran itu sendiri sebenarnya akan berlangsung empat hari. Namun, dengan jatuhnya korban, Sekwilda Ja-Tim Soemarjono Hadikoesoemo, selaku penanggungjawab pendaftaran, menangguhkannya. Malamnya, di TVRI Surabaya, Soemarjono meminta maaf pada keluarga korban. Gubernur Soelarso, yang baru dilantik akhir September lalu, kabarnya marah besar atas kejadian ini. Pekan lalu dengan simpatik ia mendatangi rumah salah seorang korban di Kedungturi, Surabaya, dan menyerahkan santunan Rp 1 juta. Gubernur sangat menyesalkan cara kerja aparatnya yang mengakibatkan jatuhnya korban. Ia menugasi Wagub Trimaryono untuk menyelesaikan kasus ini. Pihak kepolisian, yang dituding tak siap memberikan pengamanan, membantah. Lewat Kadispen Polda Ja-Tim Letkol. Ivan Sihombing, kepolisian malah menyayangkan panitia yang tak menjelaskan masalah secara tepat. "Panitia sebelumnya memberi tahu bahwa pada hari pertama itu hanya akan hadir 1.500 orang. Maka, kami hanya menyiapkan 50 personel. Lha, nggak tahunya yang datang 50.000, tentu tak bisa mengatasi keadaan," ujar Sihombing, agak jengkel. Sementara itu, Sekswilda Ja-tim Soemarjono Hadikoesoemo merasa, persiapan panitia sudah cukup matang. Sehari sebelum pendaftaran, misalnya, ia mengadakan rapat yang juga dihadiri pihak kepolisian. "Saya sudah wanti-wanti soal keamanan, sebab pasti membludak," katanya. Ia tampak berang ketika pihaknya disalahkan. "Lho, jangan salahkan panitia. Yang salah itu massa," katanya keras. Pihak panitia memilih Gelora Pancasila sebagai tempat pendaftaran berdasar pengalaman. Pada 1985, tatkala Pemda memerlukan 4 ribu tenaga, 40 ribu pelamar dari Surabaya dan sekitarnya didaftar di Kantor Gubernur. "Dan tidak terjadi apa-apa," kata Soemarjono. Kini Pemda hanya membutuhkan 1.200 orang, karena itu dipilih Gelora Pancasila. Namun, sebenarnya ada cara lain yang lebih aman daripada mengumpulkan puluhan ribu orang di satu tempat. Yaitu dengan memanfaatkan bertumpuknya berkas lamaran di pemda tingkat I atau di kabupaten. Sebuah sumber TEMPO di mengatakan, "Berkas-berkas lamaran itu bertumpuk. Tak usah repot-repot, tinggal menyeleksi dan memanggil mereka. 'Kan beres," tuturnya. Atau, memanfaatkan data pencari kerja yang ada pada Depnaker. Pemda Ja-Tim tampaknya belajar dari kasus ini. Kini pendaftaran kembali didesentralisasikan -- seperti pada 1985 -- di 7 wilayah pembantu gubernur Ja-Tim. Cuma, sekarang lamaran harus lewat pos. Nantinya, mereka yang memenuhi syarat akan diberi nomor tes. Dengan begitu, penumpukan massa tak terjadi lagi. Lalu bagaimana penyelesaian selanjutnya atas kasus ini? Soelaiman Bijahimo, anggota DPRD Ja-Tim dari F-PP, menganggap bahwa orang pertama yang harus bertanggung jawab terhadap musibah itu adalah Sekwilda Provinsi Ja-Tim. Ia menganjurkan agar keluarga korban mengajukan tuntutan. "Karena musibah ini dinilai merupakan kelalaian yang bisa menimbulkan korban, apakah itu disengaja atau tidak," katanya pada Merdeka pekan lalu. Hingga awal pekan ini belum ada keluarga korban yang menuntut. "Meski kami sangat terpukul, kami tak akan menuntut Pemda. Kami sadar, musibah itu tak disengaja. Namun kami berharap, semoga kejadian itu tak terulang," kata Djaelani, yang tinggal di Kedungturi, Surabaya. Dalam musibah di Gelora Pancasila itu, Heru Mardiono, adiknya, tewas. Toriq Hadad, Herry Muhammad, dan Zed Abidien (Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus